Pasutri asal Ngadirejan Gugat BRI Pacitan dan Kantor Lelang Madiun, Ini Alasannya

TerasJatim.com, Pacitan – Lantaran dinilai serampangan dalam melakukan lelang atas jaminan, Bank Rakyat Indonesia (BRI) Kantor Cabang Pacitan dan Kepala Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Kota Madiun, digugat nasabah.
Gugatan itu dilayangkan oleh nasabah, yakni Mariyo dan Mira Agustini, pasutri asal Desa Ngadirejan, Kecamatan Pringkuku, Kabupaten Pacitan, Jatim, yang dikuasakan kepada Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pancasona, Lambang Windu Prasetyo, SH dan Partner’s.
Sebelum persoalan itu sampai ke meja persidangan, kedua belah pihak sudah beberapa kali melakukan mediasi, bahkan pihak penggugat sudah mendatangi kantor BRI dan juga tiap bulan masih berusaha untuk memenuhi kewajiban mengangsur. Hanya saja dalam mediasi itu nir hasil, sehingga pasutri tersebut ajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Kelas II Pacitan.
Pada sidang pertama bacaan gugatan yang dipimpin Ketua Majelis Hakim, Juanda Wijaya, SH., masing-masing pihak sepakat (tidak dibacakan) karena sudah menerima surat gugatan. Sehingga, sidang pada Rabu (11/06/2025) berlangsung ringkas, dan dilanjutkan pekan depan.
“Mediasi sudah. Di Pengadilan Negeri dua kali, di BRI Kantor Cabang Pacitan sekali, tapi kita tidak menemui titik temu, karena permintaan BRI terlalu berat. Dia menginginkan 50 persen dari pokok utang harus dibayar,” kata Lambang, Kuasa Hukum dari LBH Pancasona, usai sidang, Rabu siang.
“Pokoknya Rp.750 juta, berarti kan harus mempersiapkan Rp.375 juta. Itu kan bukan satu solusi. Maksud kita mediasi itu bisa menemukan win win solution, tapi pihak BRI kekeuh dan Pak Mariyo sendiri gak mampu membayar segitu, karena dari usahanya hanya mampu mengangsur sekitar Rp.1,5-2 juta, tapi tidak dikabulkan pihak bank,” lanjutnya.
Menurut Lambang, ketika pihak BRI menginginkan 50 persen, seakan mereka ogah berdamai. Permintaan separuh dari pinjaman pokok itu diakuinya sangat memberatkan kliennya.
“Selain menggugat perbuatan melawan hukum, kita juga mengirim surat kepada DPRD kabupaten dengan tembusan DPR RI, untuk audiensi. Semoga nanti ada jalan keluar dan BRI lebih melunak,” ujar Lambang.
“Jangan semena-mena seolah Pak Mariyo sudah melakukan wanprestasi, terus sewenang-wenang. Ini kan terkesan kejam. Rumahnya satu, dijadikan tempat usaha, di situ juga ada 5 orang pekerja yang cari penghasilan,” sambungnya.
Dia mengungkapkan, sebelum melakukan gugatan hingga saat ini, yang bersangkutan punya inisiatif untuk memenuhi kewajiban membayar angsuran. “Tiap bulan masih transfer, dimasukkan ke rekening titipan namanya, dan itu diakui juga oleh BRI,” ungkapnya.
Kronologi Pinjaman Nasabah Pasutri
Beberapa tahun silam, tergugat I atau BRI Kantor Cabang Pacitan menawarkan pinjaman kepada nasabah pasutri tersebut. Singkatnya, mereka tertarik, yang kemudian mengadakan perjanjian kredit RC (rekening koran) terhadap bank tersebut, dengan jaminan sebidang tanah dan bangunan dengan Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor: 240, dengan luas 1.086 M² (meter persegi), atas nama Mira Agustini (penggugat II), yang terletak di Dusun Mudal, RT 002, RW 003, Desa Ngadirejan, Kecamatan Pringkuku, Kabupaten Pacitan, Jatim.
Seiring berjalannya waktu, usaha yang dijalani Mariyo beserta istri ini memiliki prospek baik, sehingga petugas dari Tergugat I BRI Kantor Cabang Pacitan, kembali menawarkan untuk menaikan nominal pinjaman secara bertahap. “Pada saat itu klien kami ini menyetujui pinjaman tersebut, dikarenakan untuk mengembangkan usaha,” kata Eka Rizky Rasdiana, Kuasa Hukum lainnya dari LBH Pancasona.
Bencana Covid-19 pada 2020 lalu cukup membuat Mariyo dan istri berpikir ekstra, lantaran usaha mereka kembang kempis atau mengalami pasang surut, yang tak mudah untuk satu kata; bangkit. Namun demikian, untuk pembayaran angsuran mereka masih sanggup penuhi.
Kemudian pada 2023 lalu, mereka melakukan perpanjang perjanjian kredit dengan tergugat I, Nomor Perjanjian Kredit: 70 tertanggal 29-05-2023, dengan nilai pinjaman sebesar Rp.750 juta, berjangka waktu perpanjang setiap 12 bulan sekali, mulai Mei 2023 sampai Mei 2024, dengan membayar bunga sebesar Rp.7,5 juta. “Awalnya, klien kami ini ajukan pinjaman Rp250 juta, kemudian plafonnya ditambah jadi Rp500 juta dan terakhir jadi Rp750 juta,” ujar Eka.
