Makelaran

Makelaran

TerasJatim.com – Saya sedikit agak tergelitik ketika membaca tempo.co hari ini (11/10), di mana “mantan” korban lumpur lapindo sedang mempunyai hajatan syukuran atas dibayar lunasnya kompensasi kerugian yang dialaminya selama 9 tahun belakangan ini. Mereka saya sebut mantan, karena paling tidak mereka sekarang sudah bukan korban lagi, tapi “mantan” korban. Hehehe

Kabarnya syukurannya lumayan meriah. Selain urunan untuk nanggap dangdut-an, mereka juga tumpengan dan jagong nanggap wayang. Uniknya lagi, selain bersyukur kepada Tuhan YME, ucapan terima kasih mereka ditujukan “hanya” kepada pemerintah dalam hal ini Presiden Jokowi. Nama Lapindo, sama sekali tidak mereka pikirkan, apalagi disebut.

Saya bisa memahami bagaimana mangkel-nya perasaan mereka terhadap lapindo. Kita tentu masih ingat awal bencana yang menimpa mereka saat itu. Dari awal mereka yang menjadi korban lumpur berharap, agar permasalahan yang sebenarnya, yaitu uang ganti rugi segera dibayarkan secara cepat dan lunas. Agar mereka semua segera bisa menata masa depan hidupnya. Tapi nyatanya dalam perjalanan waktu selama 9 tahun dimasa penantian, mereka nelongso. Tentu tidak mudah bagi mereka untuk begitu saja melupakan perjalanan nasib hidupnya.

Banyak diantara mereka yang hidupnya sengsara dan menderita. Mereka dengan terpaksa ngamar di bedak-bedak pasar, di balai desa, gedung sekolah-sekolah dan banyak lagi yang harus “kuat malu” untuk nebeng di rumah sanak kerabatnya. Selama 9 tahun itu mereka terus menunggu kejelasan kapan hak mereka dibayar lunas.

Sekarang, lembaran baru telah digelar untuk memulai sebuah langkah kehidupan yang baru. Presiden Jokowi dan pemerintahannya dengan segala pertimbangannya, menggelontorkan uang APBN 2015 senilai hampir 800 milyar sebagai dana talangan yang harus dibayarkan oleh lapindo kepada mereka yang berhak. Dan dalam masa waktu yang telah ditentukan, lapindo harus mengembalikan uang rakyat itu beserta bunganya ke negara. Ibaratnya, lapindo diutangi dhisik. Kita meyakini proses dana talangan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah kepada korban lumpur lapindo, tentu sudah dikaji matang-matang.

Dari sisi sosial dan kemanusiaan, sebagai rakyat kecil tentu kita berbesar hati menerima kebijakan tersebut. Tapi yang harus diingat, uang senilai hampir 800 milyar itu, adalah uang rakyat yang seharusnya dibuat untuk kepentingan rakyat indonesia, dan bukan untuk dipinjamkan ke sebuah perusahaan atau pihak lain. Kita khawatir, hal ini akan menjadi sebuah preseden buruk di perjalanan bangsa ke depannya.

Jangan-jangan suatu ketika, ada perusahaan lain yang karena berbagai faktor,  harus memenuhi kewajibannya terhadap penduduk sekitar, kemudian pasrah bongkok-an mengaku tidak punya uang dan kemampuan untuk membayarnya. Kemudian karena alasan sosial dan kemanusiaan, pemerintah datang sebagai penyelamat dan dengan mudahnya kocek rakyat dibuat sebagai talangan.

Tentu masih teringat di memori kita bagaimana ruwet-nya pengembalian uang rakyat yang masih nyantol di kasus BLBI. Dengan alasan kepentingan rakyat yang lebih besar, uang rakyat dibagikan kepada bank dan pengusaha, layaknya obral “permen sewu telu”. Kita tidak menginginkan hal itu terulang kembali. Pola-pola perusahaan dan pengusaha yang maling duit rakyat seperti itu, seharusnya jauh-jauh hari diantisipasi.

Kedepannya, negara dan pemerintah harus mawas diri dan lebih teliti terhadap “keamanan investasi”. Pemerintah wajib pasang kuda-kuda pada konteks pengkajian seberapa mampukah kapasitas dan kredibiltas sebuah perusahaan yang akan berinvestasi. Jangan hanya mengejar tumbuhnya investasi, tapi pada kenyataanya mereka tidak cukup mampu jika investasinya sedang oleng mengalami nasib apes.

Kita sering mendengar nama-nama perusahaan yang dikondisikan bonafid,  besar dan multi internasional, tapi ujung-ujungnya  tak lebih dari sekedar makelar. Kita sering melihat pengusaha dan perusahaan yang awalnya memenangkan tender dan mengantongi ijin investasi, tapi pada kenyataannya mereka hanya mem-bisnis-kan ijin legalitas yang sudah dikantonginya.

Tentu kita berharap negara mempunyai kepedulian dan selalu berpihak pada nasib dan kepentingan rakyatnya secara keseluruhan. Seharusnya negara memberi ruang yang luas dalam hal keroyalan dana permodalan kepada para pengusaha-pengusaha kecil, kelas menengah, bakul melijoh di pasar-pasar tradisional, yang selama ini relatif  terbukti tidak mempunyai hobby ngemplangan. Jangan terbuai apalagi gumun dengan nama besar pengusaha atau perusahaan yang pada dasarnya hanya kelas “makelaran”.

Salam Kaji Taufan

Subscribe

Terimakasih Telah Berlangganan Berita Teras Jatim