Jebakan Serangan Fajar

Jebakan Serangan Fajar
ilustrasi

TerasJatim.com – Saya kutip dari Wikipedia, pengertian serangan fajar dalam politik, adalah istilah yang digunakan untuk menyebut bentuk politik uang dalam rangka membeli suara yang di lakukan oleh satu atau beberapa orang untuk memenangkan calon yang bakal menduduki posisi sebagai pemimpin.

Serangan fajar umumnya menyasar kelompok masyarakat menengah ke bawah, dan kerap terjadi menjelang pelaksanaan pemilihan umum, termasuk pilkada yang digelar besuk (09/12).

Adapun bentuk politik uang yang dilakukan adalah dengan cara membagi-bagikan uang menjelang saat-saat pemungutan suara dengan tujuan agar masyarakat memilih calon tertentu.

Senyampang masih ada waktu, saya terus ingin memberikan dukungan kepada masyarakat Jawa Timur dan Indonesia, yang kebetulan daerahnya pada 9 Desember besuk, menggelar pilkada langsung dan serentak, untuk senantiasa belajar dewasa dalam menyikapi fenomena ini.

Paling tidak, masih ada kesempatan untuk sedikit merenung serta berfikir jernih, kira-kira siapa yang akan dipilih nanti dan dipercaya untuk membawa kesejahteraan masyarakat daerah untuk 5 tahun mendatang. Sebab setiap ada even demokrasi, seharusnya masyarakat menjadikannya sebagai kegembiraan politik yang harus bisa dinikmati manfaatnya.

Namun faktanya di beberapa daerah yang menyelenggarakannya, gelaran yang banyak menguras energi dan dana rakyat ini, justru disikapi biasa-biasa saja dan malah terkesan “adem ayem plus anyep”. Bisa jadi hal ini karena pengalaman traumatik pemilihan demokrasi yang dirasa tidak menguntungkan apa-apa dalam konteks kehidupan masyarakat selama ini.

Hanya sekedar berbagi info dan sekedar mengingatkan, bahwa dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) untuk mengusung calon kepala daerah tidak hanya diikuti oleh kandidat yang dicalonkan dari partai politik saja, namun banyak juga para kandidat yang maju melalui jalur perseorangan (non-partai).

Paling tidak, hal ini dapat memberikan angin segar dan harapan baru bagi munculnya calon-calon kepala daerah/wakil kepala daerah yang relatif lebih terbuka bagi siapa pun yang memiliki minat untuk mengabdi secara baik di daerahnya. Selain itu, masyarakat akan lebih banyak mempunyai alternatif pilihan.

Selama ini di tataran masyarakat akar rumput, masih banyak yang beranggapan bahwa pencalonan kepala daerah harus melalui pintu partai politik, sehingga tingkat apatisme masyarakat terhadap dunia politik cenderung meningkat.

Hal ini disebabkan seringnya elite parpol yang berpikir dan bertindak pragmatis, serta tidak dengan gampang memberi jalan kepada calon yang bukan kader partainya. Disamping itu, selama ini dan kabarnya masih terjadi hingga kini, peraturan yang memberikan kewenangan parpol melakukan perekrutan politik tidak memberikan peluang yang demokratis dan transparan, bahkan disalahgunakan oleh sebagian elite parpol untuk mematikan proses perekrutan politik yang demokratis. Seperti halnya kabar adanya deal-deal tertentu termasuk besaran mahar politiknya.

Tidak mengherankan jika partai telah dianggap sebagian masyarakat sebagai lembaga perantara politik yang “memeras” kandidat yang ingin menjadi kepala daerah. Dan pada akhirnya masyarakat merasa hanya sebagai obyek penderita bagi gelaran yang berbau politik.

Persepsi tersebut tidak mudah dibuktikan, tetapi gejala ini bukan lagi sekadar issu dan rumor melainkan telah menjadi isu politik yang mencemaskan dan menggerogoti masa depan demokrasi kita.

Saya berpendapat bahwa munculnya beberapa figur dari jalur perseorangan dalam pemilukada kali ini, paling tidak bisa memberi tanda sekaligus tantangan serius bagi partai politik untuk selektif mengusung calon, dan bukan hanya karena alasan pragmatis semata. Tampaknya, hal ini bisa digunakan sebagai alat pemicu partai politik, untuk mengusung tokoh-tokoh populis sebagai kandidat mereka.

Terlepas hasilnya nanti kalah atau menang, calon perseorangan dalam pilkada memberikan anggapan positif untuk sebuah pembelajaran demokrasi bagi siapa saja.

Sikap seperti ini penting, agar tercipta kesadaran kepada masyarakat bahwa jalur perseorangan atau independen diharapkan bisa mengurangi biaya dan ongkos politik bagi para calon kepala daerah, sehingga meminimalisir terjadinya korupsi kepada kepala daerah, ketika mereka menjabat.

Kalau model seperti ini bisa berjalan sesuai harapan, saya yakin antusiasme masyarakat terhadap sebuah pilkada, akan kembali menunjukan sikap gairah dan kegembiraan dalam sebuah demokrasi.

Rasanya tidak salah kalau saya menyebut bahwa lebih baik mempunyai pilihan dan ikut memilih, dari pada diam dan tidak melakukan perubahan apa-apa.

Tanpa mengurangi rasa hormat, sepertinya budaya kuno “serangan fajar” masih berjalan. Mumpung masih ada waktu, mari kita belajar demokrasi yang sehat dan benar, minimal untuk diri kita sendiri.

Pilih pemimpin sesuai logika dan nurani. Selamat menikmati kegembiraan politik !.

Salam Kaji Taufan

Subscribe

Terimakasih Telah Berlangganan Berita Teras Jatim