Dunia Bul Bul

Dunia Bul Bul

TerasJatim.com – Saya kebetulan lumayan suka dengan sepak bola, tapi bukan penggila bola, apalagi gila bola. Jaman jayanya perserikatan dan galatama dulu, hampir setiap pertandingan Persebaya dan Niac Mitra di Gelora 10 Nopember Tambaksari, saya selalu datang dan duduk di VIP.

Duduk di kursi kehormatan, bukan berarti saya banyak punya duit untuk beli tiket atau dapat undangan sebagai orang yang dianggap penting, tapi karena saya punya hubungan yang sangat baik dengan beberapa nama pemain di dua kesebelasan kebanggaan Surabaya tersebut.

Kapten Persebaya (saat itu) Nurjono Harijadi yang biasa saya panggil Yonil, adalah teman sekampus saya. Sedang Fredy Mulli dan kiper cadangan Niac Mitra (saat itu) Koko Sunaryo, adalah sahabat baik saya.

Jadi jangan heran setiap mereka akan bertanding di Tambaksari, Kartu Tanda Anggota klubnya selalu saya pinjam untuk masuk dan melenggang bebas di setiap area dalam stadion. Selain gratis, kadang saya juga bisa dapat minum dan buah jatah kelebihan para pemain di ruang ganti.

Di Bojonegoro, Persibo saat itu masih main di divisi 2 kemudian naik ke divisi 1 dan akhirnya lolos ke Divisi Utama. Saat itu saya dan  teman-teman komunitas jip saya, (BOCA : Bojonegoro Cruisher Autoclub) juga sering ikut war-wer ngalor ngidul untuk konvoi meramaikan keberhasilan tim kebanggaan masyarakat Bojonegoro, Laskar Angling Dharma.

Setelah itu Persebaya dan Persibo bergabung dengan IPL kemudian akhirnya dengan alasan politis dan statuta, kedua kesebelasan yang pernah saya banggakan tersebut dipaksa degradasi dan ujungnya tidak diakui dan dilarang aktif untuk ikut berkompetisi di lingkungan PSSI.

Sejak itulah, saya kurang begitu berminat mengikuti perkembangan kompetisi sepak bola di tanah air. Saya lebih suka, melihat perkembangan dan  tayangan liga-liga eropa di tv. Saya lebih mengenal nama-nama pemain Manchaster United dibanding Madura United, saya lebih menikmati  permainan Barcelona daripada Persiba Bantul. Hehehe

Saat ini, saya mendengar informasi bahwa tim transisi yang menggantikan peran PSSI sedang menggelar turnamen piala kemerdekaan dan piala presiden. Itupun saya juga tidak begitu tertarik mengikuti beritanya, apalagi melihat pertandingannya.

Saya dari dulu, kurang begitu respek dengan sebagian orang yang duduk sebagai pengurus PSSI, baik pasca pembekuan maupun pengurus di masa yang lalu-lalu.

Buat saya, PSSI dari dulu begitu-begitu saja. Saat pemilihan pengurus, selalu ribut dan kadang melebihi cara-cara yang sering di lakukan di partai politik. Begitu juga saat menyusun pengurus, unsur perkoncoan dan kedekatan politik sangat dominan dan vulgar di mata publik. Pokoknya PSSI seperti Partai Sak Senenge Indonesia.

Ada yang menjabat sekjen puluhan tahun, ada yang diindikasikan sebagai pelaku korupsi tapi tetap pede menjabat ketua. Secara etika dan kepatutan  banyak nama-nama pengurus yang tidak pas di dunia bola, kecuali ngurus dunia bul-bul.

Buat kita, sosok pejabat yang menjadi kontroversi di mata publik, selayaknya tidak mengambil peran dan posisi penting di suatu organisasi manapun. Selain membuat kegaduhan, orang-orang yang sudah di cap “kurang”, biasanya malah bikin beban dan akan men-delegitimasi lembaganya.

Kalau toh saat itu saya datang nonton bola ke stadion, itupun karena faktor kecintaan saya terhadap klub dan unsur hubungan emosional kedaerahan, bukan karena liga-nya. Buat saya nonton sepak bola adalah hiburan. Seperti halnya saya nonton elektonan atau ketoprak di rumah orang yang punya hajatan.

Saya tidak sedih atau bahagia, ketika Menpora membekukan PSSI, saya juga tidak terlalu bersuka cita atau berjingkrak-jingkrak ketika Slep Blatter mundur sebagai Presiden FIFA atas dugaan suap dan korupsi.

Saya juga sering membaca bahwa otoritas  sepak bola karena kekuasaanya, diduga banyak melibatkan mafia-mafia judi, pengaturan skor, suap pemain, official tim dan piranti pertandingan lainnya.

Intinya, masyarakat pecinta dan penikmat bola di tanah air dan mungkin di sebagian besar belahan bumi (termasuk saya) sudah kelempoken dengan kabar-kabar miring tersebut.

Saya juga memahami kepedihan pemain bola dan keluarganya. Saya juga bersimpati kepada para makelar tiket di stadion dan suporter sepak bola di tanah air. Saya kadang juga merasa kangen riuhnya stadion di saat tim kesayangan bertanding.

Kita berharap dengan disuspended-nya kita dari pergaulan komunitas sepak bola dunia, semua elemen bola nasional bisa merenungkan diri dan batinnya. Semoga dengan dibekukannya PSSI oleh pemerintah, paling tidak pelaku bola (pemain dan pengurus klub) di tanah air segera berusaha untuk mendewasakan dirinya.

Kedepannya, tidak ada lagi pengurus bola yang menjual keringat pemainnya dan menjadikan suporter sebagai bumper. Sepak bola adalah permainan yang menjunjung tinggi adab sportifitas, seharusnya dijauhkan dari anasir politik kepentingan untuk tumbuhnya perilaku yang koruptif dan manipulatif. Kita tentu berharap, gonjang ganjing sepak bola harus segera di akhiri.

Mudah-mudahan di turnamen Piala Kemerdakaan dan Piala Presiden ini, dapat dipakai sebagai pijakan awal untuk kembalinya sepak bola yang sehat luar dalam, sehat lahir dan batinnya.

Terakhir, wabil khusus untuk PENGURUS bola, jika anda ingin mencari nafkah dan sandang pangan dari dunia bola, sebaiknya anda belajar dulu di dunia bul-bul.

Salam Kaji Taufan.

Subscribe

Terimakasih Telah Berlangganan Berita Teras Jatim