Menteri Gaduh Terus, Saatnya Presiden “Mencubit”
TerasJatim.com – Satu dua hari terakhir ini, kembali Kabinet Kerja Jokowi-JK diwarnai kegaduhan antar menterinya. Kali ini yang disorot adalah silang pendapat antara Menko Kemaritiman Rizal Ramli dengan Menteri ESDM Sudirman Said mengenai Blok Masela di Maluku.
Bisa jadi publik mencatat, bahwa ini adalah kali kedua mereka “gegeran“. Ketika beberapa waktu lalu sempat “ramai” mengenai rencana pengadaan listrik 35.000 megawatt (MW).
Teranyar, Menteri ESDM Sudirman Said sempat “curhat” dan diekspose media, bahwa dirinya merasa kerjanya terganggu oleh seseorang yang ia sebut sebagai koleganya.
Menurut Sudirman, koleganya itu selalu menghambat keputusan yang akan diambil, khususnya terkait pengelolaan Blok Gas Masela. Ia bahkan menganggap cara menghadapi sang kolega itu lebih berat dari cara menghadapi mafia.
Berdasarkan catatan di berbagai media nasional (termasuk yang saya cuplik dari Kompas.com), Menteri yang kerap mengkritisi kebijakan sektor ESDM adalah Menteri Koordinator Kemaritiman Rizal Ramli.
Dalam rencana pengelolaan Blok Masela, Menteri Sudirman mengatakan, rekomendasi tim independen adalah pembangunan kilang gas cair (LNG) dilakukan terapung di tengah laut (floating/offshore).
Namun, pendapat Menko Kemaritiman Rizal Ramli justru sebaliknya. Ia ingin pembangunan Masela menggunakan fasilitas darat dengan pipa (onshore).
Perbedaan pendapat soal Masela inilah yang pada akhirnya menjadi konsumsi publik, karena masing-masing sikap dari mereka terdengar dan terlihat oleh publik di luar.
Malahan, Menko Rizal dalam sebuah media sosial twiter, dapat terlihat cuitan sang menteri yang menyentil koleganya tersebut.
Sebelumnya, publik juga belum melupakan saat Menko Rizal sempat berseberangan pandangan dengan menteri BUMN Rini Soemarno terkait rencana pembelian pesawat Garuda.
Selanjutnya Menteri Perhubungan Ignasius Jonan saat itu terbaca oleh publik, sedikit berpolemik dengan Menteri BUMN Rini Soemarno terkait rencana pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung.
Publik juga merasa terhibur, ketika Menteri Seskab Pramono Anung dalam sebuah cuitannya di media sosial twiternya, menulis tentang seorang menteri yang sedang dongkol ketika dirinya tertinggal dalam sebuah jadwal penerbangan pesawat.
Secara pribadi, buat saya itu semua adalah bagian dari hal yang menghibur. Saya jadi ikut tersenyum geli (walaupun tidak begitu happy) ketika melihat, membaca dan mendengar perang statement dan opini para pejabat kita yang sedang “berseteru” sesama koleganya.
Namun dari sisi etika berpolitik sebagai sorang pejabat tinggi negara, banyak yang berpendapat bahwa hal tersebut kurang elok dan terkesan saru dipertontonkan ke ranah publik.
Perbedaan pendapat di antara menteri seharusnya memang tidak menjadi konsumsi sembarang orang. Para menteri seharusnya mampu menahan diri untuk menghindari polemik yang ujungnya sangat tidak menarik dan un-productive.
Padahal, Presiden Joko Widodo yang nota bene sebagai bos mereka, sudah berulang kali dalam sebuah kesempatan diliput media dan ditonton jutaan rakyat, mengingatkan dan meminta agar para menterinya tidak menunjukkan perbedaan pendapat di ruang publik.
Buat kita semua, pesan Presiden sudah sangat jelas dan tegas. Menteri tidak boleh berpolemik sesama koleganya. Presiden juga mewanti-wanti agar para pembantunya jangan berdebat di luar ruang rapat.
Sebab, selain kurang pantas, hal tersebut untuk menghindari kegaduhan yang pada akhirnya terlihat tidak kondusif di mata publik dan investor. Karena bisa jadi kegaduhan akan dianggap menjadi cerminan ketidak kompakan di antara kabinet.
Lebih dari itu, kegaduhan di internal kabinet yang sampai terlihat di luaran, dikhawatirkan dapat mendegradasi kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, dan hal ini tentu saja berdampak negatif untuk sebuah iklim investasi secara nasional.
Beberapa waktu lalu, Presiden juga menekankan pentingnya sebuah keguyuban dan soliditas kabinetnya. Pelaksanaan program akan cepat terealisasi jika para menteri saling mendukung.
Presiden ingin regulasi antar kementerian dan lembaga saling mendukung satu sama lain, meninggalkan ego sektoral, tidak saling jaim, menjauhkan diri dari sifat sok kuasa-kuasaan dan sok punya wewenang, yang pada akhirnya dapat mendorong iklim investasi di Indonesia lebih ramah dan menyenangkan.
Hal ini dilakukan, agar Indonesia menjadi sebuah tempat yang menarik bagi para investor, guna membantu percepatan pembangunan ekonomi secara keseluruhan.
Namun, rupanya hingga kini kita masih merasakan adanya kegaduhan tersebut. Sejauh ini ternyata kegaduhan masih kerasan dan bukannya pergi dan berhenti.
Banyak yang berpendapat, kali ini Presiden Jokowi harus bersikap lebih dari tegas, bahkan boleh sedikit “keras”.
Kalau beberapa waktu lalu cara Presiden mengingatkan menterinya dengan cara “njawil” dan mencolek halus, mungkin sekarang cara tersebut harus dirubah dengan cara “njiwit” atau mencubit.
Salam Kaji Taufan