Sidang Kasus Dugaan Korupsi Proyek Urugan di Distan Lamongan, Ini Kata Ahli

Sidang Kasus Dugaan Korupsi Proyek Urugan di Distan Lamongan, Ini Kata Ahli

TerasJatimmcom, Surabaya – Sidang kasus dugaan korupsi proyek pengurugan tanah di Dinas Pertanian (Distan) Kabupaten Lamongan Tahun 2017, hingga saat ini masih berlangsung di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Surabaya.

Dalam agenda sidang yang diketuai hakim Cokorda Gede dengan terdakwa Mohammad Zaenuri, pada Senin (23/05/2022), menghadirkan ahli Pidana dan Kriminolog dari Universitas Bhayangkara (Ubhara) Surabaya, Sholehuddin, sebagai saksi ahli.

Di hadapan majelis hakim, saksi ahli menjelaskan, jika berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor: 04, Tahun 2016, bahwa yang berwenang menetapkan ada tidaknya kerugian negara adalah Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK). Saksi ahli juga diminta untuk menjelaskan tentang rumusan kerugian negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).

“Berkaitan dengan rumusan kerugian keuangan negara. Bahwa Pasal 2 dan Pasal 3 menjadi delik materiil yang artinya harus terjadi akibat kerugian keuangan negara. Setelah adanya Putusan MK, bentuk kerugian keuangan negara itu harus nyata dan dapat diketahui pasti jumlahnya sehingga lebih bersifat actual loss bukan berdasarkan potensi,” kata Sholehudin.

Usai menjelaskan itu, tim penasihat hukum selanjutnya menanyakan kepada saksi ahli terkait pemenuhan unsur delik apabila kerugian dari hasil pemeriksaan dan temuan keuangan negara terdapat pengembalian.

“Untuk menafsirkan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi harus menggunakan sistematika. Karena ada undang-undang lain yang mempunyai kewenangan untuk mempersoalkan. Kemudian pemeriksaan BPK harus dilakukan sesuai undang-undang pengelolahan dan pertanggungjawab keuangan negara. Ketika ini sudah diselesaikan, maka selesai di situ. Kalau ada dugaan terjadi tindak pidana? anggota BPK akan meneruskan ke pidananya,” jawab Sholahuddin.

Saksi ahli kemudian dimintai pendapatnya tentang suatu kerugian negara yang sudah dikembalikan atas rekomendasi dari BPK, yang mempertanyakan apakah masih bisa dikatakan kerugian negara. “Itu final, pemeriksaan sudah final. Itu pemeriksaan dikeluarkan oleh BPK,” kata saksi ahli.

Selanjutnya tim penasihat hukum meminta pendapat ke ahli terkait hasil pemeriksaan dari dua lembaga pemeriksaan keuangan antara BPK dan BPKP yang dijadikan alat bukti dalam perkara dugaan korupsi di Dinas Pertanian Lamongan tersebut.

“Kedua hasil pemeriksaan tersebut bisa dijadikan alat bukti. Namun alat bukti itu harus sah, sebagaimana dimaksud dalam pasal 184 ayat (1) KUHAP itu harus memenuhi empat kriteria, yaitu validitas, relevansi, signifikan dan kredibel. Jadi BPKP bukan lembaga pemeriksa keuangan. BPKP itu Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan. Berarti kalau ditarik menjadi alat bukti, apakah itu alat bukti yang sah, jawaban saya tegas tidak sah,” kata ahli.

Ahli juga menyebut surat Edaran MA (SEMA) No. 4 Tahun 2016 yang isinya pengelaborasi dari ketentuan dan kewenangan yang dibuat di dalam undang-undang BPK, undang-undang pengelolahan dan pertanggungjawaban negara juga putusan MK.

“Jadi hakim bisa menilai apakah alat bukti ini bisa valid, relevan, signifikan dan kredibel, patut dipercaya? Dan itu kewenangan majelis hakim,” sebut Ahli.

Sementara menanggapi pertanyaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Nizar dari Kejaksaan Negeri Lamongan, terkait adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor: 31/PUU-X/2012 tanggal 23 Oktober 2012, Sholehudin menjelaskan, jika dirinya sudah membahas putusan tersebut.

“Saya sudah membaca itu. Makanya tadi saya sampaikan, SEMA No. 4 Tahun 2016 itu mengelaborasi termasuk dari bunyi atau subtansi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 31/PUU-X/2012, tanggal 23 Oktober 2012. Intinya itu banyak disalah pahami. Hakim bisa menggunakan alat bukti lain soal penghitungan kerugian keuangan negara. Bisa menggunakan hasil penghitungan BPKP, audit publik bisa. Itu nanti soal keyakinan majelis hakim soal alat bukti yang sah,” terangnya.

Ahli juga mengatakan, jika ilmu hukum pidana hanya menjelaskan serta memberikan rambu-rambu. “Ini loh alat bukti yang sah, harus begini. Keyakinan hakim berdasarkan di situ. Makanya jaksa itu boleh mengajukan penghitungan BPKP,” pungkasnya.

Usai persidangan, salah satu tim penasihat hukum terdakwa, Prayogo Laksono mengatakan, dari hasil keterangan ahli dalam persidangan itu bisa dibuat konsep di dalam pledoi nanti. Salah satunya keabsaan alat bukti yang valid dan relevan.

Menurut Prayogo, fakta-fakta di persidangan berkaitan dengan pendapat ahli dari M. Sholehuddin, terutama hasil pemeriksaan BPKP itu oleh ahli dianggap tidak sah. Karena terhalang oleh Surat Edaran MA (SEMA) No. 4 Tahun 2016.

“Yang diakui oleh SEMA No. 4 tahun 2016 itu adalah hasil dari pemeriksaan BPK untuk menentukan kerugian negara,” ucapnya saat dikonfirmasi awak media setelah persidangan.

Prayogo juga mengatakan, jika kehilangan satu unsur untuk menentukan perbuatan pidana terdakwa, maka sudah selayaknya para terdakwa dibebaskan.

Seperti diketahui, mantan Kepala Dinas Pertanian yang saat ini bernama Dinas Tanaman Pangan, Holtikultura dan Perkebunan (DTPHP) Kabupaten Lamongan, Rujito, yang bertindak sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), dan Mohammad Zaenuri, yang merupakan suplier, telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pekerjaan urugan tanah gedung kantor Dinas Pertanian pada Januari 2022 lalu.

Dalam proyek tersebut, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lamongan telah menganggarkan dana sekitar Rp.1,4 Miliyar yang dialokasikan pada Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Lamongan Tahun 2017.

Namun, dalam laporannya ditemukan ketidak sesuaian dengan fisik dan digunakan sebagai dasar pembayaran, sehingga mengakibatkan negara dirugikan sebesar Rp.564.946.073.73. Selanjutnya berdasarkan sumber, pada tahun 2018 sudah ada audit dari BPK dan sudah mengembalikan kerugian negara sebesar Rp.59 juta. (Kta/Red/TJ)

Subscribe

Terimakasih Telah Berlangganan Berita Teras Jatim