Untung Berlipat, Warga Nglaran Pacitan Lirik Keterampilan Piring Lidi

Untung Berlipat, Warga Nglaran Pacitan Lirik Keterampilan Piring Lidi

TerasJatim.com, Pacitan – Lidi, tidak hanya digunakan untuk membuat sapu saja. Tapi bahan dari pelepah kelapa atau aren itu juga dapat dimanfaatkan menjadi kerajinan tangan lain yang memiliki nilai jual tinggi, misalnya dibuat menjadi piring.

Di kota-kota besar, kerajinan tangan piring dari lidi itu kerap dijumpai, baik di tempat pengrajin sendiri, pusat oleh-oleh, di kafe, warung makan di objek wisata, warung makan semi modern, hingga restauran.

Berbeda dengan di Kabupaten Pacitan, Jatim, meski punya bahan melimpah, tetapi pemanfaatan lidi untuk kerajinan tangan tersebut sepertinya belum terlihat, selain hanya dibuat menjadi sapu. Namun, ada warga desa yang saat ini mulai melirik dan menggeluti kerajinan tangan tersebut, yakni Desa Nglaran, Kecamatan Tulakan.

Terlihat, warga desa yang terdiri dari para pemuda pemudi itu sedang belajar bagaimana cara membuat piring dari lidi. Mereka belajar dipandu oleh Ouwner Crafirafi Tulungagung, Kamirin, di gedung balai desa setempat. Namun sebelum praktik, mereka mendengarkan pemaparan, yang kemudian memulainya dari memilah material yang hendak digunakan.

“Pemilahan dulu, yang panjang disendirikan agar nanti menghasilkan diameter piring yang lebar, dan sebaliknya (lidi) yang pendek disendirikan. Biar mudah. Nanti kan harga jualnya juga beda,” kata Kamirin, Selasa (02/08/2022).

Pria 52 tahun itu menjelaskan, dalam membuat 1 piring, hanya dibutuhkan sejumlah 72 lidi. Sebelum dianyam menjadi piring, jumlah itu lalu dibagi menjadi 6 bagian, dan di setiap bagian ada 12 lidi.

“Sebenarnya ada 2 teknik penganyaman, yang pertama langsung menganyam, kemudian menggunakan alat bantu berupa tali rafia dan lingkaran. Kalau yang sudah ahli, buat 1 piring itu tidak sampai 1 jam selesai,” katanya.

Menurutnya, kualitas lidi dari pohon kelapa di Pacitan yang digunakan memiliki kesamaan dengan di daerah tinggalnya, Tulungagung. Lidi tersebut, kata dia, memiliki karakter keras, sehingga tidak mudah untuk dibentuk.

“Kalau lidi di daerah kita sama. Beda dengan di Banyuwangi, yang ambil dari Bali. Di Bali kan janurnya, jadi hasilnya bisa lentur, dibuat halus, cantik-cantik bisa. Beda dengan lidi kita, kalau dibuat seperti itu sulit, karena keras. Ya memang sudah karakternya lidi,” terang Kamirin.

Sementara, harga jual piring lidi yang sudah jadi itu bervariasi dan tergantung kualitas maupun anyaman. Harga jual dari pengrajin, dipatok mulai Rp1.500 sampai Rp10 ribu lebih per satu piring.

“Tergantung kualitasnya, ada yang harganya satu piring itu Rp15 ribu, tapi memang (harga) itu kualitas dan anyamannya bagus. Makanya saya tidak ambil harga yang tinggi-tinggi, Rp1.500 saja (dari pengrajin), karena masih pemula,” katanya.

Dari analisa Kamirin, jika dibuat piring maka akan lebih untung berlipat dibanding hanya dijual berwujud sapu. Jika harga satu ikat sapu lidi itu dijual Rp1.500, maka jika dibuat jadi piring harganya akan berlipat sampai 10 kali. “Satu bongkok (ikat) sapu lidi ini bisa jadi 10 piring, bahkan bisa lebih, karena buat piring ini hanya butuh 72 lidi,” urainya.

“Kalau ketahanannya, jika dihitung 10 tahun saya jamin belum rusak, karena karakter dari lidi ini keras, licin dan punya kulit yang tidak terpengaruh dari jamur. Beda dengan bambu yang rentan kena jamur,” sambung Kamirin.

Bapak 2 anak itu menambahkan, sejumlah warga yang turut ambil bagian belajar membuat piring dari lidi itu dinilainya cukup antusias, dan punya keinginan tinggi untuk bisa mengaplikasikannya.

“Mereka mampu dan antusias. Sudah ada beberapa yang sudah bisa, tinggal menaikkan (pembelajarannya) lagi. Kalau saya amati, generasi muda desa ini luar biasa,” ungkap Kamirin, menambahkan.

Meski kelihatannya mudah, namun untuk praktik pembuatannya ternyata butuh proses dan tidak mudah seperti yang dilihat. Warga yang baru pertama kali mempraktikannya mengaku kesulitan membuat kerajinan tangan yang memiliki nilai jual tinggi itu.

“Baru sekali ini, ternyata sangat sulit. Tapi tidak tahu kalau nanti sudah bisa, mungkin ya mudah,” kata Uswatik Hasanah, warga Dusun Bongkot, Desa Nglaran, di sela-sela kegiatan.

Menjadi bagian mengasah ketrampilan baru tersebut, perempuan 30 tahun mengaku bersyukur, dan punya keinginan ketika sudah mahir atau bisa membuat sendiri, ilmu yang ia peroleh akan ditularkan kepada warga di lingkungannya.

“Kalau saya sudah bisa, akan saya kembangkan dan ajak ibu-ibu di lingkungan bisa seperti ini (membuat piring dari lidi). Mudah-mudahan bisa menjadi sumber penghasilan yang bermanfaat ke depannya,” harapnya.

Menurut kepala desa setempat, Triyono, dilihat dari potensi Desa Nglaran sendiri, sedikit berbeda dengan desa-desa di terdekatnya yang punya destinasi wisata dan pasar. Dari hal itu, pihaknya memutar otak untuk memaksimalkan dan mengembangkan potensi yang ada di desanya, salah satunya melimpahnya bahan untuk membuat kerajinan tangan dari pelepah kelapa.

“Potensi yang ada di sekitar masyarakat ini, bagaimana caranya bisa dimanfaatkan dengan baik dan bisa menambah penghasilan,” kata Triyono, terpisah.

Sebelumnya, kata Triyono, tidak sedikit warga di desanya yang memanfaatkan pelepah kelapa hanya dibuat sapu. Selain digunakan sendiri, sapu itu juga dijual dengan harga relatif murah, yakni Rp1.000-Rp1.500 setiap 1 ikat sapu.

“Dengan pelatihan ini, saya berharap masyarakat mampu membuat kerajinan yang punya nilai jual tinggi. Misal kalau dibuat sapu harganya hanya Rp1.500, tapi jika dibuat kerajinan lain, seperti buat piring maka harga jualnya bisa bertambah, bisa Rp5.000 sampai Rp10.000 lebih,” ungkapnya.

Sedangkan untuk pemasaran, menurut Triyono tidak sulit. Selain dititipkan di tempat-tempat wisata, juga bisa dipasarkan ke kios atau toko-toko, Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dan bisa juga dipasarkan melalui online. “Semoga ke depan berjalan dengan baik, sehingga dapat meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat,” tukasnya. (Git/Kta/Red/TJ)

Subscribe

Terimakasih Telah Berlangganan Berita Teras Jatim