Sejumput Cerita Madrasah di Pacitan, Jadi Jawaban hingga Jauh dari Godaan

Sejumput Cerita Madrasah di Pacitan, Jadi Jawaban hingga Jauh dari Godaan

TerasJatim.com, Pacitan – Tak berlebihan jika kita menyebut madrasah di Kabupaten Pacitan, Jatim, makin digandrungi. Kepercayaan masyarakat dengan sederet fakta yang dilihat. Pun yang didengar terhadap madrasah, dinilai makin tumbuh positif.

Orang tua, punya andil besar untuk memberikan yang terbaik kepada putra putrinya. Apa pun itu, termasuk dalam hal pendidikan.

Anak yang berminat sekolah di madrasah, mulai Raudhatul Athfal (RA), Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA), dalam 3 tahun terakhir mengalami tren naik turun dan naik.

Dilihat dari data yang diperoleh dari Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Pacitan, mulai tahun pelajaran 2020/2021, tercatat ada 18.009 anak yang mengenyam pendidikan di madrasah, dengan rincian RA 2.014 anak, MI 6.686 anak, MTs 6.998 anak, dan MA 2.311 anak.

Kemudian pada tahun pelajaran 2021/2022, mengalami penurunan jumlah. Dari semula 18.009 anak, menjadi 17.818 siswa yang bersekolah di madrasah, atau turun 191. Adapun rinciannya, RA 2.124 anak, MI 6.659 anak, MTs 6.760 anak, dan MA 2.275 anak.

Sedangkan di tahun pelajaran 2022/2023, mengalami peningkatan drastis yakni 2.033 murid. Di tahun sebelumnya 17.818 siswa, menjadi 19.851 anak yang sekolah di madrasah. Rinciannya; RA 2.190 anak, MI 8.041 anak, MTs 7.194 anak, dan MA 2.426 anak.

Data tersebut dihimpun dari pusat data EMIS, namun data jumlah siswa untuk tahun pelajaran 2023/2024 belum dapat dilihat atau masih dalam proses, karena sistem yang digunakan online langsung dari pusat, atau Kementerian Agama pusat.

“Kalau tahun pelajaran 23/24 ini datanya belum bisa dilihat. Tapi diprediksi meningkat. Di kota saja, ada beberapa sekolah madrasah yang menolak siswa (keterbatasan ruang),” kata Abdul Hamid Aminudin, Kasi Pendidikan Madrasah (Pendma), Kantor Kemenag Pacitan, Selasa (01/08/2023) kemarin.

Menurut Hamid, menurunnya perolehan peserta didik di tahun pelajaran 2021/2022 itu, karena memang anak usia sekolah di lingkungan sekitar madrasah memang kurang. Hal ini mengingat jumlah penduduk yang ada di setiap wilayah madrasah berbeda-beda.

“Kemudian kalau saya lihat, animo masyarakat di pedesaan saat ini cenderung ke pesantren,” terang Hamid, tanpa menyebut jumlah secara rinci.

Di satu sisi Hamid menilai, jerih payah yang dilakukan madrasah sampai saat ini berbuah manis. Kata dia, kepercayaan masyarakat terhadap madrasah ini sudah tumbuh lebih baik.

“Jadi, orang tua itu sudah melakukan yang terbaik untuk putra putrinya. Membentengi akhlak generasi bangsa dari hal-hal yang negatif. Kepercayaan masyarakat kepada madrasah sudah ada, dan lebih baik,” imbuhnya.

Kurikulum Madrasah, Jadi Jawaban Keinginkan Masyarakat

Di kota dengan sebutan lain 1001 gua ini, tercatat ada 293 madrasah atau lembaga pendidikan di bawah Kementerian Agama setempat, mulai jenjang RA hingga MA.

Adapun rinciannya, RA berjumlah 99 madrasah, MI 113, MTs 54 dan MA 27 madrasah. Dari jumlah tersebut, madrasah dengan status negeri hanya berjumlah 9, sedangkan status swasta ada 284 madrasah.

“Secara umum, nasional ya memang madrasah itu mengalami peningkatan, baik jumlah siswa maupun sekolahnya,” ujar Sugiyo, Kepala Kantor Kemenag Pacitan, terpisah.

Menurutnya, hal itu menjadi indikator bahwa kepercayaan masyarakat terhadap madrasah semakin meningkat. Pun sesuai dengan amanat UUD 45, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kesejahteraan umum.

“Di dalam amanat UUD itu, bahwa pendidikan itu terkadung maksud adalah pendidikan lahir dan batin. Itu menjadi keinginan masyarakat di Indonesia yang mayoritas religius,” katanya.

“Apalagi Islam. Kita meyakini jika nanti ada pertanggungjawaban di dunia dan akhirat. Sehingga pendidikan yang diinginkan itu sudah tepat (madrasah), yaitu pendidikan lahir dan batin,” lanjutnya.

