Tujuh Hal Yang Perlu Anda Ketahui Tentang Pilkada Serentak Hari Ini

Tujuh Hal Yang Perlu Anda Ketahui Tentang Pilkada Serentak Hari Ini
ilustrasi

TerasJatim.com, Surabaya – Hari ini, Rabu  (09/12), Indonesia menyelenggarakan pemilihan serentak dengan cakupan nasional. Namun, tahukah Anda bahwa Pilkada 2015 bukan pemilihan kepala daerah serentak pertama? Berikut tujuh hal yang patut Anda ketahui soal Pilkada 2015.

Bukanlah pilkada serentak pertama

Pilkada serentak sesungguhnya sudah pernah diselenggarakan di Indonesia, namun dalam cakupan provinsi.

Tahun 2006, pilkada serentak diadakan di seluruh Aceh yang meliputi pemilihan gubernur dan kepala daerah di 19 kabupaten/kota.

Empat tahun berikutnya, pilkada diselenggarakan di 17 kabupaten/kota di Sumatera Barat secara bersamaan.

Tetapi memang, dalam konteks skala, Pilkada 9 Desember 2015 merupakan yang pertama kali diadakan dengan cakupan nasional. Pilkada kali ini berlangsung dengan tahapan pemilihan dan hari pencoblosan yang bersamaan untuk 269 pemilihan kepala daerah, yang terdiri dari 9 tingkat provinsi–pemilihan gubernur; 30 kota–pemilihan wali kota; dan 224 kabupaten–pemilihan bupati.

Hanya dua provinsi yang tak ikut serta

Seluruh 269 pemilihan kepala daerah itu berlangsung di 32 dari 34 provinsi Republik Indonesia. Hanya dua provinsi yang tak ikut menyelenggarakan Pilkada 2015. Keduanya kebetulan daerah khusus, yakni DKI Jakarta, dan Aceh -alias Nangroe Aceh Darussalam.

DKI adalah provinsi dengan lima kota administrasi dan satu kabupaten administrasi -Kepulauan Seribu. Namun para wali kota dan bupati merupakan pembantu gubernur, yang tidak dipilih melalui pemilihan langsung, tapi ditetapkan gubernur.

Sedangkan Aceh baru akan melangsungkan Pilkada pada 1 Februari 2017.

Pemilu serentak sepenuhnya akan berlangsung 2027

Pilkada serentak sepenuhnya, baru akan benar-benar berlangsung di seluruh Indonesia pada 2027 mendatang.

Sebelum itu akan berlangsung dua pilkada serentak yang parsial, yang mencakup beberapa daerah saja. Pertama, Pilkada 17 Februari 2016 yang melibatkan 99 daerah. Selanjutnya, Pilkada Juni 2018 yang melibatkan 180 daerah.

Pilkada serentak tak bisa langsung diselenggarakan untuk seluruh wilayah Indonesia karena sebelumnya pemilihan berlangsung pada waktu yang berbeda-beda, sehingga akhir masa jabatan para bupati/walikota dan gubernur berbeda-beda pula.

Menurut keputusan Mahkamah Konstitusi, masa jabatan tidak boleh dipotong sehingga pengaturan dilakukan bertahap. Adapun bagi kepala daerah yang masa jabatannya berakhir menjelang 2027 nanti, dia akan digantikan pejabat kepala daerah hingga berlangsungnya Pilkada Serentak 2027.

Selain pilkada, sebelum pemilihan serentak pada 2027 mendatang, akan ada pemilihan legislatif (pileg: DPR, DPRD-I, DPRD-II), dan pemilihan presiden pada 2019.

Pilkada hanya berlangsung satu putaran

Sebelum Pilkada 2015, pilkada dua putaran dimungkinkan. Ketentuannya meenyebutkan suatu pasangan calon dinyatakan memenangkan Pilkada jika mendapatkan suara terbanyak dengan perolehan sedikitnya 30% dari suara yang sah. Jika tak ada yang mendapatkan suara 30%, maka diselenggarakan pemungutan suara putaran kedua dengan diikuti dua pasangan calon yang paling banyak mendapatkan suara.

Dalam ketentuan yang mulai berlaku di Pilkada 2015, peraih suara terbanyak langsung dinyatakan sebagai pemenang pemilihan kepala daerah, berapapun persentase perolehan suaranya.

Suara langsung dikirim ke kecamatan

Tak ada lagi penghitungan di PPS/Kelurahan. Jadi hasil penghitungan suara di TPS akan langsung dikirim ke Kecamatan dan setidaknya ada satu rantai penghitungan suara yang dipangkas. Berarti dipapas pula satu peluang kecurangan, manipulasi, dan berbagai masalah lain.

Sejumlah kegiatan kampanye dibiayai negara

Berbeda dengan pemilihan-pemilihan sebelumnya, sejumlah kegiatan kampanye kali ini dibiayai negara. Antara lain iklan media cetak dan elektronik, debat terbuka antar calon, penyebaran bahan kampanye, dan pemasangan alat peraga. Karena itu, kendati pilkada serentak berimplikasi dan bertujuan efisiensi, namun anggaran negara meningkat karena harus membiayai berbagai hal yang dulu diongkosi oleh para calon sendiri.

Tak ada sanksi pidana bagi politik uang

Tentu saja politik uang, seperti menyogok, memberikan imbalan, dan membeli suara, dilarang. Ini tegas disebutkan dalam UU No. 8/2015 yang menjadi dasar bagi Pilkada 2015 ini.

Tetapi, berbeda dengan pelanggaran-pelanggaran ketetentuan lain yang ditetapkan sanksi pidananya oleh UU ini, tak ada ketentuan tentang sanksi pagi pelanggaran ketentuan tentang politik uang.

Jadi kalaupun ada yang tertangkap basah membagikan uang, menyuap, dan sebagainya, tidak ada ketentuan tentang hukuman bagi para pelaku itu.

Peluang yang tersisa untuk menghukum pelaku politik uang addalah pidana dengan KUHP.

“Tetapi prosesnya jauh lebih lama, dan tak dibatasi tenggat waktu,” kata Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokras Perludem, Titi Anggraini.

Belum lagi proses banding, kasasi dan sebagainya sehingga bisa jadi seorang pelaku politik uang yang terpilih sebagai kepala daerah bisa menuntaskan lima tahun masa jabatannya dan proses hukumnya masih terus berlanjut karena belum juga memiliki kekuatan hukum yang tetap.

Subscribe

Terimakasih Telah Berlangganan Berita Teras Jatim