Sasar Vaksinasi di Desa Terpencil, Kapolres Pacitan Pejabat Pertama Yang Datang di Kampung Pitu

Sasar Vaksinasi di Desa Terpencil, Kapolres Pacitan Pejabat Pertama Yang Datang di Kampung Pitu

TerasJatim.com, Pacitan – Jajaran Polres Pacitan Jatim, melakukan vaksinasi Covid-19 secara door to door dan menyasar warga di Kampung Pitu (tujuh) atau warga sering menyebutnya Ngendak.

Di Kampung Pitu yang merupakan bagian dari RT 4, RW 9, Dusun Krajan Kidul, Desa Temon, Kecamatan Arjosari tersebut, bukan hanya vaksinasi saja, tetapi Polres Pacitan juga memberikan bantuan sosial (bansos) berupa beras dalam kemasan 5 kilogram dan 10 kilogram.

“Biasanya wilayah marjinal (terpinggirkan) itu jarang tersentuh. Jadi vaksinasi ini termasuk prioritas,” ujar AKBP Wiwit Ari Wibisono, Kapolres Pacitan, kepada TerasJatim.com, di sela-sela kegiatan, Rabu (06/10/2021).

Di wilayah marjinal, lanjut Wiwit, jika tidak disentuh maka target 100 % vaksinasi Covid-19 di Kabupaten Pacitan tidak akan tercapai. Terlebih, tidak sedikit warga di kota yang memiliki julukan lain 1001 Gua ini sedang berada di luar daerah atau merantau.

“Semua kan didata melalui KTP. Sedangkan masyarakat Pacitan banyak yang merantau, bagaimana memenuhi 100 persen? Apalagi jika kelompok yang di pelosok tidak disentuh, bagaimana mau mencapai target,” ungkapnya.

Untuk itu, pihaknya telah mendorong pemerintah setempat untuk mengupayakan dalam mengejar target tersebut agar tercapai. “Tidak hanya mendorong saja, tapi kita turut memberi solusi dan membantu untuk percepatan vaksinasi. Alhamdulillah pemerintah cukup antusias dan terbukti dalam sehari bisa mencapai 7 ribu-10 ribu orang,” katanya.

Namun demikian, kata dia, masih ada kendala yakni data antara PCare vaksinasi Covid-19 Pemkab Pacitan dengan data dashboard vaksin provinsi tidak sinkron. “Jadi PCare misalkan 9 ribu, tercatat di dashboard provinsi itu hanya 5 ribu. Ada data yang hilang. Saya minta Pemkab untuk koordinasi dengan provinsi agar persentasinya sinkron dan jangan sampai vaksin, tenaga sudah dikeluarkan itu terbuang sia-sia tidak tercatat. Dan ini harus dikejar dan disinkronkan,” urainya.

Berdasarkan catatan Kapolres dan juga Pemkab Pacitan, saat ini persentase vaksinasi Covid-19 di Pacitan sudah mencapai 31% dan hampir 32%. “Mungkin hari ini akan tambah lagi, bisa jadi 33% atau 34%. Sedangkan di catatan dashboard provinsi itu masih 27%, berarti ada missing sekitar 3%, sayang kan. Untuk itu harus disinkronkan,” paparnya.

Pejabat pertama yang datang di Kampung Pitu, Kapolres Pacitan pecahkan mitos

Menyasar vaksinasi Covid-19 di Kampung Pitu tersebut berawal dari ketertarikan Kapolres Pacitan usai melihat youtube terkait keberadaan Kampung Pitu dan mitos yang telah beredar luas, baik di media maupun laman sosial.

Mitos yang beredar diantaranya, yakni di kampung tersebut hanya dihuni tidak lebih dari 7 keluarga dan sudah turun temurun. Kabar yang beredar, jika dihuni lebih dari jumlah itu, maka kerap ada kejadian janggal, seperti penghuni baru merasa tidak betah, sering cek-cok dalam rumah tangga dan sebagainya.

