Wareg Jargon

Wareg Jargon

TerasJatim.com – Sebenarnya hari ini saya ingin menulis tentang politik lagi. Tapi setelah saya renungkan, gak dulu Ah. Kemudian lihat TV dan Koran, beritanya juga masih sama, masih tentang kabut asap dan menguatnya dolar. Inipun dulu juga sudah pernah saya ulas.

Akhirnya saya ingat tulisan teman reporter TerasJatim.com yang beberapa hari lalu menulis tentang berkah yang didapat oleh saudara-saudara kita khususnya para petani di musim kemarau panjang ini.

Pertama tentang panen padi warga Bojonegoro di bantaran bengawan Solo yang musim kering ini dengan segala perjuangan dan kreatifitasnya menggunakan teknologi areal-an dapat menuai hasil besar. Demikian juga dengan petani tembakau di wilayah timur Bojonegoro, yang kali ini sudah mulai bisa mesem walaupun harga tembakau masih jauh dari harapan.

Kedua, saudara kita yang bertani di daerah Kecamatan Babat Lamongan, dengan segala jerih payah dan sedikit berani berspekulasi, mereka mencoba  menanam bayam dan sorgum. Kini merekapun panen duit gede dan bisa guyu gumuyu.

Ketiga, info dari teman di Gresik yang mengabarkan jika warga petambak di daerah Duduk Sampeyan Dukun dan Suci, juga tengah menikmati tingginya harga gabah mereka. Tak heran jika banyak anak petani yang  motornya masih plat provit.

Jujur, saya ikut senang walaupun hanya merasakan cipratan kabarnya saja. Paling tidak kita di TerasJatim.com ikut serta mengabarkan kebahagian mereka ke semuanya. Dan pada akhirnya, kita tentu banyak mendapatkan sesuatu dari berkah yang dihasilkan dengan kerja keras, tekun dan sedikit butuh sentuhan kreatifitas.

Kini sudah saatnya kita berpikir konstruktif, tentang hal yang berbau musim. Karena pada dasarnya setiap musim, baik kemarau maupun hujan, sama-sama mempunyai dampak  resiko  bencana dan segala tetek-bengek kekurangannya.

Musim kemarau panjang sudah pasti membawa bencana buat sebagian masyarakat. Keringnya sumber air di sumur-sumur mereka, bagaimana perjuangan mereka untuk mendapatkan air dengan cara berjalan kaki yang jauh, membeli air bersih jerigen-an yang tidak murah dan masih banyak lagi keluhan-keluhan hidup yang kita dengar.

Begitu juga dengan kesulitan yang dihadapi oleh petani kita. Sawah dan tegalan mereka yang kering, kerontang dan tidak bisa diolah untuk menghasilkan produktifitas, semuanya melengkapi penderitaan petani dan rakyat kecil di desa.

Tapi dibalik itu semua, saya yakin masih banyak cara yang bisa dilakukan oleh kita semua. Kita juga mendengar rencana dan upaya pemerintah yang akan dan mungkin sebagian sudah dilakukan, seperti membangun embung-embung tadah air, sumur resapan dan juga teknologi irigasi yang tepat dan guna. Semua itu harus diapresiasi.

Kita tahu, dibalik kesulitan petani banyak yang menggoreng dan menjadikan produksi isu publik yang bisa laku untuk dijual. Publik juga tahu, petani dan segala permasalahannya sering dipakai sebagai alat propaganda politik, pencitraan dan jurus bargaining dalam kekuasaan. Kesempitan petani dimanfaatkan sebagai kesempatan. Petani ditempatkan sebagai obyek mainan mereka. Karena mereka masih menganggap bahwa petani tidak tahu apa-apa.

Saya berharap tulisan ini bisa membawa pesan kepada para petani di dusun-dusun terpencil, petani-petani kita yang lugu-lugu, yang terus mengabdikan profesinya siang dan malam dengan ikhlas dan tanpa henti. Mungkin hingga kini, hanya petanilah profesi yang membawa ajaran dan nilai moral tinggi.

Belum pernah kita dengar ada petani ditangkap KPK karena melakukan korupsi apalagi manipulasi. Menjadi petani adalah pilihan hidup dan harus tetap hidup. Kita semua masih membutuhkan karya nyatanya. Jangan ada lagi stigma kebodohan dalam diri petani. Kita butuh petani, kita membutuhkan keberlangsungan profesi ini.

Bangsa ini adalah bangsa yang masih setengah-setengah. Kita belum mengetahui identitas bangsa kita. Kita selalu gembar-gembor tentang bangsa dan hebatnya budaya agraris. Di sisi lain lahan produktif banyak kita berikan dengan harga yang tidak sepadan kepada cukong dan korporasi asing untuk alasan industrialisasi.

Kita sering dibakar dengan jargon-jargon baru. Hampir setiap pemimpin menyuguhkan permainan kata-kata. Kita sering diminta untuk menghapal, mempelajari dan bisa meng-implementasi jargon-jargon itu. Tapi kebanyakan, jamu yang bernama jargon, sering kempes di tengah jalan karena ruang politik dan kepentingan.

Ketika ada kata swasembada pangan dan terus menerus digulirkan ke publik, saya jadi bertanya, sebenarnya kampanye swasembada pangan itu buat siapa ? Apakah petani kita sudah bisa menangkap dan memahami messages ini ?

Petani kita tidak paham dengan swasembada pangan dan swa-swa yang lain. Yang diinginkan petani sederhana. Mereka hanya ingin di uwongke, jangan dibujuki terus, apalagi dibuat sebagai tameng untuk sebuah kepentingan berbau politis dan bisnis.

Petani ingin diberi ruang untuk  bekerja tanpa adanya kendala dan kebijakan regulasi yang ribet. Termasuk  mudahnya ketersediaan bibit, pupuk dan obat-obatan pertanian serta irigasi yang tepat dan guna.

Kita harus terus memberikan semangat kepada petani-petani kita, dengan sebuah regulasi kemudahan dalam bertani secara menyeluruh dan komprehensif. Psikologi petani harus kita buat nyaman, kita banggakan profesi mereka. Jangan buat petani kita nggondok apalagi mutung.

Nanti kalau para petani ogah macul, gak ndaut dan wegah ngarit, lalu siapa yang mengaplikasikan kampanye dan jargon swasembada pangan tersebut ?

Jujur, saya belum pernah kenyang karena gorengan jargon. Tapi sering ke-wareg-en godokan jagung.

Salam Kaji Taufan

(kajitaufan@terasjatim.com)

Subscribe

Terimakasih Telah Berlangganan Berita Teras Jatim