Duit dan Dukun Plus Tindakan Brutal di Pilkades Serentak Bojonegoro 2020

Duit dan Dukun Plus Tindakan Brutal di Pilkades Serentak Bojonegoro 2020

TerasJatim.com – Kurang dari sebulan, 200 lebih desa di Kabupaten Bojonegoro Jatim bakal menghelat pesta demokrasi untuk menentukan pemimpin tunggal di wilayah masing-masing dengan tajuk Pilkades serentak tahap III, yang dijadwalkan pada 19 Februari 2020 mendatang.

Proses panjang dan berat dilalui oleh hampir semua kandidat ‘raja kecil’, tak terkecuali para incumbent. Setidaknya, ada 3 syarat dasar yang tak bisa mereka hindari agar berjaya, yakni Duit, Dukun dan Dukungan.

Beberapa kawan saya mengklasifikasikan 3 kebutuhan dasar itu dengan istilah 3D. Jika salah satunya tak terpenuhi, maka kecil kemungkinan sang kandidat bisa keluar sebagai jawara untuk memenangi pertarungan politik akar rumput tersebut.

DUIT, adalah sarana yang mesti diperhitungkan secara matang oleh para calon Kades karena tidaklah mungkin ‘nir biaya’ dalam setiap peperangan politik. Kawan saya menyebut Jer Basuki Mawa Bea, dan dipelesetkan menjadi ‘nek pengen mulia, ya kudu wani bandha’.

DUKUN, juga mutlak harus dimanfaatkan kekuatan supranaturalnya. Ya, semacam menebalkan mental dan kepercayaan diri di tengah keabstrakan situasi ‘abu-abu’ intrik politik tradisional yang kental dengan tumbal, jengges dan saling kirim perewangan untuk meneror.

Kawan saya yang sok ‘ndukun’ ini bahkan mengulas bahwa Pilkades terutama di Pulau Jawa, wabilkhusus di Bojonegoro, adalah politik ala Majapahitan, Mataraman dan Amerika, komplit. Mix, campur aduk antara mistik dan teori politik modern yang ilmiah dengan analisis SWOT-nya.

Tak hanya itu, beberapa sumber dari komplotan ngopi saya yang mengaku paham dunia metafisika pun menengarai bahwa setiap desa yang tengah menghadapi agenda Pilkades, dipastikan memancarkan aura yang berubah-ubah tak stabil.

Jadi, saya simpulkan saja bahwa para kandidat Kades wajib (pakai ‘ain) menggunakan jasa Dukun, Paranormal, Ustadz atau bahkan Kyai dan/atau Suhu untuk menetralisir aura jahat guna menarik aura kasih (baca: pengasihan) para konstituen. Atau setidaknya untuk ‘ayem-ayeman’ ati jika tim sukses rewel.

Selanjutnya DUKUNGAN. Yang satu ini bisa diibaratkan sebagai inti sari dan penentu kanvas tidaknya sang kandidat. Namun sekali lagi, celoteh teman saya lainnya menandaskan tanpa Duit dan Dukun, maka mustahil mendapat Dukungan.

Kawan saya yang spesialisasinya tukang ngatur harta benda orang lain (baca: bos parkiran) ini menambahkan, bahwa kalau ingin memenangi kontetasi Pilkades, para kandidat Kades harus BRUTAL. Wah, bahaya ini??

Namun buru-buru, pemgamat politik akar rumput ini mengkonotasikan kata Brutal dengan Berusaha Total alias tidak boleh tanggung-tanggung. Maksudnya, jika punya duit ya harus wani totalan. Ke Dukun ya harus nekat total supaya mendapat dukungan hingga menang total (gak nyimak-nyimik).

Bagi kawan saya itu, Pilkades adalah perang (politik) jarak pendek semacam gaya perang paregreg era Majapahit. Pilkades menurutnya adalah fight head to head, bertarung adu arep musuh tetangga atau bahkan famili. Jadi, “nek wani ojo wedi-wedi nek wedi ojo wani-wani.” Tapi ojo lali soal takdir dan garis hidup. Inilah Totalitas !

Dari sekian potongan obrolan cangkruk yang saya kutip itu, tentu tak seratus persen benar. Tetapi bagi saya pribadi yang tak begitu ngopeni politik desa, tentu menarik dan asyik untuk diperbincangkan saat ngopi sambil menghisap asap rokok eceran.

Dalam hal ini, motto yang saya pakai adalah tak ada perbincangan yang tidak ilmiah walaupun tanpa ada penelitian dari para pakar. Sesanti Jawa mengatakan: ilmu itu tinemu sarono laku. Artinya bukan sarono penelitian.

Baiklah, di akhir penulisan yang menurut saya lumayan bermutu ini, ada satu hal yang sebenarnya sejak awal penulisan ingin saya sampaikan. Di lapangan, beredar kabar sangat kencang bahwa ada tim atau entah apa namanya yang mengaku orangnya penguasa Bojonegoro yang “nyaru eteh” dan ikut intervensi guna pemenangan kandidat yang dikehendaki, dan sebaliknya menjatuhkan kandidat yang tidak dikehendaki terutama Cakades incumbent.

Katanya sih begitu dan nampaknya memang begitu. Lha terus gimana, moso semua diam saja? Bangkitlah Jonegoro, jangan ndelohom di kampung sendiri genyho caah. (Saiq/Red/TJ)

*(Penulis adalah wartawan TerasJatim.com/Ka Biro Bojonegoro-Tuban)

Subscribe

Terimakasih Telah Berlangganan Berita Teras Jatim