Pada rentang waktu Juni-Desember 2023, nasabah pasutri itu masih melakukan pembayaran angsuran tepat waktu di tiap bulannya. Namun mulai Januari 2024, usaha toko sparepart dan bengkel mobil mereka mengalami kemunduran, sehingga tidak dapat memenuhi angsuran. “Di sini terjadi macet. Akhirnya dihitung beserta bunganya jadi Rp917 juta. Klien kami tiap bulan bayar (sesuai kemampuan) dan diakui juga. Tapi pihak bank kekeuh melelang,” jelasnya.
Bahkan, urai Eka, Januari hingga Agustus 2024, kliennya itu berusaha mempertahankan usaha tersebut, demi menyelesaikan pinjaman terhadap bank. Hanya saja, beberapa waktu kemudian petugas atau karyawan dari bank plat merah itu mendatangi rumah mereka.
Tuan rumah menerimanya dengan baik. Layaknya tamu yang dihormati. Namun, saat itu petugas dari bank tersebut melakukan tindakan diskriminatif, melalui lisan yang menusuk hati nasabah; objek tanah dan bangunan sebagai jaminan akan dilelang.
“Ucapan singkat itulah yang membuat nasabah tersebut minder dan merasa malu, maka dengan itu tergugat I telah melanggar ketentuan dan Undang-undang Perlindungan Konsumen,” imbuh Eka.
Pada Juni 2024 nasabah pasutri itu berusaha mengumpulkan pundi-pundi rupiah untuk mengangsur. Namun saat akan melakukan pembayaran melalui rekening pinjaman, tetapi rekening tersebut telah terblokir tanpa pemberitahuan dan sepengetahuan para penggugat. “Pada dasarnya klien kami masih mempunyai itikad baik untuk menyelesaikan pinjaman, walaupun masih dalam kesulitan ekonomi. Mereka membuat rekening titipan angsuran kepada Tergugat I, sehingga dapat mengangsur pinjaman dari Bulan September 2024 sampai April 2025 via transfer,” beber Yoga Tamtama Pamungkas, kuasa hukum penggugat lainnya.
Lelang dengan Harga Tak Wajar, Tergugat Terkesan Gegabah
Pada 15 April 2025, penggugat dapat surat pengumuman pertama lelang eksekusi hak tanggungan dengan harga limit Rp.917 juta. Lelang tersebut membuat mereka merasa terpukul karena objek itu masih digunakan untuk tempat mata pencaharian sehari-hari, sekaligus tempat tinggal dan tempat sejumlah karyawan mencari nafkah.
Perihal itu, pihak penggugat mengirimkan surat balasan kepada tergugat I, dengan harapan ada kebijakan dari pihak bank untuk membicarakan kondisi nasabah, serta harga yang ditetapkan dinilainya tidak wajar atau di bawah standart. Namun bak cinta bertepuk sebelah tangan, surat itu tidak jua dapat balasan, sehingga untuk mencari win-win solution masih mengambang tak bermuara.
“Pertimbangannya, penggugat adalah nasabah lama, serta masih sanggup bayar pinjaman kepada tergugat I. Namun surat itu tidak ada balasan,” kata Yoga.
Dengan adanya perintah dan/atau permohonan lelang yang dilakukan oleh tergugat I kepada tergugat II, maka Tergugat II melakukan penjadwalan pelaksanaan lelang atas jaminan SHM tersebut.
Dalam pelaksanaan lelang, urai Yoga, pihak tergugat tidak mementingkan penyelesaian hutang para penggugat, akan tetapi lebih mengedepankan pelaksanaan lelang dan penjualan aset nasabahnya. Terlebih menetapkan harga di bawah standart.
Hal ini, kata dia, sangat bertentangan dengan azas keadilan dan merupakan preseden buruk bagi pelaksanaan praktek perbankan di Indonesia, karena sangat merugikan para penggugat selaku nasabah, sehingga perekonomian yang dibangun berasaskan kekeluargaan tidak terlaksana sebagaimana Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 BAB XIV Pasal 33 Ayat (1).
Berdasarkan surat keterangan tanah Nomor: 594/97/408.62.06/2025, yang dikeluarkan oleh Kepala Desa Ngadirejan, Pringkuku, menyebutkan bahwa jaminan SHM atas nama Mira Agustini itu senilai Rp1.9 miliar lebih. “Dengan harga (lelang) tidak wajar itu, mengindikasi bahwa telah ada siapa pembelinya, seolah-olah pelaksanaan lelang tersebut dilakukan secara buru-buru tanpa mempertimbangkan hak-hak para penggugat,” ungkap dia.
“Ini terkesan, yang penting hutang penggugat terbayarkan. Ini sangat jauh dari keadilan, sehingga mengakibatkan kesewenang-wenangan. Hak Tanggungan hanya 50% dari total harga jaminan, maka pelaksanaan lelang dan eksekusi cacat hukum, harus dinyatakan batal demi hukum,” sahut Imam Rofingi, kuasa hukum lainnya.
Ditemui terpisah usai sidang, pihak tergugat dari Bank BRI Kantor Cabang Pacitan masih enggan ketika diminta tanggapan, dengan alasan belum dapat izin pimpinan untuk menjawab sederet tanya yang dilayangkan awak media.
“Konfirmasi, langsung ke pimpinan ya. Mohon maaf, kami belum dapat izin memberi tanggapan kepada media,” singkat kuasa hukum tergugat I. (Git/Kta/Red/TJ)