Lahan Pertanian Menyusut, Ketahanan Pangan di Jatim Terancam

TerasJatim.com, Surabaya – Ketahanan pangan di Provinsi Jatim berpotensi terancam. Hal ini akibat terus menyusutnya lahan pertanian dari tahun ke tahun. Kerapuhan sektor pangan ini menjadi perhatian serius dan harus segera diantisipasi melalui penegakan tata ruang yang konsisten.
“Ini peringatan serius bagi sektor pertanian kita. Langkah tegas untuk menghentikan pengurangan lahan pertanian harus segera dilakukan. Percuma saja program pertanian diintensifkan jika lahannya terus berkurang,” ujar Wara Sundary Renny Paramana, salah satu anggota DPRD Jatim, Senin (15/07/2025).
Menurut data yang diterima DPRD Jatim, konversi lahan pertanian produktif di Jatim masih terus terjadi, dengan rata-rata mencapai 5.212 hektare per tahun. Umumnya, lahan tersebut beralih fungsi menjadi kawasan perumahan, industri, dan jalan tol.
“Tanpa penguatan Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan (KP2B), pembangunan lumbung pangan desa, dan hilirisasi hasil pertanian rakyat, ketahanan pangan kita akan semakin rapuh,” katanya.
Ia menambahkan, sekitar 35% penduduk Jatim masih menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian. Namun di lapangan, implementasi tata ruang wilayah di sejumlah daerah seringkali tidak konsisten.
“Tata ruang harus dijalankan dengan konsisten untuk menopang ketahanan pangan. Setiap wilayah harus mempertahankan lahan untuk pertanian, peternakan, dan keberlanjutan pangan,” tegasnya.
Lebih lanjut, ia menekankan pentingnya pemberian sanksi terhadap pelanggaran tata ruang. “Harus ada sanksi yang ditegakkan. Jika tidak, lahan akan terus menyusut, dan masyarakat yang paling dirugikan,” tandas politisi asal Kediri tersebut.
Sementara, anggota DPRD Jatim lainnya, Ony Setiawan menambahkan, bahwa sejumlah program teknis sebenarnya telah dijalankan untuk menahan laju penyusutan lahan pertanian. Di antaranya melalui intensifikasi, tumpangsari, optimalisasi lahan pekarangan, hingga pemanfaatan lahan di sekitar hutan yang bekerja sama dengan Perhutani.
“Secara teknis itu sudah dilakukan di Pulau Jawa, khususnya di Jatim. Tapi jika lahannya terus dikonversi, maka wilayah hijau akan habis,” ungkapnya.
Sebagai contoh, Pemprov Jatim pada tahun 2024 mengoptimalkan sekitar 80 ribu hektare sawah dengan pola tanam IP400 (4 kali tanam setahun) di sejumlah daerah lumbung pangan, seperti Lamongan, Bojonegoro, Jember, Banyuwangi, dan Madiun.
“Ini langkah antisipasi. Tapi kalau RTRW daerah—baik kota maupun kabupaten—masih belum berpihak pada pertanian, ya habislah penopangnya,” katanya.
Selain menjaga lahan sawah, Ony juga menekankan pentingnya diversifikasi usaha tani, salah satunya melalui pengembangan peternakan, agar lahan non-sawah tetap produktif. Namun, menurutnya, akses terhadap bantuan ternak masih kerap terkendala birokrasi.
“Tidak semua lahan cocok dijadikan sawah, makanya bisa dialihkan dengan usaha peternakan seperti kambing, sapi, dan ayam. Tapi kenyataannya, untuk mendapatkan bantuan ternak sangat sulit di lapangan,” pungkas dia. (Jnr/Kta/Red/TJ)