Malam Satu Suro

Malam Satu Suro

TerasJatim.com – Tradisi diantara masyarakat kita, khususnya bagi orang Jawa di Jatim, banyak yang masih mengenal kalender Jawa. Salah satu bulan Jawa yang biasa dianggap punya makna penting adalah bulan Suro.

Bulan Suro, konon merupakan bulan sirikan bagi yang mempercayainya. Di bulan ini, mereka biasanya dilarang untuk melaksanakan ‘ewoh’ atau punya gawe besar. Konon kabarnya, bulan Suro adalah bulan untuk tirakat dan lebih mengedepankan keprihatinan.

Sudah menjadi kebiasaan bahwa 1 Suro merupakan hari pertama dalam kalender Jawa wulan suro, dan bertepatan dengan 1 Muharram dalam tahun hijriyah.

Satu suro biasanya diperingati oleh mereka yang masih berpegang pada adat kebudayaan Jawa, dengan melakukan banyak kegiatan ritual. Selain puasa atau poso suro, memperingati datangnya bulan Suro juga biasanya dengan cara lelaku yang ditandai dengan selametan bubur suro.

Diharapkan, dengan melakukan ini semua, perjalanan mereka di bulan Suro dan bulan selanjutnya, jauh dari bala dan musibah.

Banyak tradisi di saat malam pergantian ke bulan Suro. Dan itu tergantung dari mana kebiasaan dan adat istiadatnya. Ada yang bertapa bisu tidak bicara selama ritual ini. Maknanya sebagai upacara untuk mawas diri, berkaca pada diri atas apa yang dilakoninya selama setahun penuh, serta sebagai bekal dalam menghadapi hari, bulan dan tahun baru di esok harinya.

Ada juga dengan menjalankan tradisi kungkum atau berendam di sungai, sendang atau sumber mata air tertentu. Yang paling mudah ditemui di Jawa Mataraman adalah dengan cara tirakatan dan melekan, tidak tidur semalaman dengan merenungkan diri sambil bermunajat kepada Sang Pencipta dengan memohon segala ampunan atas kesalahan yang sudah dilakukan.

Di antara tradisi tersebut ada juga sebagian masyarakat yang menggunakan malam Satu Suro sebagai saat yang tepat untuk melakukan ruwatan buwang sengkala melalui pagelaran wayang kulit.

Begitu juga para ahli pusaka. Di hari tertentu di bulan Suro biasanya mereka memandikan atau men-jamasi  pusaka yang menjadi peninggalan leluhurnya.

Buat saya, itu semua adalah tradisi dan budaya yang patut diapresiasi. Kita semua menganggap bahwa kebiasaan adat Jawa adalah merupakan seni dalam kehidupan. Walapun pada dasarnya kita sebagai orang Jawa kurang bisa Jawani dengan kultur yang konon kental dengan pitutur dan kebecikan.

Bulan Suro yang konon dimaknai bulan “prihatin”, menggambarkan bahwa dalam setiap kehidupan kita patut untuk sedikit merasakan sebuah arti hidup prihatin. Bisa jadi, selama ini kita selalu dalam ketercukupan atau mungkin kemewahan. Sisi positif yang bisa kita ambil dari bulan Suro, paling tidak kita bisa mengerem nafsu dan jumawah kita.

Yang pasti hari pertama di bulan baru (Suro) di penanggalan Jawa dan 1 Muharram tahun baru di kalender Islam (Hijriyah).  Tentu kita berharap, masih diberikan kesempatan untuk terus berbuat sesuatu yang terbaik.

Jika diantara kita ingin merayakan datangnya bulan Suro dan tahun baru Islam dengan adat, tradisi dan budaya masing-masing, selama itu tidak melanggar norma agama dan keyakinan, hal itu merupakan bagian dari indahnya sebuah keberagaman umat. Sebab kita tahu, bahwa di lingkungan sekitar kita, masih banyak tradisi adat yang masih di-ugemi sebagai budaya yang luhur.

Terakhir, selamat menikmati malam Satu Suro dan selamat tahun baru Hijriyah.

Salam Kaji Taufan

(*tulisan ini pernah tayang di TerasJatim.com sebelumnya)

Subscribe

Terimakasih Telah Berlangganan Berita Teras Jatim