Mitos lainnya, sebelum Kapolres mengunjungi tempat tersebut belum pernah ada pejabat yang berani datang di ke Kampung Pitu. Karena, jika ada pejabat yang datang ke tempat itu kabarnya akan turun pangkat. “Berarti termarjinalkannya mereka ini. Berarti pejabat/petugas tidak pernah ada yang masuk ke sini karena mitos itu. Lalu saya terpikir untuk mengecek apakah mereka sudah divaksin atau belum, ternyata belum. Akhirnya kita lakukan vaksinasi sekaligus kasih bantuan sosial,” katanya.

“Niat kita baik, vaksin untuk kesehatan mereka dan bansos. Dan tetap adat istiadat masuk ke sini (Kampung Pitu) itu seperti apa? Saya cari tahu dulu. Oh harus izin ini itu. Oke izin ke Tremas, saya telepon Gus Fuad (Kiai Tremas), kemudian Bhabinkamtibmas juga sudah kulo nuwun sama warga dan juru kunci di sini. Semua mengizinkan, kalau niatnya baik tidak ada masalah, akhirnya kita masuk ke sini,” sambung Wiwit.

Di samping melakukan vaksinasi dan bansos, apa yang dilakukan Kapolres di Kampung Pitu tersebut tidak lain untuk memberi contoh kepada para pejabat pemerintahan yang ada di Pacitan, agar mengesampingkan jauh-jauh mitos tersebut jika datang dengan niat baik. “Ini juga untuk menyadarkan pejabat-pejabat di Pacitan agar juga memperhatikan mereka, dan tolong jangan dibatasi mereka. Masuk saja. Tidak ada masalah, yang penting niat kita baik,” jelasnya.

Di Kampung Pitu tersebut tampaknya benar-benar terisolir. Selain hanya dihuni sekitar 25 jiwa, di kampung itu belum ada warga yang pasang meteran listrik sendiri, bahkan penerangan menuju ke tempat tersebut belum ada. Warga setempat hanya menyalur listrik dari dusun yang ada di desa terdekatnya, seperti dari Dusun Randu, Desa Gayuhan yang jaraknya sekitar 300-500 meter dan ada yang menyalur dari Dusun Purwodadi, Desa Jatimalang.

Disoal terkait infrastruktur seperti listrik di Kampung Pitu, Kapolres Pacitan berjanji akan menyampaikan kondisi kondisi tersebut kepada Pemkab Pacitan. “Bermula dari sini, nanti akan ada obrolan dengan Forkopimda. Biasanya saya ngobrol dengan bupati, nanti saya akan menyampaikan jika saya habis dari Kampung Pitu. Di sana adat istiadatnya dan persoalannya seperti ini, tidak ada masalah masuk jika niat kita baik,” ucapnya.

Selain itu, pihaknya juga akan menyampaikan agar pemerintah juga benar-benar memperhatikan kampung tersebut. “Tolong dong diperhatikan. Jangan ada kampung itu yang benar-benar terisolir karena kalian (pejabat) takut masuk dan akhirnya segala bantuan tersendat. Kalau takut, oke itu manusiawi. Saya kasih contoh ke sini agar menjadi legimitasi bagi Camat atau lainnya agar juga masuk ke sini dan tidak ada masalah,” imbuhnya.

Mitos dan titik sejarah di Kampung Pitu Desa Temon Pacitan

Berbatasan dengan 2 desa, yaitu Desa Gayuhan dan Desa Jatimalang, Kampung Pitu berbeda dengan kampung lainnya di Desa Temon khususnya.

Kepala Desa Temon, Jamiatin, mengatakan, menurut pitutur leluhur terdahulu, di kampung dengan sebutan lain Ngendak itu pernah menjadi tempat singgah para wali dalam menyebarkan ajaran agama Islam. “Kampung Pitu ini dahulu pernah disinggahi para wali. Ada mitos di sini memang ada sesuatu hal yang berbeda dengan kampung lain. Cerita dari para sesepuh terdahulu di sini selalu berjumlah 7 rumah, misal lebih katanya ada yang pindah, tidak betah, sakit dan sebagainya. Jadi dari dulu sampai sekarang berjumlah 7 rumah,” ujar Jamiatin, menirukan cerita lelulur.

