Kangen Udan-Udan

Kangen Udan-Udan

TerasJatim.com – Kalau boleh saya berharap, saya ingin Tuhan sesegera mungkin menurunkan berkah hujan-Nya untuk kita semua. Lumayan lama kita yang di sebagian besar jawa timur merasakan sumuk dan ongkep-nya bumi. Namun kita masih patut bersyukur, jika hari-hari kita masih sebatas “dikasih” rasa gerah dan keringetan. Dampaknya paling hanya ada sedikit perubahan di bau badan kita, dan itu gampang cara untuk mengatasinya.

Bandingkan dengan penderitaan saudara kita di wilayah sumatera dan kalimantan. Kondisi mereka sungguh memprihatinkan. Setiap helaan dan tarikan nafas mereka, oksigen bercampur polusi asap kebakaran hutan yang mereka nikmati dalam setiap harinya.

Sudah banyak doa dan upaya masyarakat untuk segera datangnya musim penghujan. Di daerah-daerah lain, banyak yang sudah melakukan ritual untuk minta hujan. Seperti halnya di jombang dan lamongan, ada banyak sekolah yang melaksanakan sholat minta hujan, Istisqa’. Di blitar, masyarakat setempat melaksanakan ritual adatnya dengan menyelenggarakan adu cambuk atau Tiban. Dan mungkin di banyak daerah lain juga melakukan upaya yang sama.

Kita semua berharap, agar hujan segera datang, dan kita bisa kembali bisa main “hujan-hujanan”. Hehehe

Saat waktu kecil dulu, saya sering mendengar kalimat guyonan orang dewasa. Jika musim panas di kemarau panjang dan terjadi banyak kekeringan adalah tuah dari semua perbuatan manusia. Mereka sering menyebut “menungso kakehan duso“, adalah penyebab terjadinya sebuah musibah. Bisa jadi kalimat tersebut  diucapkan untuk menyadari betapa banyaknya hal bodoh yang sudah dan sering kita perbuat.

Kalau kita renungkan sesaat, kalimat tersebut ternyata ada benarnya. Kita sering melakukan hal yang di luar kendali dan cenderung rakus, untuk menjarah apa saja yang ada di bumi ini. Tanpa berpikir panjang tentang bagaimana dampak dan resikonya. Kita sering berpikir bahwa bumi dan segala isinya adalah karunia yang bisa kita eksploitasi dengan sekehendak hati. Seolah-olah bumi adalah hak dan hanya milik kita. Kita sering tidak memberikan ruang kepada mahluk hidup lain di luar kita, yang sebenarnya juga mempunyai hak yang sama untuk menikmati hidup dan berkembang di bumi ini. Pohon dan tumbuhan misalnya, mereka juga punya hak untuk tumbuh dan berkembang dengan membawa misi dan tujuannya.

Hutan yang dulu rindang, dan sebagai rumah tinggal mahluk hidup lain, serta sebagai tempat tabungan air dan oksigen sehat yang dapat memberikan kita kehidupan, dengan cepat menjadi padang jingglang dan tak tersisa. Eksploitasi sumber daya alam besar-besaran sering dilakukan dengan alasan sebuah kemakmuran.

Orang di perkotaan, karena alasan efisiensi dan ekonomi, berlomba-lomba untuk berebut tempat di rumah tingkat berkaca dengan semua bilik yang dipasangi alat pengatur suhu, tanpa peduli dengan suhu yang terjadi di luarnya. Begitu juga dengan industri dan pabrik, dengan tanpa rasa bersalah menggunakan air bawah tanah tanpa memperhitungkan kebutuhan pihak dan generasi lain dengan semena-mena. Belum lagi ditambah asap kendaraan bermotor yang setiap harinya  mengasapi polusi kita.

Mungkin, musim kemarau panjang tidak begitu terasa buat mereka yang ada di perkotaan. Kebiasaan berada pada ruangan ber-ac yang nyaman serta ketercukupannya air bersih yang mudah didapat, menjadikan mereka semakin jauh dari rasa empati dengan penderitaan mereka di luar komunitasnya.  Bisa jadi mereka malah tidak mendengar, bahwa musim kekeringan adalah bagian dari sebuah musibah yang banyak dirasakan oleh saudaranya di luar sana.

Saya sering membaca laporan reporter TerasJatim.com dari beberapa daerah yang menulis tentang bagaimana derita dan kesulitan yang dialami oleh saudara-saudara kita di pelosok desa dan jauh dari ketersediaan air. Jangankan air untuk mengairi sawah ladangnya yang kering, untuk  sekedar kebutuhan MCK saja, mereka harus pintar berbagi dengan hewan ternaknya. Untuk bisa membasahi muka dan sebagian badannya, memberikan jatah minum untuk kambing dan sapinya, mereka harus berjuang, berjalan jauh dan rekoso  untuk sekedar ngangsu, agar kehidupan mereka tetap berlangsung.

Di beberapa desa sering kita melihat masyarakat kita membawa jerigen, gentong, bak mandi, sambil berderet di depan balai desa. Mereka antri untuk mendapat droping bantuan air bersih. Mereka menyadari betul bahwa air adalah sumber kehidupan. Mereka menyadari betul, bahwa setetes air yang mereka dapatkan, dibutuhkan sebuah perjuangan yang tidak ringan.

Seharusnya, dengan segala cermin keterbatasan yang sudah dijalani oleh saudara-saudara kita di pelosok desa tersebut, banyak hal yang harus kita lakukan untuk sekedar mengurangi kebodohan akan gaya hidup kita. Paling tidak kita bisa merenungkan apa dan siapa sebenarnya peran kita di bumi ini. Mulai sekarang mari belajar untuk mempunyai sedikit empati terhadap bumi. Kita awali menjaga  alam dan sekeliling kita dengan kesadaran hati dan cinta.

Terakhir, kita semua menunggu hujan segera datang, dan saya berharap bisa udan-udan.   

Salam Kaji Taufan

 

 

Subscribe

Terimakasih Telah Berlangganan Berita Teras Jatim