Jangan Malu Terlihat Miskin, Malulah Pura-Pura Kaya

Jangan Malu Terlihat Miskin, Malulah Pura-Pura Kaya

TerasJatim.com – Pernahkah Anda melihat sebuah warung kelontong kecil yang dijaga oleh pria tua keturunan Tionghoa bersendal jepit, celana pendek, dan kaos lusuh? Atau sebuah restoran Chinese food sederhana yang pengunjungnya selalu ramai dan dikelola oleh keluarga mereka sendiri, mulai dari dapur sampai kasir?

Memang, dari luar terlihat biasa. Tapi siapa sangka, mereka tiap minggu bisa setor puluhan juta ke bank dan distributor barang. Bahkan tak jarang, di antara mereka sudah membeli bangunan ruko dan tanah di tempat lain.

Ini bukan cerita fiksi. Ini nyata. Dan inilah salah satu cermin dari filosofi kaya lintas generasi bagi orang-orang China (keturunan Tionghoa).

Orang China punya prinsip hidup yang kadang berbanding terbalik dengan cara kita menjalani hari. Di saat sebagian besar dari kita baru dapat bonus kerja yang jumlahnya tidak seberapa, kita sudah buka marketplace ingin belanja ini-itu. Namun kebalikannya, mereka justru mencatat hasil penjualan dan menghitung berapa biaya operasional.

Bagi mereka, bisnis adalah pondasi, bukan ajang validasi. Ada pepatah Tionghoa kuno berbunyi “Qiong yang shengyi, tu yang jizid”, yang artinya bisnis dipelihara dalam kesederhanaan, lalu kekayaan pribadi akan datang setelahnya. Maka tak heran bila mereka lebih memilih pakai motor bebek tua daripada membeli mobil baru. Prinsip mereka, daripada kendaraan baru mereka selalu berpikir untuk dapat membuka cabang usaha baru.

Perbedaan ini semakin kentara ketika kita melihat bagaimana orang Tionghoa memandang waktu dan kesabaran. Mereka punya filosofi “zuo shi yao changyuan”, yaitu berpikir jangka panjang. Sabar membangun bisnis meski bertahun-tahun belum terlihat hasilnya.

Sedangkan kita, baru sebulan jualan online yang nggak laku, sudah overthinking, minta ganti nama brand, atau bahkan menyerah total. Mereka siap kerja keras 10 tahun, kita ingin viral dan sukses hanya dalam 10 hari saja.

Dalam pengelolaan uang, prinsip “jiejian shi meide” atau hemat adalah kebajikan menjadi gaya hidup turun-temurun. Anak-anak mereka diajari untuk mencatat pengeluaran sejak kecil. Modal bukan untuk dibanggakan, tapi diputar agar makin besar dan makin berkembang. Mereka tidak pusing jika jika tampil tidak mewah. Karena tujuan utamanya adalah membesarkan bisnis, bukan sekadar memoles citra. Coba bandingkan dengan kita yang kadang baru gajian langsung update OOTD dan kopi mahal. Meskipun kita masih memiliki cicilan ini-itu yang belum lunas.

Selain itu, kekuatan orang Tionghoa juga terletak pada keharmonisan keluarga. “Jia he wan shi xing”, jika keluarga kompak, semua urusan akan lancar. Mereka percaya bahwa rezeki bisa dilipatgandakan lewat sinergi antar anggota keluarga. Banyak bisnis besar yang dibangun mulai dari ayah-ibu dan diteruskan anak-anaknya. Semua ikut kerja, tidak ada yang gengsi. Sementara kita sering kali menghindari kerja sama dengan saudara karena takut ribut, atau malah ribut duluan hanya karena urusan pembagian hasil.

Satu nilai lain yang luar biasa kuat dalam budaya bisnis China adalah guanxi, jaringan relasi. “Guanxi jiu shi caifu”, relasi adalah kekayaan. Mereka membangun hubungan bertahun-tahun, bahkan tanpa kontrak, karena yang dijaga bukan cuma keuntungan, tapi kepercayaan. Kontras dengan kita yang kadang sekali dipercaya, malah jadi kesempatan untuk main curang. Mereka tahu bahwa bisnis yang sehat itu dibangun dari kepercayaan yang dijaga, bukan dari mulut manis saat pitching.

Tentu kita tidak bisa menyamaratakan semua orang kita (Indonesia) hidup dengan prinsip instan. Tapi tren dan data menunjukkan, bahwa kebiasaan konsumtif masih merajalela di kalangan masyarakat kita.

Data dari BPS dan OJK beberapa tahun terakhir menunjukkan, bahwa lebih dari 50% anak muda Indonesia tidak punya dana darurat. Bahkan survei Katadata pada 2022 mencatat, bahwa 7 dari 10 responden usia 20-35 tahun lebih mementingkan gaya hidup dari pada menabung atau investasi. Di sisi lain, keluarga-keluarga China, bahkan dari generasi bawah, memiliki portofolio properti atau usaha sejak muda.

Bandingkan dengan tren yang sering kita dengar, “gaya dulu, mikir belakangan” yang kini menjamur. Tidak sedikit orang yang memaksakan diri terlihat sukses, bangga dibilang kaya. Padahal baru punya hasil dari kerja yang nilainya se-upil dan tak seberapa. Celakanya, validasi semacam ini sering mendapat tepuk tangan, sehingga makin banyak orang kita mabuk dan tergoda. Kita lupa, jika kaya itu bukan soal penampilan, tapi soal kemampuan bertahan dan berkembang secara konsisten. Bahkan, ada fenomena orang yang rela berutang hanya demi terlihat punya branding pribadi dan dapat dibilang “naik kelas.”

Apakah semua orang China sukses dan tidak punya masalah? Tentu tidak. Tapi apa yang bisa kita pelajari adalah sistem nilai yang mereka jaga secara turun-temurun. Mereka tahu bahwa hidup adalah marathon, bukan sprint. Dan kekayaan sejati bukan untuk dipamerkan, melainkan diwariskan dalam bentuk aset, etos kerja, dan prinsip hidup.

Kalau saja semua ini sebagai ilmu pembelajaran, mungkin memang kita perlu belajar. Ini bukan untuk merendahkan, melainkan untuk membangunkan. Kita masih bisa belajar, masih bisa berubah. Karena pada akhirnya pilihan ada di tangan kita sendiri, mau terus mencari validasi dari lingkungan atau mulai membangun fondasi untuk masa depan.

Jika kita hari ini masih berjuang, ingatlah bahwa pelan bukan berarti tertinggal. Tapi asal langkahnya konsisten dan fondasinya kuat, maka kita sedang menuju sesuatu yang jauh lebih berharga dari sekadar pujian singkat.

Membangun bisnis itu berasal dari ketekunan, bukan gengsi. Simpan cuan Anda untuk ekspansi, bukan untuk eksistensi. Gengsi bisa ditunda, tapi pondasi harus diprioritaskan. Karena sukses bukan soal terlihat, tapi tentang bertahan dan meninggalkan jejak yang bisa diwariskan.

Jangan malu terlihat miskin, tapi seharusnya kita malu jika kita terlihat kaya tapi sebenarnya hanya pura-pura. Bagaimana menurut Anda?

Kaji Taufan, dari pelbagai sumber

Subscribe

Terimakasih Telah Berlangganan Berita Teras Jatim