Resepsi Piring Terbang

Resepsi Piring Terbang

TerasJatim.com, – Siang tadi (08/10), saya datang ke sebuah acara pernikahan seorang teman di sebuah kampung di wilayah Bojonegoro selatan. Undangannya tertulis jam 13.00 wib. Biasanya disetiap acara perkawinan yang saya sering datangi simple dan cepat. Kita datang, masukkan amplop ke kotak, kemudian kita datangi ke kuwade atau pelaminan pengantin untuk salaman dan langsung bergeser ke tempat makan dengan standing party, kemudian selesai dan kita langsung pulang. Paling lama butuh waktu sejam, saya sudah bisa  kembali ke aktifitas lainnya.

Tapi untuk yang hari ini sangat berbeda dari kebiasaan. Kali ini saya merasakan suasana yang lumayan butuh banyak waktu dan kesabaran. Di acara yang dinamai “RESEPSI” ini, nuansanya full tradisional dan terasa adat kampung banget. Saya datang salaman, sama penerima tamu pria diarahkan duduk ke barisan khusus laki-laki. Sebab tempat duduk undangan sengaja dipisahkan antara tamu undangan pria dan wanita. Setelah duduk, para tamu di”paksa” untuk mengikuti dan menyaksikan banyaknya prosesi ritual dan acara.

Pertama kita diminta untuk menyaksikan acara adat sungkeman, kemudian ada pembacaan ayat suci dari seorang qori’ dan ada beberapa sambutan serah-serahan perwakilan ke dua mempelai, serta tausiyah dari seorang kyai kampung setempat. Butuh hampi 3 jam untuk menyelesaikan prosesi itu.

Karena adatnya memang begitu, mau tidak mau saya harus adaptasi untuk mengikuti satu demi satu acaranya. Kemudian di sela-sela kata sambutan, datanglah sajian piring terbang satu-satu. Yang pertama sop bakso, berikutnya selang setengah jam datang nasi rames. Setelah itu kita masih diminta untuk menunggu setengah jam lagi untuk sajian terakhir pencuci mulut dengan es buah.

Saya benar-benar menikmati duduk dengan hawa yang lumayan panas selama itu. Disela-sela waktu yang serba keringetan saya terus berinteraksi dengan tetangga di samping kiri kanan tempat duduk saya. Kebetulan orangnya agak lumayan suka omong dan dua-duanya sudah lumayan uzur. Mereka mengaku warga asli kampung  dan memang setiap ada tetangga dan sanak saudara yang ewoh atau punya hajat, semua warga seperti di komando untuk datang walaupun tanpa adanya undangan khusus yang menggunakan kertas uleman. Jadi jangan salah, kalau siang tadi perempatan pasar desa yang kebetulan dekat sama rumah teman saya itu, penuh dengan undangan yang kebanyakan warga kampung dan mereka duduk tawadhu’ mengikuti prosesi acara satu demi satu hingga selesai.

Saya melihat di mata mereka tidak ada rasa kegelisahan dan terburu-buru dikejar waktu. Saya melihat dari gestur mereka, terlihat sangat menikmati, merasa enjoy dan nyaman walaupun dengan kondisi cuaca yang sangat panas. Saya belajar banyak dari sebuah keguyuban di antara mereka. Saya berpikir, bahwa mereka adalah orang-orang yang sangat menghormati sebuah arti sosialisasi dan silaturahmi.

Sangat berbeda dengan apa yang terjadi di lingkungan yang sering saya temukan. Mereka menganggap bahwa waktu adalah segalanya. semuanya harus cepat dan menghasilkan sesuatu. Untuk menghadiri sebuah undangan hajatan dari seorang teman atau kerabatnya, maunya cepat, acaranya simple, tidak bertele-tele dan segera selesai. Mereka beralasan masih punya janji atau urusan lainnya yang lebih penting dan lebih produktif.

Jujur, semakin hari tanpa kita sadari, kita sering mengabaikan arti penting dari tradisi silaturahmi dan seduluran. Kita sering menganggap interaksi dan bersosialisasi cukup dengan kirim pesan dan ucapan lewat piranti tehnologi.

Tanpa sadar, kita semua dijauhkan dari sebuah persahabatan dan kekerabatan yang alami. Kadang kita gampang melupakan siapa sahabat kita di waktu kecil. Kadang kita tidak mengenal lagi nama dan wajah pak lik dan uwak kita, yang dulu sering menggendong kita. Saat kita merasa menjadi orang “berhasil” dan di atas mereka, dengan berbagai alasan kesibukan dan mengejar kata sukses, kita gampang melupakan hal-hal alami yang sebenarnya menjadi  tradisi.

Kiranya, tidak berlebihan kalau kita harus banyak belajar dari orang-orang yang saya temui siang tadi. Mereka punya ketulusan dalam menikmati sebuah interaksi. Mereka punya keyakinan, bahwa hidup sebenarnya adalah bersosialiasi. Buat mereka, kalimat “silaturahmi memanjangkan usia”, masih menjadi patokan yang tetap di ugemi.

Saya ingin belajar kembali tentang apa sebenarnya makna silaturahmi yang bisa memanjakan usia. Mudah-mudahan segera ada uleman yang datang kembali, dan saya ingin menikmati resepsi “piring terbang” lagi.

Salam Kaji Taufan

Subscribe

Terimakasih Telah Berlangganan Berita Teras Jatim