“Murahnya” Bupati Ketoprak

“Murahnya” Bupati Ketoprak

TerasJatim.com – Ini tulisan iseng. Jadi setelah membaca opini ini, seyogyanya dibuat  woles saja.

Senin (08/09) kemarin, saya ditelepon oleh seorang teman yang (konon) sayup-sayup terdengar  sedang siap-siap untuk ikut bertarung dalam pilkada di sebuah kabupaten di Jatim. Awalnya, kami saling menanyakan kabar masing-masing dan dia memberikan  ucapan selamat untuk TerasJatim.com.

Dalam percakapan tersebut akhirnya saya menyinggung dan “nyerempet-nyerempet” ke rencana “nyalon“, dan berapa besaran nilai rupiah untuk “sangu” bertanding dalam perebutan sebuah jabatan kursi bupati.

Teman saya agak sungkan menyebut nilai nominalnya. Justru saya yang malah berani dan berinisiatif ngawur menyebut nilai 20 M.

Teman saya tertawa sambil menyeletuk, bila 20 M itu hanya untuk ongkos tiket berangkat. Sedang “uboh rampene” untuk merawat konstituen, branding image, publikasi media, tim sukses dan suplemen untuk massa pemilih, dibutuhkan sekitar 10 M lebih, itupun bisa dikatakan sebagai angka minimalis, ngirit  dan pas-pasan.

Jadi dalam percakapan kecil tersebut, saya dapat menyimpulkan bahwa seorang calon kepala daerah tingkat dua kudu dan harus punya duit kisaran 30 M-an.

Kalau memang ini benar, bahwa untuk mendapatkan restu dari parpol pengusung (dan biasanya 2 atau 3 parpol) untuk sebuah kontes pemilihan kepala daerah, dibutuhkan dana bermilyar-milyar.

“Alangkah mahalnya beban mahar yang harus dipikul oleh sang calon dalam dunia politik sekarang”, pikir saya.

Demikian juga untuk calon yang berangkat dari jalur independen. Mereka dituntut untuk mendapatkan dukungan dari sebagian besar warga di daerah tersebut dengan bukti tanda tangan dan foto copy KTP.

Taruhlah setiap KTP warga, diberikan salam tempel amplop berisi 25 ribu rupiah saja, berapa “ember” rupiah yang dibutuhkan untuk lolos menjadi calon  yang diakreditasi KPU ?

Tentu nilainya akan menjadi fantastis, bahkan cenderung tidak bisa dinalar. Mungkin itulah fakta dan realita di alam demokrasi kita sekarang.

Pernah suatu ketika saya berdiskusi dengan seorang teman yang kebetulan seorang politisi partai. Dia bilang, di negeri ini jabatan politik ketua, apalagi ketua umum partai, adalah impian bagi para politisi. Karena dengan jabatannya, seorang ketua partai bisa menjelma menjadi king maker untuk sebuah tujuan politik.

Ketua partai politik ibarat sang kaisar di negara komunitas partainya. Mereka bisa menentukan siapa-siapa yang berhak maju dalam nyaleg maupun ikut pilkada.

Mereka juga dengan mudah menolak calon, meski calon tersebut kapasitas untuk menjadi calon yang menjadi dambaan publik.

Jadi, untuk menjadi bakal calon pemimpin di daerah, jangan berharap hanya bermodalkan track record dan prestasi cemerlang, tapi harus diimbangi dengan sebuah amunisi besar berupa fulus.

Makanya saya jadi ngeh, ketika banyak partai politik gaduh saling berebut menyelenggarakan munas, musda dan mengklaim mereka lah pengurus partai yang resmi dan diakui oleh pemerintah.

Kita sering mendengar ada kubu ini dan itu. Kita menyaksikan di antara mereka saling beradu pendapat, saling berperang opini di media. Mereka dengan keyakinannya saling main gugat di PTUN. Mereka berebut untuk menjadi pemimpin dan penguasa di partainya.

Menjadi ketua parpol, memang kelihatannya enak. Selain punya kekuasaan dalam menentukan policy partainya, ketua parpol juga punya bargaining yang kuat dengan pemerintah yang sedang berkuasa. Apalagi kalau partainya mempunyai wakil di parlemen dan lumayan kuat (banyak).

Mereka bisa memainkan peran kanan kiri oke. Mereka bisa memobilisasi isue-isue yang kadang tidak sumbut. Hal kecil dan tidak produktif bisa dikembang biakkan menjadi sebuah perhatian publik.

Selama kepentingan mereka terakomodasi, segala cara dibutuhkan untuk sebuah alasan pembenaran untuk sebuah kongsi dan koalisi. Jika sedikit saja mereka merasa diganggu, maka pasukan mereka di parlemen atau para loyalisnya akan berteriak lantang untuk membentengi kepentingan politiknya.

Saya sering mendengar istilah dalam politik, ‘tidak ada kawan dan lawan yang abadi, kecuali kepentingan’. ‘Tidak ada makan siang gratis’, dan masih banyak lagi padanan kata politik yang membuat kita menjadi geli.

Saya menyadari dalam negara demokrasi, kita sangat membutuhkan tumbuhnya partai politik. Peran parpol (yang baik) dalam menjaga pilar demokrasi sangat kita apresiasi.

Demokrasi adalah sebuah pilihan. Tapi kalau bisa memilih yang kita anggap baik, kenapa dalam perjalanannya, kita harus dihadapkan pada hal-hal buruk ? Demokrasi adalah demokrasi. Bukan menjadikan kita ada pada sebuah demokrasi tirani.

Buat saya, inilah fakta. Untuk menjadi seorang bupati harus punya modal milyaran. Beda lagi kalau mau jadi bupati ketoprak. Modal “blangkon” saja sudah dianggap cukup.

Salam Kaji Taufan

(kajitaufan@terasjatim.com)

Subscribe

Terimakasih Telah Berlangganan Berita Teras Jatim