‘Lelaku’ Suro dan Tahun Baru 1438 Hijriah

‘Lelaku’ Suro dan Tahun Baru 1438 Hijriah

TerasJatim.com, – Kedatangan tahun baru biasanya ditandai dengan berbagai kemeriahan, seperti pesta  kembang api, keramaian tiupan terompet, maupun berbagai arak-arakan di malam pergantian tahun.

Lain halnya dengan pergantian tahun baru Jawa yang jatuh tiap malam 1 Suro (1 Muharram) yang tidak disambut dengan kemeriahan, namun dengan berbagai ritual dan lelaku sebagai bentuk  introspeksi diri.

Saat malam 1 Suro tiba, masyarakat Jawa  pada umumnya melakukan ritual tirakatan, melekan (tidak tidur semalam suntuk), dan tuguran (perenungan diri sambil berdoa). Bahkan sebagian orang memilih menyepi  untuk bersemedi di tempat sakral seperti puncak gunung, tepi laut,  pohon besar, atau di makam keramat.

Ritual 1 Suro telah dikenal masyarakat Jawa sejak masa pemerintahan Sultan Agung pada (1613-1645 Masehi). Saat itu masyarakat Jawa masih mengikuti sistem penanggalan Tahun Saka yang diwarisi dari tradisi Hindu.

Sementara itu umat Islam pada masa Sultan Agung menggunakan sistem  kalender Hijriah. Sebagai upaya memperluas ajaran Islam di wilayah tanah Jawa, kemudian Sultan Agung memadukan antara tradisi Jawa dan  Islam dengan menetapkan 1 Muharram sebagai tahun baru Jawa.

Bagi masyarakat Jawa, bulan Suro sebagai awal tahun Jawa juga dianggap sebagai bulan yang sakral atau suci. Bulan yang tepat untuk melakukan renungan, tafakur dan introspeksi untuk mendekatkan dengan Yang Maha Kuasa.

Cara yang biasa digunakan masyarakat Jawa untuk berinstrospeksi adalah dengan lelaku, yaitu mengendalikan hawa nafsu.

Lelaku malam 1 Suro, tepat pada pukul  24.00 saat pergantian tahun Jawa, diadakan secara serempak di Kraton  Ngayogyakarta (Jogjakarta) dan Surakarta Hadiningrat sebagai pusat kebudayaan Jawa.

lelaku-suro-dan-tahun-baru-1438-hijriah1

Di Kraton Surakarta Hadiningrat kirab malam 1 Suro dipimpin oleh Kebo Bule Kyai Slamet sebagai Cucuking Lampah. Kebo Bule merupakan hewan kesayangan  Susuhunan yang dianggap keramat.

Di belakang Kebo Bule barisan  berikutnya adalah para putra Sentana Dalem (kerabat keraton) yang membawa pusaka, kemudian diikuti masyarakat Solo dan sekitarnya seperti  Karanganyar, Boyolali, Sragen dan Wonogiri.

Sementara itu di Kraton Ngayogyakarta  Hadiningrat, memperingati Malam 1 Suro dengan cara mengarak benda pusaka  mengelilingi benteng kraton yang diikuti oleh ribuan warga Yogyakarta  dan sekitarnya.

Selama melakukan ritual mubeng beteng (mengitari kraton dengan diam) tidak diperkenankan untuk berbicara seperti halnya orang sedang bertapa. Inilah yang dikenal dengan istilah tapa mbisu mubeng beteng.

Selain di Kraton, ritual 1 Suro juga  diadakan oleh kelompok-kelompok penganut aliran kepercayaan Kejawen yang masih banyak dijumpai di pedesaan. Mereka menyambut datangnya tahun  baru Jawa dengan tirakatan atau selamatan.

Sepanjang bulan Suro masyarakat Jawa  meyakini untuk terus bersikap eling (ingat) dan waspada. Eling artinya  manusia harus tetap ingat siapa dirinya dan dimana kedudukannya sebagai  ciptaan Tuhan. Sedangkan waspada berarti manusia juga harus terjaga dan waspada dari godaan yang menyesatkan.

Oleh karena itu, dapat dipahami jika kemudian sebagaian masyarakat Jawa pantang melakukan hajatan pernikahan selama bulan Suro. Pesta pernikahan yang biasanya  berlangsung dengan penuh gemerlap dianggap tidak selaras dengan lelaku  yang harus dijalani selama bulan Suro.

Terlepas dari mitos yang beredar dalam  masyarakat Jawa berkaitan dengan bulan Suro, namun harus diakui bahwa introspeksi menjelang pergantian tahun memang diperlukan agar  lebih mawas diri.

Kata introspeksi tak cukup  dilakukan semalam saat pergantian tahun saja. Semakin panjang waktu yang  digunakan untuk introspeksi, niscaya makin bijak seseorang dalam menyikapi hidup  ini.

Bisa jadi inilah esensi lelaku yang diyakini masyakarat Jawa sepanjang bulan Suro.

Selamat menjalankan lelaku Suro dan Selamat Tahun Baru 1438 Hijriah

Salam Redaksi

(dari berbagai sumber)

Subscribe

Terimakasih Telah Berlangganan Berita Teras Jatim