Profesi Wartawan, Ternyata Bisa ‘Njumbulno Wong’

Profesi Wartawan, Ternyata Bisa ‘Njumbulno Wong’

TerasJatim.com, Bojonegoro – Tadi malam, Sabtu (05/08/20) tanpa sengaja saya bertemu kawan dunia persilatan di sebuah kedai kopi (baca: warkop) wifi langganan. Sambil ngopi, biasanya di tempat ini saya ‘nunut’ internetan demi ngirit paket data pribadi di tengah pandemi.

Saking lamanya nggak jumpa, akhirnya kami pun ngobrol ngalor ngidul, semacam meretas masa lalu yang aduhai. Saling bertanya tentang kabar, tentang anak dan istri, juga tentang mantan serta aktivitas harian dan profesi terkini.

Saat bercerita tentang anak, istri dan mantan, kawan saya ini enjoy ‘ngguya-ngguyu’ ngakak. Ia mengaku punya dua anak, sulungnya sudah kuliah dan anaknya yang kedua di bangku SMK kelas 2 jurusan mekanik atau teknik mesin.

“Lha sama anakku juga dua, tapi isih cilik-cilik. Mbarepku cewek baru naik kelas 2 MTs, sing adik e cowok TK B,” jawabku saat ia menanyakan tentang anak-anak saya.

Namanya kawan akrab dan punya banyak cerita ‘jaman semono’, obrolan kami diwarnai banyak ketawa ketimbang seriusnya. Macam-macam kekonyolan masa lalu masih menancap di ingatan dia dan bikin ngakak.

Singkat cerita, saat kawan saya ini mengetahui kalau saya berprofesi sebagai wartawan, sontak dirinya berhenti pringisan. Ia pun mulai serius bahkan terlihat agak tegang dan bicaranya jadi rikuh.

“Tibak e sampean dadi wartawan to,” kata kawan saya dengan intonasi suara berat usai mencecap kopi memperjelas bernada tanya sambil matanya kriyep-kriyep.

Saya iyakan, dan coba balik bertanya kenapa ia terlihat kaget dan berubah tidak pecingisan lagi seperti pada awal ngobrol soal anak dan para mantan setelah mengetahui profesi saya adalah wartawan.

Sejurus kemudian kawan saya yang dulu ‘nggapleki’ ini bercerita, bahwa ia trauma dengan wartawan dan LSM. Ia mengaku ‘lempok’ karena belakangan ini hampir tiap hari dicari orang yang ngaku sebagai wartawan atau LSM.

“Lempok ngadepi, bendino digoleki terus karo wartawan, LSM sak pinunggalane. Eh yo yo, sampek mblenek aku, opo kok angger moto ngaku wartawan tapi omongane akeh sing gak nyambung, ujung-ujungnya duit,” kata dia yang kini menjadi ketua sebuah program di desanya tersebut.

Awal pegang program, kata kawan saya ini, ia kaget alang kepalang saat didatangi serombongan orang berpakaian seragam dengan tempelan tulisan bordir di dada lengan dan punggung komplit bagaikan sepanduk.

“Awal e njumbulno uwong. Ganas pokok e, sithik-sithik ngomong selaku media sithik-sithik selaku LSM dan nyalahno thok isine. Saya ada temuan di sini, ngunu wae gayane, tapi pas pamit njaluk bensin,” ujar dia membuat saya menahan tawa.

Kendati merasa kesal dan mblenek, kawan saya yang sejak sekolah dulu gak pernah masuk peringkat 10 besar itu mengaku tabah dan belajar bijak. Ia bersyukur akhirnya bisa membedakan mana wartawan atau LSM abal-abal dan mana yang asli.

“Ngelu tapi tak empet, kadang kudu ngguyu nek weruh modele para oknum tersebut. Masio biyen ra pinter, tapi aku saiki ngerti sing asli ambek sing ngaku-ngaku. Nek sing asli gayane nyantai koyo sampean, ora sithik-sithik nyalahno sithik-sithik ada temuan di sini,” papar dia yang sadar diri atas ketidakpintarannya sambil meringis kembali.

Saya pun mencoba bijak menanggapi keluhannya. “Sukses selalu kawan, jadilah tuan rumah yang bijak atas semua tamu yang datang bertandang. Ingat ya, bahwa profesi wartawan atau pegiat LSM itu mulia, hanya saja tetap ada oknum tidak bertanggung jawab yang mengotorinya,” pesanku.

“Satu yang pasti, kalau kamu bersih gak usah risih bila didatangi wartawan, LSM atau bahkan malaikat sekalipun. Santai saja, jawab kanti tegas dan lugas semua pertanyaan. Ra usah grogi, tapi yo suguhi kopi,” uraiku sembari berkelakar sebelum akhirnya kami bubar karena mendengar suara sholaa-sholaa.

*Saiq untuk semua

Subscribe

Terimakasih Telah Berlangganan Berita Teras Jatim