Obrak tidak Abrik yang Ruwet

Obrak tidak Abrik yang Ruwet

Terasjatim.com, Ponorogo – Saya kira bukan saya saja yang nggerundel dan mangkel akan kebiasaan mbuletnya proses birokrasi di negeri ini. Coba saja lihat pelayanan di berbagai instansi pemerintah salah satunya Puskesmas.

Banyak keluhan dari sebagian masyarakat miskin yang berobat dengan Jamkesmas yang sekarang diganti namanya dengan BPJS kesehatan (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial). Entah masyarakat kita yang terlalu awam atau memang pemerintah yang kurang sosialisasi akan prosedur dan tata cara berobat dengan Jamkesmas, masyarakat merasa sering menjadi korban akibat ruwetnya birokrasi.

Suatu hari saya dimintai tolong tetangga untuk mengantar berobat, si-embah yang hendak operasi mata karena katarak. Dia bilang sudah tiga kali wira-wiri namun tetep saja mbulet. Bahkan dia sudah sampai rumah sakit daerah namun permohonannya ditolak dengan alasan tidak ada rujukan dari Puskesmas setempat.

Kondisi nenek ini memprihatinkan, selain sepuh, kondisinya miskin dan buta huruf lagi. Keluarganya pun kurang paham akan tetek bengek persyaratan Jamkesmas maklum memang wong ndeso dan bisa jadi kurang mendapatkan pencerahan atau sosialisasi.

Karena iba dan factor kemanusiaan, maka saya pun bersedia mendampingi nenek tersebut berobat. Saya antar ke Puskesmas setempat. Disitu pun masih mbulet. Petugas mengatakan bahwa untuk bisa operasi harus di cek dulu oleh dokter, apakah memang diperlukan tindakan operasi atau tidak.

Saya pun gregeten dan langsung menghadap kepala Puskesmas-nya. Saya bilang kalau masyarakat butuh berobat, kenapa masih harus mbulet dan bertele-tele. Kasihan wong cilik yang benar-benar membutuhkan pengobatan.

Setelah saya ngadep kepala Puskesmas akhirnya petugas memberikan rujukan kepada mbah tadi untuk operasi katarak. Berarti apa mesti Obrak tidak Abrik dulu baru mereka mau tandatangan untuk membuat surat rujukan.

Kalau saja budaya mbulet, ruwet dan lelet-nya birokrasi pelayanan publik terus dikedepankan seperti ini, lalu berapa banyak wong cilik yang tidak mendapat pelayanan semestinya.

Belum lagi persyaratan yang njlimet untuk dapat berobat dengan Jamkesmas. Fotokopi KTP, KK dan tetek bengek lainnya harus ada setiap mengambil obat dan proses administrasi lainnya. Kalau yang berobat wong ndeso utun buta huruf dan gak ngerti lor kidul, terus kepada siapa mereka bertanya. Tidak mungkin bertanya kepada rumput yang bergoyang seperti lagu Ebiet G Ade.

Ketika nenek yang saya antar tadi selesai operasi, dia di tempatkan di ruangan kelas 3. Berderet dan bercampur dengan pasien yang rata-rata korban kecelakaan dan mengalami patah tulang. Yang membuat saya tercengang ada fakta, bahwa ada pasien yang sudah 2 minggu namun belum juga dioperasi. Tiap pagi dan sore nampak dokter mengecek dan para perawat memberikan obat. Dalam hati saya bertanya, luka serius hingga patah tulang hingga dua minggu belum di operasi opo gak malah bosok ?

Di lain hari seorang teman mengadu kepada saya, kakinya agak cacat dan pincang karena kecelakaan. Yang membuat dia tidak terima dan dongkol setengah mati karena kelalaian petugas Puskesmas di tempatnya. Saat dia datang dalam kondisi kaki bengkak membiru, perawat dengan enteng mengatakan kalau kondisi kakinya tidak apa-apa. Tidak perlu rontgen, kalau seminggu masih bengkak disuruh bawa datang lagi.

Benar, setelah seminggu kakinya masih bengkak dia datang lagi ke Puskesmas tersebut. Setelah di rontgen ternyata memang benar kakinya patah tulang dan mesti mendapat perawatan serius. Akibat terlambat mendapat penanganan medis di awal, maka kaki teman saya tidak bisa pulih sepenuhnya.  Akibat kelalaian petugas medis yang nggampangne maka si pasien jadi korban.

Pertanyaannya, kenapa mereka petugas kesehatan tidak ada empati dan tepo seliro ? Ditepakne slirane dewe, andai dia yang mengalaminya. Apakah mereka juga bisa menahan dan ngempet sakit hingga berhari-hari bahkan berminggu-minggu ?

Kejadian-kejadian seperti ini saya rasa banyak terjadi disebagian masyarakat kecil. Namun semua bagai fenomena gunung es hanya tampak dipuncaknya saja, sedangkan sebenarnya gunung tersebut sangat besar. Sebagian besar masyarakat yang tak berdaya hanya diam dan nggerundel dengan berbagai keruwetan dan kembuletan birokrasi di negeri kita ini.

Seringkali kebijakan pemerintah digulirkan tanpa diimbangi dengan persiapan yang matang. Hingga rakyat jadi korban. Kurangnya woro-woro atau sosialisasi dan minimnya pengetahuan masyarakat menjadi kendala dan hambatan tersendiri. (any/TJ)

Subscribe

Terimakasih Telah Berlangganan Berita Teras Jatim