Terkait mitos di Kampung Pitu, ia menyebut bahwa hal itu hanya mitos. Pihaknya pada awal menjabat Kades pernah dipesan oleh orang terdahulu agar tidak ke Ngendak atau Kampung Pitu. “Saya 2 kali jabat kades, di awal pernah dipesan oleh sesepuh yang juga pernah pegang jabatan, misal jangan ke sana. Karena istilah Ngendak itu dulu ada kata-kata dari atas mudun (turun), kalau jabatannya tinggi bisa melorot (turun),” katanya, menirukan ucapan pitutur leluhur, Rabu siang.

“Kalau misalnya kita ke sini tidak kulo nuwun dan tidak tahu sebelumnya bahwa di sini ada titik-titik tempat sejarah yang harus kita hargai dan kita nyelonong saja, itu bisa terjadi sesuatu hal pada diri kita. Mudah-mudahan itu hanya mitos, yang lalu biarlah berlalu dan semua hal jika diserahkan pada sang pencipta, Insya Allah semua itu bisa dibuka. Jangan sampai mitos itu menjadikan kampung ini tidak dapat perhatian,” sambung Jamiatin.

Dengan kunjungan Kapolres beserta jajarannya tersebut, pihaknya berharap ke depan akan memberi dampak positif bagi kampung tersebut. Bahkan akan menarik perhatian bagi pejabat daerah, seperti disambangi oleh pihak kecamatan hingga Pemkab Pacitan. Hal ini agar Kampung Pitu tersebut ke depan lebih maju.

“Dengan pembuktian hari ini, Pak Kapolres beserta jajarannya hadir, Pak Kapolsek juga hadir di sini ternyata tidak ada suatu hal apapun, mungkin ke depan akan membuka para pimpinan-pimpinan daerah di Pacitan ini ikut turun tangan (pembangunannya), agar maju dan lebih sejahtera seperti wilayah-wilayah yang lainnya,” ungkapnya.

Di sini, kata dia, menurut sejarah juga terdapat masjid tertua di Pacitan. Bahkan keberadaannya sudah diteliti dari pihak Tremas (pengasuh/kiai Pondok Tremas) dan sudah merenovasi masjid. “Sejarahnya masjid ini pernah dihadiri para wali. Dan ini perlu mendongkrak dari pemkab karena ada ikon yang luhur dan perlu untuk dibudidayakan di Desa Temon khususnya di Kampung Pitu ini,” tambahnya.

Sementara itu, menurut Sholekan, sesepuh yang juga warga setempat, jika masuk ke Kampung Pitu tersebut tidak ada syarat khusus selain harus jujur pada diri sendiri. Jujur yang dimaksud yakni mempunyai niat baik. “Tidak ada syarat khusus, kalau masuk ke sini harus jujur. Tidak pandang ini pegawai atau apa. Kebanyakan orang yang ke sini tidak kenapa-kenapa,” katanya ditemui terpisah.

Selain rumah yang sedikit dan masjid tua, di Kampung Pitu juga terdapat sebuah petilasan. Warga setempat menyebut pendedehan atau tempat berjemur para ulama terdahulu. Menurut kepercayaan, tempat ini dulu sering digunakan berjemur oleh Mbah Nolosuto, leluhur di wilayah tersebut dengan para ulama. “Ceritanya dulu itu Mbah Nolosuto bersama dengan para ulama menyeberang sungai terus merasa kedinginan, kemudian membuat tempat pendedehan di situ,” jelasnya.

Terlihat, pendedehan tersebut berbentuk lingkaran, di samping lingkaran ditata bata merah namun di tengahnya hanya dibiarkan tanah yang bercampur bebatuan kecil. Namun, sekarang pendedehan itu telah direnovasi, semula batu bata terlihat kini telah diplaster dan di tengahnya masih dibiarkan seperti semula. “Pengunjung yang datang ke sini hanya berdoa, bermunajat, ziarah dan istighosah. Mereka berasal dari berbagai daerah,” terangnya menambahkan. (Git/Kta/Red/TJ)

Subscribe

Terimakasih Telah Berlangganan Berita Teras Jatim