Konflik Agraria di Watukarung, Saran BPN Pacitan Ini Laik Direnungkan

TerasJatim.com, Pacitan – Sengketa tanah antara warga dengan Pemerintah Desa Watukarung, Kecamatan Pringkuku, Kabupaten Pacitan, Jatim, tak kunjung beres. Kantor Pertanahan setempat pun menyarankan, agar kedua belah pihak saling menurunkan ego.
Sebelumnya, persoalan tersebut telah duduk bersama dengan mendatangkan sejumlah pihak. Hanya saja, sengketa atas bidang tanah yang terletak di Dusun Tekil itu belum juga klimaks. Bahkan, pihak penggugat berencana akan menaikan perkara itu ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Menanggapi hal itu, Kepala Seksi Pengendalian dan Penanganan Sengketa, Kantor Pertanahan Kabupaten Pacitan, Eko H.P., mengatakan bahwa, persoalan tersebut bukan kewenangan BPN, mengingat tanah yang disengketakan itu belum bersertifikat.
“Permasalahan ini tidak ada kaitannya dengan BPN. Kami hanya memenuhi undangan pihak Kecamatan Pringkuku untuk menghadiri mediasi sengketa tanah, antara Saudara Yadianto, CS (ahli waris Marto) dan Pemdes Watukarung,” ujar Eko, melalui keterangan tertulis yang diterima TerasJatim.com, Rabu (16/10/2024) sore.
Pihaknya pun menyadari, meski tanah yang belum bersertipikat bukan ranah BPN, namun kehadirannya pada mediasi yang dilaksanakan pada pertengahan September itu, tidak lain dalam upaya mendukung pencegahan sengketa tanah yang terjadi di wilayah Kabupaten Pacitan. Hal ini, kata dia, sebagaimana komitmen, tugas dan fungsi sebagai pelayan publik di bidang pertanahan.
“Pada saat mediasi, kami diminta untuk menyampaikan pendapat mengenai sengketa tanah antara Yadianto dengan Pemdes Watukarung, yang sebelumnya kedua belah pihak telah menjelaskan pendapatnya masing-masing,” katanya.
“Kami sampaikan bahwa, bukan wewenang BPN untuk menilai, menentukan atau bahkan mungkin memberikan pendapat terkait sengketa ini, karena tanah yang di sengketakan adalah tanah yang belum bersertipikat, dan belum pernah pula diajukan permohonan sertipikat di BPN,” terang dia.
Di samping itu, Eko yang diminta untuk menyampaikan pendapat lantas menyarankan, agar kedua belah pihak untuk sama-sama tidak saling meninggikan ego pun saling mengerutkan kening, sehingga persoalan tersebut tidak berkepanjangan dan segera tergerai.
“Ada pun solusi pemecahan masalah ini, hanya dapat dicapai dengan kesadaran kedua belah pihak untuk saling menurunkan ego, demi mencapai mufakat, dengan didampingi oleh sesepuh desa/poncol kaki yang mengetahui riwayat kepemilikan, atau pemanfaatan tanah tersebut,” saran dia.
Di satu sisi, Eko pun menanggapi perihal Letter C yang sempat disinggung oleh pihak penggugat pada berita yang tayang di TerasJatim.com, dengan judul “Perkara Tanah di Watukarung Pacitan, Warga Gugat Pemdes”.
Kata dia, pihak BPN tidak mengajari cara membaca Letter C, tapi menjelaskan kedudukannya sebagai salah satu dokumen pendukung alat bukti tertulis pembuktian hak lama, sebagaimana diatur dalam pasal 24 Peraturan Pemertintah (PP) nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
“Terkait Letter C, sebenarnya kami tidak mengajari cara membaca Letter C, tapi lebih menjelaskan kedudukannya,” ungkap dia.
Selanjutnya, Eko menerangkan metode di Kantah Pacitan dalam verifikasi Letter C, sebagai salah satu syarat dokumen kegiatan pendaftaran tanah pertama kali (pengakuan hak), di samping dokumen persyaratan lain seperti identitas pemohon, surat pernyataan yang menjelaskan tentang penguasaan fisik bidang tanah, Surat Keterangan Pemasangan Tanda Batas dan Persetujuan Pemilik Berbatasan, Surat Pernyataan Tidak Sengketa, Bukti Peralihan, SPPT PBB, serta dokumen pendukung lainnya jika ada.
BACA JUGA: https://www.terasjatim.com/perkara-tanah-di-watukarung-pacitan-warga-gugat-pemdes/
Dengan lengkapnya dokumen persyaratan tersebut, terang Eko, tidak serta merta membuat suatu bidang tanah secara otomatis diakui kepemilikannya, dan menjadi Sertipikat Hak Atas Tanah (SHAT).
“Ada penilaian dari Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Pacitan terkait kadar kebenaran dokumen tersebut. Apakah cukup atau tidak, dijadikan sebagai dasar untuk mengonversi/mengakui alat bukti tertulis yang diajukan menjadi SHAT,” imbuhnya.
Penilaian tersebut, sambung dia, dilaksanakan melalui prosedur yang cukup panjang, yakni mulai penelitian, sidang panitia, pemeriksaan lapang, dan pengumuman yang juga ditempel di kantor desa letak bidang tanah. “Pada dasarnya, suatu bidang tanah agar dapat menjadi sertipikat (KBBI: sertifikat), harus benar-benar bersih, dan bebas dari sengketa. Atau dengan kata lain clear and clean,” tukasnya. (Git/Kta/Red/TJ)