Dari analisisnya, selama ini masyarakat itu rindu putra putrinya bisa belajar agama dengan baik, selain pendidikan umum. Kata dia, kurikulum di madrasah dan pendidikan umum yang berlabel Islam, sudah memberikan apa yang diinginkan masyarakat.

Pendidikan umum dan agama itu, sambungnya, sudah ada pada kurikulum madrasah, karena terdapat muatan materi-materi agama lebih, seperti Al quran hadist, sejarah kebudayaan islam (SKI), fikih, akidah akhlak, bahasa arab, yang menjadi ciri khas dari madrasah.

“Kemudian ditambah dengan pembiasaan lain yang diuswahkan, termasuk pembiasaan shalat sunah, baca Al quran hingga inovasi-inovasi lainnya di madrasah guna pendalaman agama (Islam),” urainya.

“Itu semua dinilai sendiri oleh masyarakat. Karena itu indikator yang sangat nampak. Mungkin itu yang jadi pertimbangan para orang tua untuk menyekolahkan anaknya di madrasah, termasuk di Pacitan,” sambungnya.

Perkembangan Pembelajaran dan Sepucuk Harapan di Masa Datang

Sejak pandemi Covid 19, perubahan pembelajaran dalam dunia pendidikan di Indonesia ini berjalan cepat. Menurut Sugiyo, perubahan yang paling mencolok yakni dalam hal sumber belajar keilmuan.

Ia mencontohkan, sebelumnya pembelajaran itu mewajibkan adanya guru, kelas, murid dan bahan ajar. Sedangkan perubahan yang dimaksud, terang dia, tidak dibatasi dengan batasan fisik, seperti kelas atau di dalam ruangan.

“Sejak Covid kemarin, perkembangan pendidikan di Indonesia itu sangat drastis. Perubahannya sangat cepat, dan tidak dibatasi dengan batasan fisik. Sekarang, kelas itu bukan dalam bentuk fisik, tapi kelas itu dapat diartikan kelompok belajar, kelompok usia,” terang Sugiyo.

“Kemudian metodologi pembelajaran juga berubah. Kalau dulu guru menerangkan, sekarang siswa yang aktif. Karena sumber belajarnya sudah lebih bagus daripada yang disajikan gurunya, dan dapat diakses kapan saja, di mana saja,” lanjutnya.

Dia berharap, perubahan-perubahan tersebut harus segera ditangkap oleh guru dan madrasah. Dia pun mewanti-wanti agar jangan berpuas diri dengan apa yang sudah dicapai saat ini.

“Dunia ini tak pernah berhenti, bergerak dengan cepat, maka pembelajaran juga harus berubah dengan cepat. Gurunya harus meng-update dirinya mengikuti perubahan,” katanya.

Di samping itu, dengan perubahan pembelajaran tersebut diharapkan siswa lebih aktif, supaya tidak selalu menjadi konsumen, tetapi sudah saatnya generasi penerus menjadi produsen atau pelaku.

“Kita ini semua masih begitu (konsumen). Jadi, ketika ada perubahan teknologi, ada temuan, kita baru belajar. Kapan kita menemukan? Kapan kita itu menjadi pelaku? Dan ini harus menjadi cita-cita anak kita,” paparnya.

Ada ‘Atsar’ di Pacitan dan Suasana Kondusif Untuk Belajar

Kabupaten dengan jumlah penduduk 596.649 jiwa (data BPS) ini, bukan hal yang mustahil lahir tokoh-tokoh besar, yang namanya mengharumkan tempat lahir.

“Saya sering bilang, mengutip dari Gus Yahya, ada ‘atsar’ (bekasan atau sisa) di Pacitan ini,” kata Sugiyo.

“Atsar yang dimaksud dari Gus Yahya itu, Pacitan itu kalau ada tokoh besar bukan yang mustahil, karena dulu kita punya tokoh besar dunia, misalnya Kiai Mahfud Attarmasi, sehingga kemudian turunannya itu kalau Pacitan lahir presiden ya wajar. Pantas,” sambungnya.

Sugiyo menilai, Pacitan dengan letak geografis 80 persen pegunungan ini juga cukup kondusif dalam hal belajar. Menurutnya, kabupaten ini jauh dari godaan, yang seharusnya bisa menjadi nilai plus untuk meningkatkan pembelajaran yang lebih baik lagi.

“Pacitan ini kan kotanya kecil, damai, jauh dari godaan metropolitan. Ditambah suasananya tenang, dengan udaranya yang segar, sehingga lebih kondusif untuk pembelajaran lebih baik,” ungkapnya.

“Harapan kita, madrasah ke depan harus lebih baik menangkap momentum-momentum ke depan,” tukasnya. (Git/Kta/Red/TJ)

Subscribe

Terimakasih Telah Berlangganan Berita Teras Jatim