Kebiri, Praktik Kuno yang Tetap Kontroversial

Kebiri, Praktik Kuno yang Tetap Kontroversial
ilustrasi

TerasJatim.com, Surabaya – Banyaknya kasus kekerasan seksual terhadap anak di beberapa daerah di Indonesia, membuat issu hukuman pengebirian kembali mengemuka. Sebab selama ini dengan pemberian hukuman kurungan, dirasa tidak menimbulkan efek jera bagi pelakunya.

Salah satu cara yang banyak dianggap sebagai upaya mengeliminir kejahatan seksual di tanah air, adalah dengan cara pengebirian yang tidak melanggar azasi.

Dilansir dari CNN Indonesia, pengebirian (castration, emasculation, gonadectomy) adalah membuang testis dan mengurangi produksi hormon tertentu, seperti testosteron, yang menyebabkan pria jadi steril (tak dapat bereproduksi). Operasi pengebirian disebut orchiectomy (pemotongan pada kedua testis). Kini, prosedurnya adalah kebiri kimia, menggunakan obat-obatan kimia untuk menonaktifkan testis.

Pada masa lalu, sejumlah pria dikebiri dengan membuang sebagian alat kelaminnya. Hal ini dilakukan atas keinginan sendiri atau perintah orang lain.

Banyak yang setelah dikebiri jadi cenderung unggul dan mencapai hal-hal besar dalam hidupnya.

Pengebirian digunakan pengadilan Tiongkok kuno untuk mencetak kasim, pelayan pria yang dapat dipercaya berada dekat dengan Kaisar. Pasalnya, berada dekat dengan Kaisar berarti berada dekat dengan haremnya, karena itu hanya sedikit orang yang dibolehkan.

Kasim dianggap aman, karena mereka tidak punya kemampuan dan keinginan seksual, seperti sebelumnya. Alhasil, kasim mendapat keistimewaan dari Kaisar menduduki jabatan-jabatan tinggi pemerintahan.

Menjelang akhir abad ke-19, sejumlah orang kuat di Kekaisaran Tiongkok dan Korea adalah kasim. Disebutkan pula dalam studi tahun 2012 tentang kasim Korea pada awal modern, para kasim ini cenderung hidup lebih lama, bisa mencapai usia 100 tahun atau lebih.

Para kasim diyakini tak akan merebut tahta raja dan menggantinya dengan dinasti keluarganya karena mereka tak dapat berkeluarga.

Di Korea, kasim dibolehkan menikah dan mengadopsi, tapi ahli waris pria tersebut harus jadi kasim. Hasil dari tradisi ini adalah budaya kebiri bagi anak laki-laki sebelum akil balig di Tiongkok dan Korea, langkah awal menuju karier cemerlang sebagai pelayan masyarakat.

Diam-diam, tradisi ini berlanjut terus hingga 1996 ketika kasim terakhir pejabat tinggi Korea meninggal.

Di Timur Tengah, pria muda yang ditangkap, dikebiri untuk jadi pelayan di rumah bangsawan. Mereka dipercaya menjaga dan melindungi istri-istri penguasa yang mereka layani.

Pada abad ke-18 di Italia, bukan lagi rahasia, banyak anak laki-laki dikebiri (“castrato” dalam bentuk tunggal, dan “castrati” jamak) meski sejarawan kesulitan mengidentifikasi siapa tepatnya, yang menjalankan operasi ini, dan dengan cara apa.

Buku anonim tentang kebiri keluaran 1718 adalah satu di antara sedikit teks kontemporer tentang bagaimana castrati berlangsung. Tertulis di sana, sebagian besar bocah berusia 7-9 tahun dipegangi dan arteri karotis mereka dijepit hingga mereka pingsan, menyusul kemudian testis mereka diangkat.

Penulis buku itu mencatat terkadang bocah-bocah itu diberi opium agar tidak sadar, namun akhirnya banyak juga yang mati akibat overdosis “narcotick” ini.

Prosedur ini tentu saja ilegal. Castrati dianggap bocah yang turun dari surga, lalu digunakan Gereja sebagai anggota paduan suara di St. Peter di Roma. Padahal para bocah ini diserahkan orang tua mereka untuk menjalani operasi kebiri.

Keyakinan populer saat itu, diangkatnya testis akan membuat suara tinggi saat dewasa kelak. Prosedur tersebut harus dilakukan sebelum masa puber agar pita suara tak sempat memanjang selama periode tersebut.

Pasalnya, 95 persen produksi hormon seks pria diproduksi di testis. Pada masa puber, pita suara pria biasanya bertambah panjang 65 persen, antara 35 hingga 92 milimeter.

Dengan menghilangkan testis, pertumbuhan pita suara anak-anak yang dikebiri, tak banyak.  Faktor lain yang membuat perubahan besar suara dewasa adalah faring dan rongga mulut yang lebih besar serta kemampuan menarik napas lebih dalam.

Kemampuan ini tetap berkembang pada diri castrati. Hasilnya adalah pria dewasa dengan suara beresonansi tinggi dengan kemampuan memproduksi dan menahan nada dalam jangka waktu lama.

Setiap tahun, ribuan bocah dikebiri dengan harapan dapat sukses sebagai penyanyi. Fakta bahwa mereka tak punya kelamin bukan masalah besar. Persaingannya ketat, dan hanya sedikit ‘castrati’ yang terkenal jadi penyanyi di opera-opera besar Eropa.

Pada akhir abad ke-19, pendapat masyarakat terhadap castrato berubah jadi memandang jijik. Tren mengebiri bocah laki-laki sebelum puber dengan harapan jadi penyanyi dan membuat orang tuanya kaya, lenyap pula.

Kasus orang terkenal yang mengebiri diri sendiri adalah Thomas Corbett. Dialah orang yang menembak dan membunuh John Wilkes Booth, pembunuh Abraham Lincoln. Setelah kematian istrinya, Corbett takut tergoda dengan perempuan lain. Dia pun memotong seluruh alat vitalnya dengan gunting.

Pengebirian masih ada pada masa sekarang. Salah satu kasus yang pengebirian kimia yang paling terkenal dilakukan oleh negara adalah pada Alan Turing, bapak komputer.

Dia dikebiri pada 1952 karena homoseksualitas, yang pada masa lalu dianggap kejahatan. Turing bunuh diri makan apel bercampur sianida, dua tahun kemudian.

Pada 1966, fisikawan Amerika bernama John Money memperkanalkan prosedur sederhana kebiri kimia menggunakan hormon kontrasepsi perempuan sintetis.

Prosedurnya dengan menyuntikkan hormon perempuan setiap tiga bulan sekali, cara yang sama digunakan perempuan dalam prosedur KB. Terobosan ini tidak memerlukan pembedahan.

Dalam 30 tahun, kebiri kimia jadi wajib di Amerika Serikat, dimulai California yang memperkenalkan undang-undang tentang hukuman terhadap pedofil, dan menyusul negara-negara bagian lain.

Kontroversi pun merebak karena ada hak azasi manusia yang dicabut dilanggar, sementara tak ada jaminan tujuan utama hukuman itu, tercapai. (TJ)

Subscribe

Terimakasih Telah Berlangganan Berita Teras Jatim