Rebutan Kursi, di Pilkada Yang Sepi

Rebutan Kursi, di Pilkada Yang Sepi
ilustrasi

TerasJatim.com – Saya mungkin tidak sendiri, kalau mengatakan perhelatan pilkada kali ini kurang “bergairah”.

Ketika saya melakukan banyak perjalanan dan kunjungan ke daerah-daerah yang sedang melaksanakan pilkada serentak, suasana yang saya temui cenderung sama. Sama-sama adem ayem dan terkesan sepi mamring.

Bisa jadi, salah satu penyebab kurang semaraknya perhelatan pilkada kali ini, karena regulasi atau UU 8/2015 tentang Perubahan atas UU No. 1/2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1/2014, tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi Undang-Undang.

Dalam UU tersebut, secara tak langsung telah membatasi peredaran uang dalam pilkada. Misalnya, kampanye pasangan calon yang diatur oleh KPU secara terbuka, transparan, dan adil.

Regulasi terkait dengan pemilihan kepala daerah yang memberikan batasan terhadap peredaran uang dalam pilkada, pengaruhnya cukup signifikan terhadap animo dan antusiasme, khususnya bagi masyarakat lokal. Beda jaman dulu, saat pilkada digelar, mobilisasi masyarakat semarak. Termasuk banyaknya pesta dangdutan yang digelar oleh masing-masing calon yang saat itu sedang jadwalnya kampanye terbuka.

Selain adanya aturan regulasi tentang pilkada, bisa jadi sepinya perhelatan pilkada di daerah, jangan-jangan rakyat kini mulai tak peduli dengan apa yang terjadi di panggung politik.

Apatisme rakyat pada akhirnya akan timbul dengan sendirinya, ketika hampir setiap hari mereka selalu disuguhi oleh tontonan kegaduhan politik yang tidak bermutu. Selain kegaduhan antar kelompok koalisi, rakyat sepanjang waktu selalu dipertontonkan dengan banyaknya kasus hukum yang menyeret para pemimpin daerah, yang kebanyakan dari mereka adalah kader partai politik. Belum lagi issu dahsyat hari-hari terakhir ini, tentang kasus makelar Freeport yang jadi trending topic di tengah masyarakat.

Ketika banyak para pemimpin dan kader parpol satu per satu terseret pusaran berbagai macam kasus dan tudingan korupsi, paling tidak rakyat melihat dengan hati kecut dan penuh kedongkolan.

Jika kita tidak ingin rakyat betul-betul menjadi apatis terhadap segala hal yang berbau politik di negeri ini, etika politik para politisi, sebaiknya mulai dikembalikan pada sebuah niat awal, yaitu politik untuk kebaikan dan kebajikan. Dan hal itu harus dimulai dari partai politik yang harus mengembalikan moralitas politik para kadernya.

Begitu pula dengan sistem pemerintahannya, negara harus berusaha keras untuk terus berbenah dan melakukan transparansi kebijakan sehingga menutup peluang para “mafia” untuk bermain di wilayah yang abu-abu.

Terlepas dari itu semua, 9 Desember nanti perhelatan pilkada khususnya di 19 kota/kabupaten di Jawa Timur akan digelar. Kita tentu mempunyai harapan tinggi tentang pilkada.

Buat kita semua, dari sisi positif konteks pilkada yang terpenting bukan pada semarak dan riuhnya saat kampanye atau suasana adem ayemnya. Melainkan bagaimana seharusnya dalam perhelatan pilkada nanti, di situ dapat  menghasilkan pemimpin yang relatif baik dan layak untuk menjadi seorang pemimpin..

Sebab, dengan pemimpin yang baik dan amanah, maka akan menghasilkan tata kelola pemerintahan yang baik dan transparan pula, kemudian pada akhirnya akan berujung pada sebuah kesejahteraan rakyat.

Harapan kita, pilkada kali ini boleh sepi, tapi harus tetap melahirkan pemimpin bermutu tinggi.

Salam Kaji Taufan

(Dari berbagai sumber)

Subscribe

Terimakasih Telah Berlangganan Berita Teras Jatim