Mengintip Geliat BKD Bojonegoro dari Meja Kopi

Mengintip Geliat BKD Bojonegoro dari Meja Kopi

TerasJatim.com, Bojonegoro – Ramai perbincangan bergema, bergelayut deru riuh rendah kesibukan alat berat dan orang-orang desa yang lugu ‘gemuyu’ membongkar karya peninggalan penguasa lama yang terhampar di tanah peninggalan Prabu Angling Dharma, Kabupaten Bojonegoro Jatim.

Lalu lalang orang-orang golongan akar rumput yang tengah melakukan ritual ‘usung-usung’ bongkaran paving sambil mengelu-elukan nama-nama penguasa baru, semacam era kerajaan yang sabdanya pantang ditentang. Ya, Sabda Pandhita Ratu pantang ditarik ulang.

Mereka ‘gogol gendon’ yang tak lain adalah rakyat jelata. Tahunya sejengkal informasi yang memang sengaja dikebiri oleh para punggawa kerajaan untuk menyelamatkan kursi empuk yang diddukinya.

Jalan-jalan desa di telatah yang konon katanya dulu berjuluk Malawapati ini, mulai digembar-gemborkan ‘nglenyer’untuk mengistilahkan kemulusannya. Paving dibersihkan agar bisa segera dirigid beton atau diaspal. Ya, supaya ngelenyer serr.

Luar biasa, pembangunan merajalela, terutama jalan-jalan akses perdesaan melalui program BKD itu. Demikian kata para pendatang luar Bojonegoro yang tertegun melihat betapa besarnya APBD kabupaten penghasil migas ini. Memang luar biasa, tembus Rp6 T lebih di tahun 2021 ini.

Tetapi ada selentingan melalui bisik-bisik di tempat-tempat ngopi para ‘winasis’ alias kaum pemikir dan aktivis, bahwa sejatinya gencarnya pembangunan itu tak lebih hanyalah cara untuk menangguk untung baik secara politik maupun isi pundi-pundi segelintir pihak atas pendapatan daerah yang turah-turah tersebut.

Terlepas benar atau salah, selentingan itu terbilang masuk akal juga. Analisis sederhananya bisa diintip dari bergeliatnya program Bantuan Keuangan Desa (BKD) unuk peningkatan jalan yang ‘katanya’ dipaksakan swakelola. Nalar umum dengan sedikit intuisi tentu mengidentifikasi swakelola berasa kontraktual dan sarat tekanan, juga titipan.

Dilihat dari kaca mata biasa dan logika sederhana disimpulkan tak satupun pihak desa penerima BKD kisaran Rp1 M hingga Rp6 M bahkan lebih itu, sanggup mengerjakan rigid beton dan pengaspalan hotmix secara swakelola. Pasalnya, mana lah mungkin desa-desa memiliki tenaga ahli bidang itu. Belum lagi kesiapan peralatan dan mekanisme tetek bengek yang dibutuhkan lainnya.

Walhasil, dari program yang katanya swakelola itu kemudian samar-samar terdengar menjadi semi kontraktual, dengan menggandeng pihak ketiga untuk pengerjaan bersifat teknis. Tak ayal lagi, pihak desa pun kemudian ‘bergaya’ melakukan lelang pekerjaan semacam OPD secara terbuka dengan menggandeng konsultan pesanan.

Ah entahlah, nyatanya teknis lelang terbuka pun ‘berbau’ misterius. Dari sekian ratus desa atau tepatnya 200 lebih desa penerima BKD seantero Bojonegoro, belakangan tiba-tiba sudah mengaku telah MoU dengan kontraktor pemenang lelang. Padahal, nyaris tak ada gaung proses lelangnya seperti apa.

Berdasar informasi dari pelbagai punggawa desa, kemudian diyakini bahwa pemenang lelang ternyata disebut-sebut memang telah ditentukan sebelumnya. Oleh siapa? Tentu saja oleh siapa pun yang berkepentingan dan mempunyai akses kuat menembus tebalnya dinding sistem yang diduga menyediakan celah untuk masu di dalamnya.

Dus.., tanpa mengurangi apresiasi terhadap menggeliatnya segala bentuk pembangunan terutama jalan, ada baiknya semua sadar, bahwa sebaik apapun drama dikemas, tentu akhirnya akan muncul juga ‘mbuletnya’ alur cerita yang akan membuat pemirsa geregetan dan pindah channel, setidaknya untuk bernostalgia atau bahkan mencari yang baru untuk pembanding agar otak tetap segar dan waras.

Terakhir, mari sama-sama mengingat akan kalimat sakti dari para leluhur nusantara. Tentang hukum tabur tuai, tentang bagaimana seharusnya sang pemenang bersikap. “Sing sapa nandur bakal ngunduh wohing pakerti. Nandur pari bakal ngunduh pari, nandur tolo (kacang merah) ngunduh tolo. Sing sapa menang sewenang-wenang ora bakal lestari oleh e menang”.

“Aja sok adhigang adhigung Adiguna, sapa sira sapa ingsun (Jangan merasa paling gesit, merasa paling kuat dan jangan merasa paling hebat atau sakti. Adhigang wwatak kijang, adhigung watak gajah, Adiguna watak ular berbisa”.

Karena sok gesit kijang tewas jatuh ke jurang, gajah yang sok gagah perkasa mati karena telinganya diserang semut sehingga kepalanya dibentur-benturkan sendiri ke pohon hingga tersungkur. Sementara ular berbisa yang sok paling ampuh, tewas akibat kena pentungan di kepalanya. Miris bukan?? (to be continue..)

*Moch. N Saiq, Kabiro TerasJatim.com (Bojonegoro-Tuban) dan Kabid Litbang SMSI Bojonegoro.

Subscribe

Terimakasih Telah Berlangganan Berita Teras Jatim