Sidang Perdana Anak Kiai Jombang, Pengacara Minta Terdakwa MSAT Dihadirkan Langsung
TerasJatim.com, Surabaya – Moch Subchi Azal Tsani (MSAT) alias Mas Bechi, putra kiai di Ploso Jombang, menjalani sidang perdana kasus dugaan pencabulan hingga pemerkosaan, di PN Surabaya, Senin (18/07/2022).
Dalam sidang kali ini, terdakwa Mas Bechi, mengikuti sidang secara daring dari Rutan Medaeng, Sidoarjo, dengan alasan pandemi Covid-19.
Dalam sidang perdana yang dilakukan secara tertutup di Ruang Cakra PN Surabaya ini, Pihak kejaksaan menyiapkan 11 orang Jaksa Penuntut Umum (JPU), sedangkan terdakwa didampingi oleh 10 orang penasehat hukum.
Pantauan di lokasi sidang, terdapat puluhan aparat keamanan untuk mengamankan jalannya sidang kasus yang sempat menghebohkan masyarakat ini.
Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Jatim, Mia Amiati, yang mengikuti jalannya persidangan di PN Surabaya mengatakan, agenda sidang hari ini adalah pembacaan dakwaan. “Agenda dakwaan. Tugas kami sebagai jaksa penuntut umum (JPU) melaksanakan penuntutan. Tidak ada arogansi karena kami ingin menegakkan hukum dengan humanis,” ujarnya.
Mia mengatakan, dalam dakwaan tersebut, terdakwa yang merupakan putra kiai pengasuh Pesantren Shiddiqiyyah Ploso Jombang ini, didakwa dengan pasal berlapis. “Terdakwa kami kenakan Pasal 285 KUHP tentang Perkosaan dengan ancaman hukuman 12 tahun kurungan penjara, kemudian Pasal 295 KUHP tentang Pencabulan dengan ancaman 9 tahun penjara, dan Pasal 294 ayat 2 kedua dengan ancaman 7 tahun junto Pasal 65 ayat 1 KUHP,” ujarnya.
Baca juga: https://www.terasjatim.com/terancam-penjara-12-tahun-msat-akan-disidang-di-pn-surabaya/
Terpisah, I Gede Pasek Suardika, ketua tim penasehat hukum mengatakan, ada 2 hal yang membuat pihaknya mengajukan permohon kepada majelis hakim yang diketuai Sutrisno ini.
Menurut Pasek, pihaknya akan mengajukan nota keberatan (eksepsi) terhadap dakwaan JPU. Menurutnya, surat dakwaan JPU dinilai sumir. “Yang kami eksepsi kan karena memang dakwaan sumir. Kami sesalkan kenapa harus online hari gini dan untuk apa sidang dipindahkan dari Jombang ke Surabaya. Kalau online tetap aja di Jombang kan, kalau di Surabaya hadirkan dong biar kita kan sama-sama cari keadilan, apakah peristiwa yang didakwakan itu fakta atau yg didakwakan itu fiktif. Kan bisa diuji,” kata mantan politisi Partai Demokrat itu usai sidang.
Pasek menjelaskan, pihaknya menyebut dakwaan JPU Sumir, lantaran berita di media disebutkan ada belasan orang santriwati yang menjadi korban kliennya. Tetapi faktanya, ternyata hanya 1 orang dan usianya 20 tahun waktu kejadian. “Dan hari ini sudah 25 tahun usianya korban. Jadi kaget juga bahwa apa yang disampaikan di media dan dalam dakwaan beda sekali,” sebut Pasek.
Menurut dia, di dalam persidangan, terjadi perdebatan panjang terkait 2 hal. Pertama, soal sidang online tapi tanpa pemberitahuan kepada pihak pengacara. “Kami berharap terdakwa, saksi semua dihadirkan. Kita saja berkerumun begini tidak apa-apa, kenapa mencari keadilan tidak berani. Jadi akhirnya majelis hakim menengahi masing-masing mengajukan surat dengan argumentasinya, saya sidang di Jakarta hadir itu tidak ada masalah, emangnya beda,” ungkapnya.
Sementara yang kedua, sambung Pasek, pihaknya mengaku jika sampai sidang perdana berjalan, pihaknya belum menerima BAP. Untuk itu, dia kemudian mengajukan permintaan BAP tersebut. “Kami juga ajukan itu. Mengapa dipersulit banget, hal-hal seperti itu kan hal dasar dalam KUHAP. Jadi mari sama-sama kita mencari keadilan materiil. Hakim, advokat maupun jaksa sama-sama mencari kebenaran materiil. Jadi bukan saja semuanya apakah peristiwa yang didakwakan itu fakta atau fiktif,” imbuhnya.
Pasek mengungkapkan, selama ini keluarga besar kliennya jarang menjelaskan kepada publik. Sehingga peradilan opini lebih dulu dialami. “Dan hari ini kami jelaskan secara pelan-pelan. Yang dihadirkan hanya 1 orang dan tidak seperti yang dibombastiskan seperti sebelumnya. Maka dari itu kami ingin tahu BAP secara lengkap seperti apa. Kalau orang salah silakan diadili, tapi jangan mengadili orang yang tidak jelas kesalahannya apa,” pungkas dia. (Kta/Red/TJ/dari pelbagai sumber)