Aturan Tumpang Tindih, Jadi Kendala Utama Pertanggungjawaban Dana Desa

Aturan Tumpang Tindih, Jadi Kendala Utama Pertanggungjawaban Dana Desa

TerasJatim.com, Blitar – Sejak digulirkan tahun 2015 lalu, permasalahan terkait Dana Desa (DD) seakan tiada habisnya. Berbagai masalah diantaranya adalah adanya perbedaan persepsi yang menjadi kendala utama realisasi Dana Desa yang terjadi hampir di semua desa.

Perbedaan persepsi ini berimbas pada format pelaporan peruntukkan yang molor dikerjakan. Dan efeknya banyak desa yang belum bisa mencairakn Dana Desa tahun 2016 ini karena terbentur persyaratan administratif 2015 yang belum kelar dikerjakan.

Di wilayah Kabupaten Blitar Jawa Timur sendiri, Dana Desa sebesar Rp139.375.Miliar baru cair 60 % tahap I. Sementara pencairan dana tahap II yang dibatasi Agustus lalu, akhirnya diundur sampai Oktober ini karena banyak desa belum bisa memenuhi persyaratan administratif untuk percairan tahap II.

Untuk menyamakan persepsi itu, BPK menggelar dialog terbuka terkait pemahaman pengelolaan Dana Desa di Desa Plosorejo Kecamatan Kademangan Kabupaten Blitar, Jumat siang.

“Kami belum melakukan audit pelaporan Dana Desa karena ternyata banyak masalah di desa. Ada beberapa kelemahan yang tumpang tindih dari peraturan itu. Dengan dialog ini kami berharap ada titik temu dan konsolidasi dari berbagai pihak, agar terjadi pemahaman yang sama sehingga pertanggung jawaban itu bisa jelas dan tegas sanksinya,” jelas Moermahadi Soerja Djanegara, anggota V BPK RI.

Harusnya, kata dia, ke depan, desa  menyusun perencanaan 5 tahunan, menyusun APBD Desa yang mendapat ijin persetujuan dari Kabupaten dulu. Baru laporan pertanggung jawaban disusun berdasarkan realisasi APBD Desa yang sudah disahkan.

Regulasi kebijakan yang tumpang tindih diakui Dwi Handoko, Kepala Desa Serang yang hadir bersama 149 kepala desa lainnya. ” Siapa gak bingung, format laporan antara APBDes dan APBD itu ternyata tidak sama. Maunya Pemda dan inspektorat berbeda dengan maunya BPK. Jadi saat pemeriksaan laporan itu kita bingung harus nuruti yang mana. Regulasi yang mengatur APBD dan APBDes itu berbeda,” ujar dia.

APBDes diatur sesuai Peraturan Kemendagri 114 yang mencantumkan secara detail pengeluaran belanja barang. Sementara APBD hanya mencantumkan nama proyek dan anggaran yang dibelanjakan.

“Harusnya ada satu pedoman penyusunan laporan yang singkron, petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) antara satu dengan yang lain, sehingga kami bisa sesuaikan dengan UU Desa,” harap Dwi Handoko.

Sementara itu, Anggota Komisi XI DPR RI, Muhammad Sarmuji, yang juga hadir di acara ini menangkap adanya kurangnya koordinasi antar stakeholder terkait penanganan masalah Dana Desa.

“Akun Dana Desa merupakan akun baru dalam APBD yang sebelumnya belum ada. Komisi XI dan Banggar DPR RI akan berjuang agar Dana Desa semakin besar pada tahun-tahun mendatang,” katanya.

Temuan kami, kata Sarmuji, ada kesulitan yang dihadapi desa dalam proses perencanaan, pengelolaan maupun pelaporan yang seharusnya segera dibantu oleh instansi terkait, khususnya Kementrian Desa (Kemendesa).

Sarmuji memberi catatan, Kemendes harusnya bekerja profesional menyiapkan SOP, juklak/juknis maupun pendamping berkualitas supaya ketidakpahaman desa yang membuat mereka membuat program menyimpang dari filosofi Dana Desa, tidak terjadi di masa mendatang.

“Jangan sampai ada kepala desa yang menjadi korban dari ketidakpahaman akan juklak dan juknis program ini,” pungkasnya. (Aji/Red/TJ)

Subscribe

Terimakasih Telah Berlangganan Berita Teras Jatim