Sengsaranya Anak-anak di Tegalombo Pacitan

Sengsaranya Anak-anak di Tegalombo Pacitan

TerasJatim.com, Pacitan – Tidak di luar negeri. Tidak juga di daerah Terdepan, Terluar, Tertinggal (3T). Tapi pemandangan anak-anak sekolah dasar ini ada di Kabupaten Pacitan, Jatim.

Pemandangan yang tidak seperti biasanya, dengan telanjang kaki, digendong, melintasi jalanan setapak, tebing, sungai, hingga bebatuan terjal nan licin.

Anak-anak di Pacitan ini sedang berangkat ke sekolah. Mereka mengenyam pendidikan di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 3 Kemuning, Desa Kemuning, Kecamatan Tegalombo.

Bukan tanpa sebab. Warga dan anak-anak sekolah di sana terpaksa harus menempuhnya dengan melewati medan berat, pasca jembatan satu-satunya di wilayah itu ambruk dihantam banjir dan longsor beberapa waktu lalu. Jutaan kubik material bebatuan bercampur pasir dan tanah, turun gunung.

Kejadian bencana alam itu sudah sepekan lalu. Namun, dampaknya begitu terasa bagi warga setempat, hingga sekarang. Akses perekonomian, pendidikan, hingga kesehatan lumpuh total. Ratusan Kepala Keluarga (KK) di 5 RT, Dusun Sempu, Desa Kemuning terisolir.

Hanya satu kata ‘Nekat’ yang melekat di benak warga di sana. Sejauh ini mereka tidak tinggal diam, tetapi terus bergerak, meskipun harus menyisir melewati sungai di bawah lereng gunung yang longsor.

Pun putra putrinya yang menempuh pendidikan di SDN 3 Kemuning itu. Mereka bersusah payah manapaki jalanan tersebut. Namun, semangat anak-anak itu tak diragukan lagi. Setiap hari, mulai membiasakan diri dengan kondisi yang baru dirasakannya beberapa hari ini.

Puluhan siswa siswi itu tidak sedikit yang harus telanjang kaki saat berangkat sekolah. Pun saat pulang. Mereka juga diantar oleh orang tuanya. Ada yang digendong, karena takut dan khawatir saat melintas. Ada juga yang hanya dipandu dengan digandeng tangannya saat menaiki tebing menuju setapak.

“Takutnya kalau pas nyeberang tiba-tiba banjir dan longsor datang,” kata Tiara Puja Lestari, siswi Kelas 4 di SDN 3 Kemuning, Selasa (21/02/2023).

Bukan tidak ada jalan alternatif lain menuju ke sekolah itu, tetapi jarak yang lebih dekat menjadi pertimbangan mereka. Juga lebih hemat waktu, karena jalan lainnya lebih jauh jika ditempuh dengan kaki.

“Kalau tidak lewat sini (longsoran), mau lewat mana? Mau memutar jaraknya sangat jauh, sekitar 10 kilometer,” ungkap Tiara.

Tidak sedikit adegan nyata, seperti terjatuh ketika anak-anak itu berjalan melintasi longsoran. Terutama saat hujan turun, atau setelahnya yang masih menyisakan basah. Bebatuan bercampur tanah itu jadi licin, sehingga ketika tidak waspada siapapun bisa terpeleset.

“Saat hujan. Karena buru-buru ke sekolah, pas menyeberang terpeleset batu hingga jatuh,” timpal Nefida Amelia Salsa, siswi lainnya menambahkan.

Warga menyebutnya, material longsor yang menyudahi jembatan itu, berasal dari lereng Gunung Ijo. Jembatan di wilayah itu ambruk diterjang banjir dan material longsor.

“Meski (sungai) kondisinya terjal dan curam, namun kami tetap nekat melewatinya. Sebab jembatan yang biasa dilewati sudah roboh akibat diterjang banjir dan longsor dari atas Gunung Ijo,” kata Sri Winarti (28), seorang warga setempat.

Dibangunnya kembali jembatan baru tentu menjadi harapan bagi warga di sana. Alasan sederhana dengan adanya jembatan baru, akan memulihkan apa yang sudah hilang.

“Sekarang kami terisolir. Sudah sepekan ini roda perekonomian, akses kesehatan, serta pendidikan warga terputus total. Kami berharap jembatan bisa dibangun kembali, di sini,” tukasnya. (Git/Kta/Red/TJ)

Subscribe

Terimakasih Telah Berlangganan Berita Teras Jatim