Kangen ‘Tandak Ludruk’

Kangen ‘Tandak Ludruk’

TerasJatim.com,  – Usai Subuh-an, saya iseng buka Fans Page-nya TerasJatim. Di deretan kronologinya, mata saya tertuju pada sebuah like dan list pertemanan TerasJatim dengan salah satu nama grup kesenian tradisional “Ludruk Budhi Wijaya” dari Jombang Jatim.

Berbicara soal ludruk, memori saya menjauh ke belakang. Tahun 80-an, saya paling suka kalau diajak nonton pagelaran ludruk. Ludruk favorit saya saat itu adalah ludruk RRI Surabaya. Kebetulan, secara rutin di halaman RRI Surabaya, di Jalan Pemuda, pada setiap malam Minggu pasti ada pementasan gratis dan selalu disiarkan live oleh RRI juga.

Hampir semua bintang-bintangnya (saat itu) saya kenal namanya. Mulai cak Markaban, cak Sidik, cak Muali, cak Kancil Sutikno sampai dengan ning Lasiana dan bu Umi Kalsum.

Saking sukanya nonton ludruk, kala itu saya sering berpikiran untuk jadi pemain ludruk saja. Hehe

Setiap pagelaran ludruk, pasti selalu diawali dengan tari Remo Jawa Timuran. Konon, tari ini merupakan tari ucapan selamat datang untuk para tamu dan undangan yang menyaksikan pagelaran tersebut.

Makanya tidak heran pada tari yang biasanya diperankan oleh seorang pria gagah yang berkumis tebal ini, dibarengi dengan ngidung atau nembang, dan selalu diawali dengan kalimat, “Sugeng rawuh, Sugeng pinarak ingkang sekeco”.

Tembang ini menggambarkan bagaimana humble-nya sosok orang Jawa Timur yang selalu mengawali hormat terhadap siapa pun tamunya. Sekaligus mempersilahkan untuk duduk dan menikmatinya.

Tari Remo juga bisa dilakukan oleh satu atau lebih penari wanita, yang biasa disebut sebagai Tandak ludruk. Dulu, Tandak ludruk bisa jadi seorang pria yang macak menjadi wanita yang berparas ayu, dan mempunyai suara bagus dalam kidungan-nya.

Dari kebiasaan nonton dan mendengarkan siaran ludruk ini, lambat laun saya mulai bisa sedikit memahami dan menghapal kidungan parikannya. Kidungan (ngidung), sama halnya dengan menyanyi yang diiringi oleh gamelan khas Jawa.

Dalam setiap pementasan ludruk, ada juga Parikan yang biasanya diselipkan dalam dialog atau dinyanyikan dalam tembang Jula-Juli. Tembang dengan bahasa Jawa aksen Jawa Timur-an ini sangat pas dan mempunyai keunikan dalam arti dan maknanya. Parikan dalam seni kebudayaan ludruk, sama halnya dengan berpantun, yang selalu membawa makna dan pesan.

Selain parikan, dalam adegan ludruk, banyak kosa kata khas bahasa ludruk yang mempunyai pesan moral terhadap siapa saja. Banyak pitutur kebecikan yang terkandung dari setiap dialog dan alur kidungan parikannya.

Seperti parikan, “Ngisor mejo ono ulone, Ojo gelo wis carane”. Kalimat ini terkesan sangat sederhana dan khas kampung. Tapi di balik itu ada makna yang dalam, bahwa sebenarnya kita harus bisa memahami sebuah keberagaman dalam hidup. Kita diingatkan untuk selalu adaptif terhadap lingkungan di mana kita tinggal dan bergaul.

Ada lagi kalimat dialog yang sarat akan sebuah peringatan. Salah satunya, “Ojo adigang adigung adiguno, Sopo siro sopo ingsun”. Arti dari kalimat ini kurang lebih, kita diminta untuk tidak mengedepankan siapa diri kita terhadap sesama (egosentris).

Kemudian yang sampai sekarang masih saya ingat, adalah kalimat “Nang dunyo mung mampir ngombe“. Makna dari kalimat tersebut memberikan pitutur bahwa sebenarnya manusia dalam hidup di dunia hanya sebatas menunggu waktu dan sementara. Setelah minum, kita akan melanjutkan sebuah perjalanan panjang yang mempunyai tujuan akhir. Selain itu, kita diminta untuk selalu andap asor, membumi dan jauh dari sifat “kuasa”.

Sudah belasan tahun saya jauh dari kesenian ini. Saya kurang memahami lagi bagaimana kondisi pementasan ludruk sekarang. Pasti di situasi seperti ini (pandemi), kesenian ludruk sangat terdampak.

Di jaman saya kecil dulu, banyak kita temukan lapangan-lapangan desa dan kecamatan yang digunakan sebagai ajang tanggapan ludruk yang dikarciskan. Istilah jaman dulu, Nggedong.

Saat lihat ludruk, saya paling suka sesi Dagelan-nya. Selain menghibur dan bisa dinikmati semua golongan kasta, lawak khas ludruk selalu menceritakan pengalaman dan cerita sehari-hari di lingkungan masyarakat kita.

Selain diawali dengan kidungan Jula-Juli yang menjadi trade mark-nya, banyolan-banyolan segarnya selalu menghadirkan suasana kelucuan yang alami.

Pada sesi ini, biasanya tampil seorang perempuan yang dianalogikan sebagai wanita paling cantik di group tersebut, yang dikenal sebagai primadona-nya ludruk.

Buat saya, kesenian ludruk harus tetap ada dan harus selalu dijaga kelestariannya. Ludruk banyak mencerminkan suasana kebatinan rakyat kecil yang sebenarnya.

Tanpa mengecilkan peran seni yang lain, ludruk adalah roh seni tradisional masyarakat Jawa Timur, yang hari-harinya makin ter-marginal-kan.

Seharusnya semua pihak memberikan ruang yang luas untuk ludruk dan kesenian tradisional lainnya agar bisa terus berkembang dan berkreasi di negerinya sendiri. Minimal mereka bisa survived atau syukur-syukur mampu berkompetisi di jaman milenial ini.

Jangan malu menjadi penggemar ludruk, jangan sungkan mendengar dan belajar parikan sekaligus jula-julinya.  Semangat terus untuk dulur-dulurku para seniman ludruk.

Buat saya, sampeyan adalah orang-orang hebat. Saya kangen dengan kidungan dan kemayune ‘tandak ludruk’.

Salam Kaji Taufan (kajitaufan@terasjatim.com)

*Artikel ini sudah ditayangkan di TerasJatim.com

Subscribe

Terimakasih Telah Berlangganan Berita Teras Jatim