Antara Revisi UU KPK dan Tipikor, Mana Yang Lebih Penting ?

Antara Revisi UU KPK dan Tipikor, Mana Yang Lebih Penting ?

TerasJatim.com – Pro kontra atas rencana revisi UU KPK yang beberapa hari belakangan marak dan cenderung lumayan gaduh, membuat publik ingin melihat apa saja yang menjadi bahan penting dalam revisi tersebut.

Konon kabarnya, draft revisi yang menjadi fokus penolakan publik tersebut ada empat poin. Empat poin revisi UU KPK yang dianggap melemahkan keberadaan lembaga antirasuah ini, adalah pembentukan dewan pengawas, pemberian wewenang Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), KPK tak berwewenang merekrut penyidik dan penyelidik sendiri serta penyadapan harus mendapat izin dewan pengawas.

Terlepas dari masalah tersebut, sebagian besar publik beranggapan, bahwa sejatinya saat ini revisi UU KPK sebetulnya bukanlah menjadi hal yang prioritas. Mereka beranggapan, bahwa seharusnya Pemerintah dan DPR, lebih mengutamakan revisi tentang UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang masih dinilai lemah dan tumpul dalam memberangus perilaku korup di negeri ini.

Jika mengacu pada temuan Indonesia Corruption Watch (ICW)  beberapa hari lalu, tentang adanya hukuman kepada koruptor yang cenderung semakin rendah, maka ada urgensi merevisi UU Tipikor secepatnya.

Sejak berdiri  hampir 13 tahun lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi seperti tak berhenti menangkapi para penjahat dan pejabat pelaku korupsi.

Tak pandang bulu, mulai dari ketua lembaga negara, pimpinan partai, anggota legislatif, menteri, gubernur, bupati, hingga petinggi lembaga penegak hukum. Namun kenyataannya, korupsi tidak pernah surut di negeri ini.

Dalam kurun 2004-2015 saja, KPK memenjarakan 23 Menteri dan Kepala Lembaga, 15 Gubernur, 49 Bupati/Walikota, 87 Legislator, serta 120 pejabat Eselon I, II, dan III. Kita bisa bandingkan dengan masa sebelum adanya KPK. Pejabat yang dipenjara akibat korupsi bisa dihitung dengan jari.

Ketegasan KPK dalam menjerat “orang-orang kuat” seharusnya dapat menciptakan efek jera. Harapannya, korupsi terkikis sedikit demi sedikit di negeri ini. namun faktanya hingga kini, korupsi di Indonesia semakin mewabah dan terjadi diberbagai tingkatan dari pusat hingga daerah. Bahkan dikhawatirkan, kini wabah korupsi telah merasuki sistem pemerintahan di desa-desa.

Banyak yang berpendapat, wabah korupsi akan semakin sulit diberangus, selama hukuman yang diberikan kepada para koruptor tersebut dirasa masih relatif ringan dan tidak menjadikan pelaku korupsi merasa kapok.

Dari catatan yang dirilis Indonesia Corruption Watch mengungkapkan, rata-rata vonis kasus korupsi sepanjang tahun 2015 terendah dalam tiga tahun terakhir, bahkan ada 68 yang divonis bebas, sehingga tidak menimbulkan efek jera.

Sementara itu, menyikapi ringannya hukuman kepada koruptor, pihak Mahkamah Agung (MA) menyatakan tidak melihat ada kejanggalan dalam putusan yang rendah tersebut.

Padahal publik dan sebagian besar pegiat anti korupsi beranggapan, putusan yang diberikan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) terhadap terdakwa korupsi dinilai masih mengkhawatirkan, karena belum memberikan efek jera.

Vonis bagi koruptor yang dijatuhkan pengadilan sejak awal sampai pertengahan 2015 semakin ringan. Tren ini bukan hanya dipengaruhi oleh hakim semata, tapi karena tuntutan jaksa yang juga makin ringan.

Berdasarkan data dari ICW, rata-rata putusan pidana penjara bagi koruptor pada tahun 2013 yaitu 2 tahun 11 bulan, tahun 2014  berkurang menjadi 2 tahun 8 bulan, dan pada tahun 2015 semakin turun menjadi 2 tahun 2 bulan. Putusan tersebut masuk dalam kategori ringan (karena kurang dari 4 tahun).

Selain tidak membuat jera, ada kemungkinan mendapat remisi atau pembebasan bersyarat di masa mendatang.

Di tahun 2015, ICW memantau 524 perkara dengan 564 perkara yang telah diputus oleh pengadilan baik tingkat pertama, banding, kasasi maupun peninjauan kembali. Dari seluruh perkara itu, ditaksir kerugian negara mencapai Rp 1,7 triliun.

Dari 564 perkara tersebut, 71,1 persen hukuman untuk koruptor termasuk ringan. Hanya ada 3 putusan atau 0,7 persen yang dinilai berat yakni di atas 10 tahun.

Persoalan menurunnya vonis koruptor ini disebabkan beberapa hal, yakni tuntutan jaksa yang masih rendah, UU Tindak Pidana Korupsi dan belum diterapkannya pedoman pemidanaan yang berkeadilan bagi para koruptor.

Melihat fenomena ini, mestinya Pemerintah dan DPR harus sesegera mungkin untuk bertindak dengan merevisi UU Tipikor.

Pejabat publik yang menyalahgunakan wewenang harusnya mendapatkan hukuman yang lebih berat dibandingkan pihak swasta. Ancaman hukuman minimal pidana ringan tidak tepat. Kepada pejabat publik, minimal hukuman yang pantas adalah di atas 4 tahun.

ICW mencatat, aktor korupsi nomor satu sejak tahun 2013 ditempati oleh pejabat publik. Di tempat kedua baru ditempati oleh pihak swasta. Jumlah pelakunya pun terus bertambah tiap tahunnya.

Pada tahun 2013 jumlah pejabat Pemda/Pemkot/Pemkab yang terjerat kasus korupsi sebanyak 141 orang. Pada tahun 2014 jumlahnya meningkat menjadi 171 orang dan tahun 2015 menjadi 225 orang.

Nah, melihat data dan fakta tersebut, rasanya tidak salah jika sebagian besar publik dan pegiat anti korupsi di negeri ini menjadikan revisi UU Tipikor menjadi prioritas, dan bukan issu revisi UU tentang KPK yang dinomor satukan.

Salam Kaji Taufan

(Diolah dari berbagai sumber)

Subscribe

Terimakasih Telah Berlangganan Berita Teras Jatim