Ojo Golput

Ojo Golput

TerasJatim.com – 9 Desember nanti, Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) langsung secara serentak akan diselenggarakan di sebagaian besar kabupaten dan kota di Indonesia. Begitu juga yang akan terjadi di beberapa daerah di Provinsi Jawa Timur.

Paling tidak, perhelatan ini akan banyak menyedot energi lahir batin masyarakat dan negara. Termasuk besaran angka uang rakyat yang harus dikeluarkan oleh negara sebagai biaya mencari figur pemimpin di daerah. Bisa jadi, hal ini juga akan menjadi ajang pembuktian bahwa demokrasi lokal yang kita impikan itu, mengalami kemajuan atau bahkan mengalami kemunduruan.

Topik pilkada langsung, hari-hari ini menjadi pembahasan yang lumayan populer di tengah-tengah masyarakat yang kebetulan daerahnya akan melaksanakanya. Dan ini, menjadikan banyak pihak  ingin terlibat untuk bisa ambil bagian. Paling tidak untuk ikut mengamati sekaligus mengkajinya. Mungkin termasuk saya, anda dan yang lainnya.

Ketika masyarakat sudah pernah merasakan hasil plus-minus dari pilkada secara langsung ini, tentu banya terjadi diskusi pro dan kontra. Banyak pihak yang mempunya pendapat bahwa pilkada langsung, tak ubahnya memberikan ajang korupsi baru bagi sebagian pemimpin di daerah, karena begitu besarnya kekuasaan akan hak otonomi yang dimilikinya. Di sisi yang lain, ada yang mengatakan bahwa pilkada langsung adalah hasil terbaik dari sebuah proses demokrasi yang jauh dari tirani kekuasaan pusat.

Tapi buat saya, suka tidak suka, saat ini undang-undang masih memberikan ruang untuk terus dihelatnya memilih pemimpin daerah secara langsung. Memilih calon pemimpinnya secara langsung, adalah merupakan kemauan bersama bangsa ini. Seharusnya, pilkada langsung ini menjadi harapan awal, bahwa masyarakat di daerah menjadi lebih melek politik, dan ikut terlibat secara aktif untuk menyukseskannya. Paling tidak, masyarakat menunjukkan greget dan nafsu-nya sebagai aplikasi budaya partisipatif, untuk ikut terlibat membangun daerahnya secara langsung dan bukan hanya menjadi wacana teoritis semata.

Namun sayangnya, tanda-tanda “cuek dan apatis” rakyat dalam menyambut pilkada langsung dan serentak ini, sudah mulai bisa terlihat dari tahapan awal. Pilkada yang akan dihelat kurang dari sebulan ini, banyak menemui anomali partisipasi. Masyarakat cenderung “dingin” dan merasa tidak perlu tahu, apalagi ikut bertanggung jawab dalam menyukseskanya.

Hari ini (Kamis, 12/11), TerasJatim.com, memberitakan bahwa hampir separuh masyarakat Kabupaten Kediri, tidak mengetahui jika 9 Desember nanti, daerah mereka melaksanakan pilkada secara langsung. Sebanyak 46,1 persen masyarakat Kediri ternyata tidak tahu kapan pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kabupaten Kediri.

Hal ini diketahui dari hasil survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) ke sejumlah respoden dalam rentang waktu antara 29 Oktober hingga 4 November 2015. Dari hasil survei didapati sebanyak 46,1 persen masyarakat Kediri tidak tahu waktu dan tanggal pelaksanaan pilkada di daerahnya, apalagi siapa calon-calonnya. Hal ini tentu menjadi sesuatu yang patut untuk dipertanyakan sejauh mana kinerja KPU Daerah dalam mensosialisasikan rencana perhelatan tersebut. Atau boleh jadi KPU sudah berupaya maksimal, namun masyarakatnya memang sengaja tidak ingin mengetahuinya.

Ada banyak kemungkinan yang menyebabkan masyarakat  tidak tahu, pura-pura tidak tahu atau belum memutuskan pilihannya. Masih banyak masyarakat kita yang ragu-ragu, apakah dia ikut memilih atau tidak. Penyebabnya, bisa jadi karena tingkat kesadaran politik yang membuat dirinya enggan untuk datang ke TPS dan memilih. Yang banyak ditemui di kalangan masyarakat, adalah pengaruh psikologi dan kebiasaan yang mereka terima selama ini. Selain karena faktor uang saku, amplop atau politik uang, banyak masyarakat yang berpikir dia memilih atau tidak, toh tidak ada perbedaan yang akan ia rasakan. Mereka berpikiran, paling yo ngono-ngono wae.

Penyebab tersebut  memiliki proporsi yang sama terhadap kemungkinan terjadinya golongan putih (golput) atau orang-orang yang sengaja tidak menggunakan hak pilihnya.

Di sisi lain, secara negatif, banyak yang beranggapan bahwa pilkada langsung tidak bisa dipungkiri menjadikan pemimpin yang memimpin sebuah daerah, tak ubahnya seperti “raja-raja kecil” di daerahnya. Banyak kasus yang berkaitan dengan tindakan korupsi, kolusi, dan nepotisme  (KKN), yang awalnya pada level pusat, kini malah menyebar ke daerah.  Hal ini, bisa jadi karena alasan pilkada secara langsung yang sudah menjadi pertarungan “modal” yang menyebabkan demokrasi semakin mahal.

Tentu kita berharap, semua pihak untuk ikut serta memberikan pencerahan tentang pentingnya memilih seseorang yang dianggap pantas sebagai pemimpinnya. Stigma buruk yang sudah kadung mendarah daging di masyarakat tentang “pil-pil” termasuk pilkada, seharusnya menjadi renungan dan tanggung jawab kita bersama. Mudah-mudahan momen 9 Desember nanti, sebagai awal kita saling belajar akan arti demokrasi yang sesungguhnya, dan tentu saja kita semua merasa ikut bertanggung jawab atas pilihan kita sebagai negara yang konon kabarnya menganut paham demokrasi.

Ojo Golput yo lurrr…

Salam Kaji Taufan

Subscribe

Terimakasih Telah Berlangganan Berita Teras Jatim