Commitment Fee

Commitment Fee
ilustrasi

TerasJatim.com – Tulisan ini, seharusnya saya tulis pada Kamis (14/01) lalu. Namun, kebetulan saat itu waktunya berbarengan dengan peristiwa teror bom dan aksi penembakan di Sarinah Jakarta. Maka, keinginan nulis tulisan ini harus saya urungkan.

Nah, agar kita tidak lupa atau minimal kita gak hanya ngomongin soal kasus bom Sarinah saja, maka sengaja hari ini saya menulis tentang nasib “apes” yang kembali menimpa salah satu anggota DPR kita yang tertangkap tangan oleh KPK beberapa waktu lalu.

Saya menyebutnya “apes”, karena bisa jadi perilaku dan praktek korupsi di negeri ini masih banyak yang belum terungkap ke ranah publik.

Sekedar mengembalikan ingatan kita, bahwa Rabu petang (13/01) lalu, kembali Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap seorang anggota DPR RI wanita yang konon kata beberapa koleganya dikenal sebagai orang kaya dan mempunyai paras yang cantik. Dan dipastikan, anggota DPR yang “apes” tersebut diketahui berinisial DWP, yang berasal dari Fraksi PDIP yang tercatat sebagai anggota Komisi V DPR-RI.

Anggota DPR tersebut, kedapatan menerima suap dari seorang perantara pengusaha. Uang panas itu disinyalir sebagai commitment fee untuk melicinkan sebuah calon proyek infrastruktur pembangunan jalan di luar Pulau Jawa Tahun Anggaran 2016.

Saat ini, secara resmi anggota DPR tersebut beserta beberapa kroninya, sudah resmi memakai rompi orange yang merupakan pertanda bahwa mereka sudah ditetapkan sebagai tersangka serta ditahan KPK. Kini ruang tahanan KPK bertambah penghuninya dengan anggota DPR perempuan lagi.

Dengan kembali terulangnya peristiwa tersebut, publik layak untuk mengelus dada. Bagaimana tidak, belum hilang dari ingatan kita, seorang anggota wanita DPR-RI dari Fraksi Hanura (yang kini sudah dipecat) DYL, juga digelandang ke KPK karena kasus yang hampir sama. Belum lagi rombongan anggota DPRD Sumut dan Banten yang juga sudah dikerangkeng di sel tahanan KPK dalam kasus korupsi dan gratifikasi dengan modus yang berlainan. Belum lagi kehebohan kasus “papa minta saham” beberapa waktu lalu.

Publik mempertanyakan sejauh mana komitmen dan moralitas sebagian dari oknum pejabat yang katanya mendapat kepercayaan dan amanah dari rakyat tersebut. Publik bertanya-tanya, Kok gak kapok-kapoknya, mereka yang mengaku sebagai pejabat negara, masih saja ada dan terus bergiliran ketangkap basah sedang berpraktek sebagai calo dan makelar proyek anggaran duit rakyatnya. Tanpa sadar bahwa “hoby” memburu commitment fee bisa membawa celaka dirinya dan kehormatannya.

Mereka terus saja melakukan korupsi dengan cara dan modus yang berbeda. Ada yang memeras pejabat pemerintahan dan BUMN, ada juga yang dengan cara berjualan proyek pemerintah untuk mendapatkan komisi atau gratifikasi.

Mereka memanfaatkan segala kemudahan fasilitas dan jabatannya, menggunakan link dan fungsi mereka sebagai pejabat yang mempunyai kewenangan di bidang anggaran dan pengawasan, untuk mengeruk uang panas dan haram.

mafia anggaran

Semua memahami, bahwa uang negara yang bersumber dari APBN dan non APBN untuk pembangunan infrastuktur di era Presiden Jokowi ini luar biasa besarnya. Seharusnya mereka mengawasi penggunaan uang rakyat tersebut agar tepat sasaran dan tidak tercecer kemana-mana. Namun sayangnya, justru mereka tergoda untuk berjualan sekaligus sebagai makelar dari proyek-proyek pemerintah tersebut.

Mereka senantiasa mencari celah untuk berburu uang komisi dan gratifikasi dari duit proyek-proyek pemerintah tersebut. Semakin besar nilai suatu proyek tentu semakin besar uang yang diminta sebagai comitment fee mereka.

Bisa jadi, praktek komisi atau gratifikasi tetap subur hingga kini dan terus menjalar kemana-mana hingga ke daerah. Konon kabarnya, budaya seperti ini tak jarang masih dipelihara dan dikembangkan oleh mereka-mereka oknum yang mempunyai kekuasaan dan kewenangan dalam mengatur sebuah anggaran proyek.

Tak heran, jika budaya tersebut tidak hanya terjadi di tingkat pusat. Aroma di daerahpun hingga kini masih tercium dengan tajam. Ada dugaan kuat bahwa praktek commitment fee atau jualan proyek sudah lazim diberlakukan di sejumlah instansi dan lembaga pemerintah. Baik di tingkat pusat, provinsi dan kota/kabupaten. Jika ingin mendapatkan proyek, harus diawali dengan nego-nego besaran komisi.

Bahkan, bagi-bagi proyek yang menggunakan keuangan negara ini disebut-sebut dengan mudah diperoleh jika perusahaan rekanan, kontraktor penggarap, mempunyai ‘jaringan’ di oknum pemerintahan dan dewan pusat serta daerah.

Salam Kaji Taufan

Subscribe

Terimakasih Telah Berlangganan Berita Teras Jatim