Mabur untuk Mabrur

Mabur untuk Mabrur

TerasJatim.com – Sebenarnya sudah sejak lama saya ingin menulis tentang permasalahan susahnya berangkat haji. Tetapi karena mungkin terlalu ribet untuk mempersiapkan kelahiran TerasJatim.com, saya jadi “LALI”.

Sudah “LALIAN”, ditambah lagi dengan banyaknya issue besar termasuk rupiah melorot, menjadikan nafsu untuk menulis haji jadi ikut-ikutan melemah Hehehe.

Hidup itu katanya dinamis, begitu juga dengan persoalan haji. Setiap musim haji tiba, kita selalu disuguhi cerita-cerita baru dan bisa bikin kita mengelus dada. Kalau dulu, permasalahan haji berkutat pada pelayanan haji di Arab Saudi, sekarang masalahnya menjadi bergeser dan menjadi beda lagi.

Dulu, soal tata letak geografis dan jauhnya jarak antara maktab (pemondokan) dengan tempat-tempat suci yang wajib dikunjungi, seperi Masjid Al Haram dan Masjid Nabawi yang hampir setiap musim haji selalu diributkan.

Dulu, pelayanan catering dan minimnya tenda saat Wukuf di Arafah hingga Mabbit di Mina yang banyak dipersoalkan. Begitu juga dengan moda tranportasi dari Mina untuk kembali menuju ke maktab-nya.

Dulu (LAGI), banyaknya laporan dan keluhan  tentang “PENGENTITAN” biaya pengembalian ongkos kelebihan biaya penerbangan dan pemondokan.

Dan puncaknya, mungkin saking kebangetannya membuat jamaah haji yang sengsara. Bahkan pernah beberapa  jamaah haji pada waktu itu nekat, marah dan demo saat rombongan Amirrul Hajj termasuk peninjau dari DPR datang mengunjungi.

Lain dulu lain sekarang dan kali ini masalahnya beda lagi.

Sekarang, karena kuota kita dibatasi dan pembatasannya cukup signifikan, antrean haji di Jawa Timur bisa sampai 15 hingga 18 tahun. Alhamdulillah ini bukan menjadikan masalah  yang serius karena calon haji (walaupun tidak semuanya) bisa menerimanya.

Solusi yang ditawarkan pemerintah sebagai operator penyelenggara patut diapresiasi.

Prioritas pemberangkatkan hanya bagi calon haji yang “SEPUH” dan yang belum pernah berhaji.

Namun, sekarang timbul kegaduhan baru.

Yang membuat kita harus lebih mengelus dada lebih kencang lagi adalah, jamaah calon haji yang sudah fixed dan sudah masuk asrama hajipun masih dibuat “DEG-DEG PLAS” dengan segala problem administrasi dokumen.

Bagaimana tidak, di asrama haji sukolilo surabaya ada lumayan banyak calon jamaah haji yang batal atau sedang bermasalah dengan keberangkatannya, karena alasan visa  masuk yang dikeluarkan kedutaan besar arab saudi (tidak) )atau belum bisa diterbitkan. Selembar kertas yang disebut visa adalah syarat utama calon jamaah haji untuk bisa memasuki wilayah arab saudi.

Hal yang sama juga dialami oleh beberapa kantor embarkasi di indonesia.

Persoalan administrasi yang bukan sepele ini saja bisa kacau, apalagi hal-hal yang dianggap ecek-ecek. Saya tidak bisa membayangkan betapa sedih dan galaunya jamaah calon haji kita yang tertunda keberangkatannya.

Mereka bertahan di asrama haji berhari-hari untuk berharap proses keberangkatannya segera ditentukan. Padahal bisa jadi, suami atau istri dan sanak kadangnya yang satu rombongan, sudah memakai kain ihram di tanah suci.

Saya tidak bisa membayangkan, bagaimana perasaan dan mungkin kemarahan keluarga yang ditinggalkan di kampung dan desanya jika mereka tahu anggota keluarganya terlunta-lunta nasibnya.

Padahal bukan rahasia umum, sebelum ada kepastian hari H untuk keberangkatan haji, mereka biasanya sudah ribet menyiapkan pengajian atau selamatan. Mereka menyebar undangan syukuran.

Belum lagi dengan adat istiadat yang lain. Menjadi kebiasaan jika orang yang mau berangkat haji, berkewajiban untuk  keliling kampung sambil “MENIPISKAN SENDAL JEPIT” untuk berpamitan, minta doa keselamatan “MABUR” untuk mendapatkan haji yang mabrur, kepada tetangga, kyai dan orang yang dianggap tua di kampungnya.

Tentu kita tahu hebohnya sang tetangga, sanak saudara bahkan tetangga kampung lain, untuk ikut “MANGAYU BAGYA” dengan keberangkatannya. Mereka dengan cara patungan mencarter mobil, bahkan kalau kepepet bisa dengan truck sapi pun oke juga ,yang penting bisa untuk mengantar calon hajinya ke pendopo kabupaten.

Dengan takbir, shalawat dan kalimat thalbiyah terus disuarakan disepanjang perjalanan. Layaknya orang penting, hari itu calon jamaah haji adalah pribadi yang harus dimuliakan. Dengan penuh kebanggaan, mereka memeluk, saling mencium pipi, bersalaman untuk menitip pesan dan minta namanya dipanggil saat sang calon haji kelak sudah berada  di tanah suci.

Itulah ekspektasi yang penuh dengan kegembiraan. Mereka tidak mau mengerti masalah dan kesulitan yang diakibatkan oleh ketatnya kebijakan pemerintahan kerajaan saudi.

Sang jamaah  “ORA URUSAN” dengan pembatasan kuota haji. Mereka hanya tahu, bahwa kewajiban membayar BPIH dan kesabaran menunggu selama bertahun-tahun sudah dibayar dan dijalaninya.

Sekarang mereka minta haknya. Hak untuk berhaji. Hak untuk mabur dengan tujuan mabrur.

Salam Kaji Taufan.

Subscribe

Terimakasih Telah Berlangganan Berita Teras Jatim