Mudik dan Mengingat Asal Usul

Mudik dan Mengingat Asal Usul

TerasJatim.com – Mudik atau pulang ke kampung asal, sudah menjadi tradisi yang melekat ketika lebaran tiba. Biasanya tradisi tersebut dilakukan oleh mereka yang merantau di suatu daerah yang terpisah dari orang tua di kampung asalnya.

Lantaran sudah dianggap sebagai ritual tahunan, tradisi pulang kampung ini menjadi momen berharga. Tak heran, berbagai tiket transportasi ke berbagai daerah sudah habis terjual tiga bulan sebelumnya.

Makna dari mudik, bisa jadi merupakan bentuk bakti seseorang kepada asal usulnya (orang tua). Sebab, meski harus menempuh perjalanan jauh, mereka berusaha untuk bisa sampai di kampung halaman sebelum saat Shalat Ied tiba.

Mereka ingin kembali merajut kenangan dengan segenap keluarga asal, teman masa kecil, karib main, dan suasana hidangan sederhana yang selama ini dirindukannya.

Dengan mudik, seseorang akan selalu mengingat masa lalunya. Dengan mudik, mereka menunjukkan upaya untuk mempererat hubungan kekerabatannya. Mudik mengingatkan akan pentingnya sebuah hubungan keluarga.

Selain itu, tradisi mudik bisa jadi sebagai momen yang mengingatkan bahwa mereka tidak boleh lupa akan asal-usulnya. Dengan mudik, mereka telah menyatukan kebhinekaan sosial, budaya, adat dan istiadat. Saling berbagi kisah dan pengalaman dari daerah rantaunya masing-masing.

Meski untuk sementara waktu, dengan mudik, mereka ingin melupakan ritus kehidupan yang serba praktis. Atmosfer urban di perkotaan, kerap menjadikan pergeseran sifat dan watak asli seseorang. Mereka menjadi lebih kaku, mekanis, dan kurang peka terhadap lingkungan.

Modernitas sebagai capaian utama kota-kota besar memberi jalan untuk mengesampingkan perasaan dan hanya mengutamakan pertimbangan logis. Imbasnya, alasan rasional kerap melunturkan sisi-sisi humanis dan berubah menjadi pragmatis.

Bagaimanapun, kehidupan kota merefleksikan pengaruh hedonisme dan materialisme.  Kota mewujudkan mimpi-mimpi semu dan artifisial orang-orang yang bernafsu menggapai kesuksesan.

Dengan mudik dan berkunjung ke desa, mereka berusaha meruntuhkan gejolak egoisme dalam diri. Hasrat individualistis yang sudah menjadi kebiasaan di kotanya, berusaha dipangkas sedemikian rupa. Di desa, mereka merajut kembali ikatan pertemanan dan kekerabatan mereka yang mulai memudar.

Kolektivisme orang desa mampu menundukkan kesombongan, pangkat dan kehormatan. Gairah kehidupan di desa menjadi alat untuk melepaskan jabatan, identitas formal, dan status sosial, meski hanya untuk sementara waktu.

Hanya di desa lah, mereka merasakan indahnya duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi. Sebab di desa lah tak akan ditemui kasta. Desa hanya memiliki kehidupan nyata yang dinamis dan penuh kasih sesama.

Dengan mudik, paling tidak dapat mengingat darimana asal usul kita.

Selamat Mudik, Selamat Iedul Fitri

Salam Kaji Taufan

(kajitaufan@terasjatim.com)

Subscribe

Terimakasih Telah Berlangganan Berita Teras Jatim