Asal Jangan ‘Mangan Kancane’

Asal Jangan ‘Mangan Kancane’

TerasJatim.com – Ketika seseorang ditanya apa makanan yang menjadi favoritnya, pasti beragam jawabannya. Untuk mereka yang ekonominya berada pada level ‘setengah susah’, biasanya langsung menjawab apa saja. Sego kucing atau pecel iwak peyek, adalah menu kesehariannya.

Bagi yang ekonomi kelasnya lumayan, biasanya makanan fav-nya masih sebatas kelas depot dan bukan restauran. Masih endek-endekan seperti soto dan nasi campur. Mungkin bisa setahun sekali, mereka baru datang ke warung sea food, sate dan gule. Itu pun jika dapat rejeki nomplok dan makannya masih di tempat PKL pinggir jalan. Hehe

Beda lagi selera makannya orang yang mengaku kaya, atau yang “kayanya dipaksa” dan “mekso kaya”. Segala jenis makanan yang aneh-aneh disebut. Ada Spagheti, Sandwich, Hot dog, Steak, Hamburger, dan nama-nama yang menurut kuping kita agak aneh.

Buat saya, makanan favorit adalah makanan yang jika disajikan, kita merasa senang dan punya nafsu makan yang lahap. Terlepas apapun jenis menu makanannya tersebut.

Saya punya pengalaman, pernah suatu ketika diajak makan sama mantan bos saya di restoran jepang di kawasan Stasiun Gubeng Surabaya. Bos saya memesan Sushi. Karena saya tertarik mendengar kata Sushi, dengan gaya sok tahu, saya pun ikut-ikutan pesan.

Nah, bukannya nafsu makan saya menjadi-jadi. Justru saat pramusaji-nya datang dan membawa menu yang kami pesan, selera dan nafsu makan saya langsung “drop”. Perut saya mendadak dangdutan karena keburu eneg ketika melihat makanan yang buat saya gak umum.

Awalnya, saya membayangkan kalau Sushi itu sejenis makanan yang menarik, gurih dan legit. Bayangan saya, Sushi itu manis. Atau paling tidak seperti teman kuliah saya dulu, Endang Susilowati, yang biasa kami panggil Sus. Hehe

Ternyata, masakan Jepang yang bernama Sushi itu adalah daging tuna dan udang mentah yang ditambah dengan saus, acar dan salad sayur setengah basah.

Kontan, saya jadi merindukan masakan almarhum ibu saya dulu, janganan asem ikan  bothok pindang, atau paling tidak terong yang dicacah kecil-kecil dan dipecel pakai sambel mentah.

Kebetulan, dalam selera makan, hingga kini saya tidak punya makanan favorit. Asal perut merasa lapar dan sudah harus di-pakani, nasi plus kerupuk upil pun doyan.

Saya tidak peduli jika selera makan saya ini dianggap rendah dan murahan. Buktinya saya yang gak pilih-pilih makananan, tiap saat ngaca, pipi saya malah terlihat semakin nyempluk. Hehe

Sebagian orang menjadikan selera dan pilihan makannya merupakan sesuatu yang sangat penting. Mereka kadang sangat memperhatikan kandungan nutrisi yang akan menjadi santapannya. Malahan ada yang nemen rewelnya. Ada yang menghitung berapa kandungan kalorinya, serta apa manfaat kandungan protein dan karbohidratnya. Bahkan, tak jarang ada yang sampai harus menghitung dulu berat makanan yang akan disantapnya.

Dari type pilihan makan dan tempatnya, konon bisa mencerminkan status sosial dan kepribadian seseorang. Sebagian juga menganggap jika pilihan tempat makan merupakan bagian dari life style atau status sosial seseorang.

Saya bisa memahami dengan argumentasi dan pilihan seseorang. Tapi bagi saya, selera dan tempat makan adalah kebutuhan. Kebutuhan makan adalah kebutuhan untuk bertahan hidup yang harus dipenuhi. Terlepas apa yang akan disantapnya nanti, dan di tempat mana dia makan.

Kalau perut merasa lapar dan memang sudah waktunya makan, tidak bijak kalau kita harus mencari dan memilah-milah dulu pilihan menu dan tempat hanya karena gengsi dan gaya hidup. Buat saya itu semua buang-buang waktu dan perut kita keburu kaliren.

Kini, banyak tempat makan baru dibuat untuk sebuah gengsi dan gaya hidup. Bisnis kuliner saat ini dihadirkan sesuai dengan segmentasi pasarnya. Orang masuk ke tempat-tempat makan yang kita anggap mewah, bukan sekedar memenuhi hajat lapar perutnya saja. Tetapi bisa menjadi identitas diri tentang bagaimana status sosial dan gengsi mereka di mata umum.

Bisnis makanan kini bukan sekedar bisnis biasa. Tapi sudah tumbuh dan sengaja dikembangkan menjadi sebuah industri. Dulu, orang mencari makan hanya karena butuh kenyang. Sekarang beda lagi. Makan dan tempatnya kini menjadi sebuah kebutuhan untuk mengangkat strata seseorang di mata sosial.

Jadi jangan heran, kalau ada tarif makan untuk satu orang di tempat makan yang berkelas, yang besaran nilainya sama dengan belanja sembako kita untuk sebulan.

Mulai sekarang, biasakanlah untuk melihat dan membaca brand warung atau tempat makan dan menu-menu asing yang bertebaran dimana-mana. Jangan kaget apalagi gumun, bila kita mendengar istilah yang aneh-aneh tentang nama makanan.

Sisi positifnya, khasanah pengetahuan kita tentang dunia kuliner akan bertambah. Dan paling tidak istilah makanan baru telah kita kenal dan dapatkan dengan gratis tanpa harus bayar SPP.

Kalau kita ingin maju dan gak gugupan, jangan cuman familiar dengan bahasa makanan yang kita kenal sehari-hari, seperti sego sadhukan, mie petir dan bakso granat saja. Minimal mari kita bergaul dengan istilah-istilah baru di luar sana.

Sekarang, tinggal bagaimana selera kita. Mau tetap masakan Jawa Timuran, opo mau pindah haluan. Mau tetap soto ayam apa pilih Tom Yam.

Kalau saya, mangan opo ae gelem. Asal “ojo mangan kancane”.

Salam Kaji Taufan

(kajitaufam68@gmail.com)

Artikel ini sebelumnya pernah diunggah di TerasJatim.com

Subscribe

Terimakasih Telah Berlangganan Berita Teras Jatim