Babak Awal Gugatan Pasutri asal Ngadirejan Terhadap BRI Pacitan dan Kantor Lelang Madiun

TerasJatim.com, Pacitan – Perkara gugatan pasutri di Pacitan, Jatim, terhadap Bank Rakyat Indonesia (BRI) Kantor Cabang Pacitan dan Kepala Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Kota Madiun, kini masuk sidang pembuktian dari penggugat.
Gugatan oleh Mariyo dan Mira Agustini, nasabah pasutri asal Desa Ngadirejan, Kecamatan Pringkuku, Kabupaten Pacitan, dikuasakan kepada Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pancasona, Lambang Windu Prasetyo, SH dan Partner’s.
Sidang yang berlangsung di Pengadilan Negeri Kelas II Pacitan, mulai pukul 13.30 WIB, terdapat sedikit kendala dari pihak penggugat, yakni perihal alat bukti berupa slip setoran pembayaran angsuran yang pudar. Sehingga majelis hakim belum menerima, dan menyarankan untuk meminta yang asli ke pihak bank, lalu disusulkan pada agenda sidang pekan depan.
“Ada kendala. Memang slip setoran dari BRI ini keasliannya mudah pudar, jadi belum bisa diterima,” kata Lambang, Kuasa Hukum dari LBH Pancasona, usai sidang, Rabu (09/07/2025). “Tadi petunjuk majelis hakim meminta untuk keasliannya ke bank BRI, dan nanti bisa disusulkan minggu depan tanggal 16 Juli. Memang kesempatan masih ada, beserta nanti juga dari pihak tergugat,” sambungnya.
Untuk alat bukti, lanjut dia, semua telah disiapkan. Hanya saja masih ada salah satunya yang belum dapat di unggah pada elektronic-court (e-Court), atau layanan pendaftaran perkara, taksiran panjar biaya perkara, dan pemanggilan secara online. “Untuk bukti semua sudah cukup. Cuma ada salah satu yang belum di upload. Ini kendalanya kadang kalau di e-Court itu, internet kurang baik juga berpengaruh terhadap upload,” terang Lambang.
Kuasa Hukum Penggugat Anggap Pihak BRI Kancab Pacitan Tak Manusiawi
Pada berita sebelumnya yang tayang di TerasJatim.com, dengan tajuk ‘Pasutri asal Ngadirejan Gugat BRI Pacitan dan Kantor Lelang Madiun, Ini Alasannya’, telah dijelaskan secara rinci bagaimana kronologi nasabah pasutri asal Desa Ngadirejan, Pringkuku, menggugat pihak bank. Hal ini tentunya sudah dilakukan mediasi, namun nirhasil.
“Nasabah ini (Mariyo) adalah nasabah aktif yang tiap bulan masih mengangsur, atau masih bertanggungjawab untuk berusaha membayar sampai lunas. Tapi pihak bank tetap menolak, dengan alasan prosedur,” kata Lambang.
Dalam hal ini, lanjut dia, pihak bank atau tergugat harusnya tidak selalu menilai kepada nominal atau perjanjian semata, tetapi lebih memikirkan rasa kemanusian dan sosial.
Menurutnya, permintaan pembayaran 50 persen dari pokok hutang dalam situasi ekonomi sulit, dianggapnya tidak realistis dan manusiawi. Tapi, hal itu justru menunjukkan kurangnya empati dari pihak Bank BRI kepada nasabah yang masih sanggup penuhi tanggungjawabnya: bayar angsuran.
“Kalau kita menilai dari peraturan, Pak Mariyo ini wanprestasi, jelas. Tapi dalam hal bermediasi untuk mencari win-win solution, itu pihak bank memberi solusi untuk membayar setengah dari sisa utang pokok. Di situ terlihat, bank ini terkesan malah memanfaatkan atau menekan, kalau tidak itu tidak boleh. Ini prosedur dia ya,” ungkapnya.
Seharusnya, kata Lambang, prosedur tersebut tidak boleh dipakai, karena pasti akan merugikan masyarakat kecil. Dari hal itu, ia meminta kepada lembaga peradilan untuk menentukan sikap. “Dan peradilan sendiri, pikirannya harus pisah menentukan sikap, atau menghapus prosedur-prosedur yang bisa merugikan rakyat kecil,” pintanya.
Pengadilan Negeri Kelas II Pacitan, adalah asa nasabah pasutri untuk mencari keadilan. Sehingga di peradilan ini, diharapkan tidak hanya mengacu pada suatu aturan atau penengah prosedur saja, tetapi harus memikirkan keadilan sosial. “Lembaga keadilan tidak boleh membiarkan suatu prosedur dari intitusi tertentu, yang dijadikan alat untuk menindas rakyat kecil yang berupaya dan masih membayar tiap bulannya, atau tidak lari dari tanggung jawab,” katanya.
