17 Tahun Nabung di Bumbung, Pasutri Buruh Tandur Berangkat Haji

17 Tahun Nabung di Bumbung, Pasutri Buruh Tandur Berangkat Haji

TerasJatim.com – Suasana Asrama Haji Sukolilo Surabaya sore tampak ramai. Ada tiga kelompok terbang (kloter) asal embarkasi Surabaya yang masih tinggal dan akan segera diberangkatkan ke Tanah Suci.

Hampir di tiap sudut asrama berkapasitas 3.000 orang ini, dapat ditemui calon-calon jemaah haji yang tengah menanti waktu keberangkatan mereka. Binar bahagia dan kerinduan memenuhi panggilan Illahi pun tampak terpancar dari wajah mereka.

Tak terkecuali yang dirasakan oleh Asrofi (70) dan sang istri Mutiatun (65), jemaah haji Kloter 5 Embarkasi Surabaya (SUB 05).

Ditemui di teras salah satu gedung penginapan Asrama Haji Sukolilo, pasangan suami istri ini berkisah tentang rasa bahagiaannya, mendapat kesempatan berangkat haji. Hal ini tak lepas dari pekerjaan yang digeluti pasutri ini yang hanya buruh tani di kampung asalnya di Banyuwangi Jatim

“Alhamdulillah, wong ndak pernah mengira bisa berangkat haji. Kami hanya berusaha,” tutur Mutiatun, sembari menyeka air mata lantaran terharu.

Sesaat kemudian, ia tampak menerawang, mengingat kembali perjuangan panjangnya bersama sang suami untuk dapat mendaftar haji.

Biaya haji yang berada pada kisaran puluhan juta, dirasa amat berat bagi mereka yang hanya bekerja sebagai buruh tani dan memelihara kambing. Apalagi, Asrofi hanya buruh tanam padi bagi para pemilik sawah di desanya. Sementara Mutiatun, lebih banyak tinggal di rumah untuk merawat anak-anak mereka. Sesekali saja ia membantu suami menjadi buruh tandur.

“Ya memang sejak awal pekerjaannya ya buruh tani. Nah sekarang Bapake agak bungkuk, karena ya nunduk terus nandur di sawah,” kata Mbah Mutiatun sambil menatap lelaki tua yang telah menikahinya sejak 1974 lalu itu.

Senyum tipis pun tampak tersungging di wajah lelaki tua itu. Seperti sang istri, matanya pun berkaca-kaca saat menuturkan awal mula ia berniat pergi haji. “Penghasilan buruh tani kan tidak tentu. Tapi saat tahun 1993, saya mulai niat untuk bisa pergi haji,” ujarnya lirih.

Menurut Asrofi, pergi haji ke Tanah Suci adalah kewajiban tiap muslim. Maka, untuk mencapainya tetap harus diusahakan. “Waktu itu ya berat. Apalagi kami harus menghidupi empat orang anak. Masih ada yang sekolah, masih ada yang di pondok pesantren,” ujar Mutiatun menambahkan.

Meski hidup dengan kondisi ekonomi terbatas, pasangan Asrofi dan Mutiatun berprinsip bahwa agama itu utama. Sehingga, meski kondisi serba terbatas, keduanya pun tetap berikhtiar memenuhi rukun Islam yang kelima. Mereka sisihkan sebagian penghasilannya untuk ditabung.

Sejak 1993, mereka mulai menabung, bukan di bank, atau lembaga penyimpanan resmi, melainkan di bumbung bambu yang mereka buat sendiri. “Ya nabungnya di rumah, ditaruh di bumbung bambu, dilubangi, kemudian uangnya ditaruh di situ,” cerita Asrofi.

Penghasilan yang mereka dapat tak pernah besar. Menjadi buruh tandur pada masa itu, ia dan suami hanya dibayar Rp30 ribu perhari. Perlahan dari upah buruh tandur tersebut, mereka berdua berhasil memperoleh sebidang tanah seluas ¼ bau (sekitar 1.750 m2) yang sesekali ditanam kedelai atau padi.

Kalau sedang beruntung, mereka bisa memanen, yang artinya ada tambahan penghasilan bagi keluarga ini. Untuk sekali musim panen, mereka mendapat penghasilan sekitar Rp4 juta. “Itu tiga bulan sekali, dan masih kotor,” kata Asrofi.

Lagi-lagi, penghasilan tersebut seringkali tak mencukupi kebutuhan keluarga dengan 4 orang anak. Tapi toh hal ini tak menyurutkan niat keduanya. Impian mereka adalah, mampu pergi ke Tanah Suci. Maka bumbung bambu itu perlahan mereka isi, meski kapan akan mencukupi untuk mendaftar haji.

“Uangnya juga sudah ndak bagus lagi,” ujar Mutiatun menambahkan.

Atas izin Allah, kerja keras mereka berbuah manis. Setelah kurang lebih 17 tahun menabung, pasangan ini mendaftar haji pada 2010. “Uangnya ya gak cukup dari yang ditabung, itu dibantu oleh anak pertama saya yang saat itu sudah bekerja di Riau,” kata Asrofi.

Dengan berurai air mata, Mutiatun mengaku bahagia karena Allah mengabulkan impian mereka berdua untuk bisa berangkat haji. “Alhamdulillah, anak saya yang kedua pun sekarang masih di pondok. Membantu romo kyai mengajar juga,” imbuhnya Mutiatun.

Sementara dua anaknya yang lain memilih bekerja selepas menyelesaikan pendidikan di pondok pesantren.

Kini, kedua pasutri yang tergabung dalam Kloter 5 Embarkasi Surabaya (SUB 05) itu, mampu berangkat ke Tanah Suci berkat ikhtiar yang telah mereka lakukan. (Ah/Kta/Red/TJ)

Subscribe

Terimakasih Telah Berlangganan Berita Teras Jatim