“Harapan kami dan Pak Mariyo juga, ini bisa berdamai. Perdamaian itu kita sisipkan di majelis, dan nanti akan dijadikan akta van danding atau dijadikan lampiran, atau suatu hal di mana kita sudah berdamai dan ada suatu kesepakatan,” imbuh Lambang.
Kuasa Hukum Ulti BRI Kancab Pacitan: Kadang-kadang Pembohong Juga
Pada sidang pembuktian ini, kuasa hukum penggugat menilai pihak bank terkesan hanya berkiblat pada ketentuan hukum dan peraturan yang berlaku. Mungkin, bisa dibilang terkesan kaku dan tidak ada kebijakan yang merujuk pada keadilan sosial. “Untuk BRI ini kan terkesan ‘pokoke’. Dia hanya ngugemi (memegang) aturan perbankan saja. Kalau ngugemi itu ya keberatan. Masa BRI sudah kasih pinjaman, kemudian nanti ketika ada kekurangan bayar atau terlambat, langsung dilelang,” ungkap Yoga Tamtama Pamungkas, kuasa hukum penggugat lainnya.
Perihal itu, secara pribadi Yoga mengultimatum bank plat merah yang katanya bank rakyat, bank dengan slogan yang digaungkan ‘Melayani Dengan Setulus Hati’. Bahkan, secara terang-terangan ia menyebut pembohong.
“Ini ultimatum juga buat Bank BRI, secara pribadi. Katanya BRI bank rakyat. Penolong. Kadang-kadang ya pembohong juga. Si nasabah nggak dikasih tahu secara detail isi perikatan perjanjiannya. Tahu-tahu tanda tangan,” sebutnya.
Di satu sisi, Yoga kembali menegaskan, bahwa pada dasarnya yang bersangkutan tersebut masih punya itikad baik untuk bertanggungjawab menyelesaikan pinjaman. Niat tulus kliennya itu, kata dia, seharusnya jadi pertimbangan pihak bank untuk tidak buru-buru lelang jaminan.
Jaminan itu berupa sebidang tanah dan bangunan, dengan Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor: 240, luas 1.086 M² (meter persegi), atas nama Mira Agustini (penggugat II), yang terletak di RT 002, RW 003, Dusun Mudal, Desa Ngadirejan, Kecamatan Pringkuku, Kabupaten Pacitan.
“Rumahnya satu, dijadikan tempat usaha, dan ada 5 orang pekerja yang cari nafkah. Tiap bulan hingga sekarang, nasabah ini masih transfer (sesuai kemampuan), dimasukkan ke rekening titipan, dan diakui. Tapi pihak bank kekeuh melelang,” ujar dia.
Selanjutnya, pada agenda sidang pekan depan, tim kuasa hukum penggugat telah menyiapkan segala sesuatunya, baik bukti maupun keterangan dari saksi, dan akan dimaksimalkan sebaik mungkin. “Untuk sidang berikutnya, kami dari kuasa hukum sudah menyiapkan keterangan saksi. Itu sudah kami siapkan jauh-jauh hari. Jadi ke depan, mungkin kita akan maksimalkan di pembuktian dan kesaksian saja,” sahut Eka Rizky Rasdiana, Kuasa Hukum lainnya dari LBH Pancasona.
Ditemui usai sidang, pihak tergugat masih enggan memberikan tanggapan kepada media. Namun, merujuk hak jawab pada berita sebelumnya melalui Pimpinan Kantor Cabang BRI Pacitan, Yudika Hanafi, yang menegaskan bahwa pelaksanaan lelang merupakan bagian dari mekanisme penyelesaian kredit bermasalah.
Hal itu sudah sesuai ketentuan hukum dan peraturan yang berlaku, dengan merujuk pada ketentuan dari Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan.
Sejumput Asa Nasabah Pasutri Asal Ngadirejan Pacitan di Meja Hijau
Rabu siang, di bawah naungan ruang sidang Pengadilan Negeri Kelas II Pacitan, Mariyo dan Mira Agustini, nasabah pasutri asal Desa Ngadirejan, Kecamatan Pringkuku, Kabupaten Pacitan, Jatim, membawa sejumput asa di benak mereka atas gugatan yang dilayangkan kepada BRI Kancab Pacitan dan Kepala Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Kota Madiun.
Datang pada sidang pembuktian, mereka ingin memperjuangkan jaminan yang dilelang oleh pihak bank atau tergugat. Terlebih, jaminan itu masih jadi tempat berteduh, berbagi kisah, bertumpu, sekaligus jadi tempat sejumlah pekerja cari nafkah.
Dengan langkah penuh harap, pasutri itu bukan hanya membawa dua orang saksi, yakni karyawan dan kepala dusun setempat, namun mereka juga membawa sepucuk asa disertai doa yang dilangitkan agar apa yang diinginkan itu sampai di pintu pengabulan.
“Sidang dimulai dan dibuka untuk umum,” ucap Juanda Wijaya, SH, Ketua Majelis Hakim, sembari mengetuk palu, Rabu (09/07/2025).
Terlihat, Mariyo dan Mira Agustini menatap dengan seksama bagaimana proses persidangan berlangsung. Seolah mereka tak ingin melewatkan satu momen dari rentetan rangkaian yang terjadi di meja hijau.
Sesekali, keduanya nampak saling bersitatap. Seakan kedua pasang bola mata mereka bercengkerama, yang mungkin untuk saling menguatkan hati.
Hanya saja, sidang tersebut berjalan begitu ringkas. Palu kembali diketuk, dan bersambung pada pekan depan. Sejenak, keduanya menghela napas panjang, melepas sesaat apa yang menempel di benak.
“Sidang ditutup, dilanjutkan minggu depan tanggal 16 Juli 2025,” tutup pimpinan sidang.
Sekadar diketahui, pinjaman nasabah itu tercatat Rp750 juta yang berjangka waktu perpanjang setiap 12 bulan sekali, mulai Mei 2023 sampai Mei 2024, dengan membayar bunga sebesar Rp.7,5 juta.
Secara singkat, Mariyo, penggugat I menceritakan, awalnya ia ajukan pinjaman Rp.250 juta, kemudian plafonnya naik jadi Rp.500 juta, dan terakhir bertambah menjadi Rp.750 juta, atau lebih rinci lagi bisa dilihat pada berita sebelumnya.
Mulai Januari 2024, usaha toko sparepart dan bengkel mobil yang dijalaninya surut, sehingga Mariyo tidak dapat memenuhi angsuran. Beberapa waktu kemudian, pihak bank menghitung beserta bunganya jadi Rp.917 juta. Ringkasnya, jaminan itu akhirnya dilelang dan sampailah perkara itu ke peradilan, usai mediasi nirhasil.
Hingga Juli 2025 ini, Mariyo mengakui kondisi perekonomian belum bisa dibilang stabil. Namun, ia masih sudi mengangsur kepada bank BRI sesuai kemampuannya, yakni sekitar Rp.1,5 juta. “Kredit saya ini bukan macet. Tapi tiap bulan saya masih bayar, sesuai dengan kemampuan saya,” ucap Mariyo, kepada TerasJatim.com, usai sidang.
“Di pengadilan negeri inilah yang saya harapkan bisa menolong rakyat kecil. Ini (PN Pacitan) harapan terakhir kami, karena mediasi-mediasi pada waktu itu belum diterima sama BRI,” ungkap dia.
Mariyo membeberkan, selain di BRI, persoalan serupa juga dialaminya dengan bank lain, yang juga bank plat merah. Namun, kata dia, bank tersebut memperlakukan nasabahnya tidak seperti di BRI. “Di bank lain ada, tapi perlakuannya tidak seperti (BRI) ini. Walaupun waktu itu tidak ada keputusan tertulis, tapi setelah surat peringatan pertama, kedua, ketiga, itu dipanggil, dan dari pihak BNI meminta untuk mengembalikan sesuai kemampuan saya,” katanya.
“Nominal utang saya itu masih sekitar Rp.400 juta sekian. Tapi dengan keadaan ekonomi saya saat ini BNI mau mengerti, sesuai kemampuan saya,” sambung dia.
Berkaca dari persoalan ini, ia bertanya-tanya kenapa sesama bank milik pemerintah tetapi beda perlakuan. Untuk itu, Mariyo pun berharap bisa diperlakukan serupa seperti di BNI, atas hutangnya di BRI. “Kenapa sama-sama bank BUMN, di BNI bisa di BRI tidak. Harapan saya sebetulnya bisa seperti itu (di BNI). Jadi, saya memberikan garis limit minimal Rp.1,5 juta tiap bulan,” ujar dia.
“Bilamana ada rezeki lebih, akan saya berikan tambah (nominal angsuran). Namanya orang usaha, kadang hari ini tidak ada, tapi besok ada rezeki, dan saya prioritaskan untuk pengembalian utang saya,” tukasnya. (Git/Kta/Red/TJ)