Tradisi ‘Bubur Suro’ 10 Muharam, Ini dia Asal Usulnya

Tradisi ‘Bubur Suro’ 10 Muharam, Ini dia Asal Usulnya

TerasJatim.com, Bojonegoro – Pada awal tahun baru Hijriyah, tepatnya pada tanggal 10 Muharam alias Asyura, umat Islam di pelbagai daerah berlomba-lomba melaksanakan ibadah sunah diantaranya; puasa, sedekah, menyantuni anak yatim dan memakai celak. Bahkan ada yang mentradisikan sedekah dengan menu Bubur Suro.

Nah, apakah Bubur Suro itu? Dari mana dan bagimanana asal usulnya?

Dilansir dari laman nu.or id, ‘Bubur Suro’ diambil dari kata Asyuro, yaitu bubur yang komposisinya dari berbagai macam biji-bijian, mulai dari beras putih, beras merah, kacang hijau dan beberapa lagi jenis biji-bijian yang kemudian semuanya dimasak menjadi bubur, kemudian dimakan bersama keluarga, juga dibagikan kepada anak-anak yatim dan orang tak mampu, serta mereka yang sedang tidak melaksanakan puasa, atau dimakan saat berbuka puasa.

Tradisi membuat bubur Suro ini bila ditelusuri dalam sejumlah kitab klasik memiliki kemiripan dengan yang pernah dilakukan Nabi Nuh dan kaumnya. Keterangan ini bisa dilihat dalam kitab I’anah Thalibin karya Abu Bakr Syata al-Dimyati juz 2/267 disebutkan:

Allah mengeluarkan Nabi Nuh dari perahu. Kisahnya sebagai berikut: sesungguhnya Nabi Nuh ketika berlabuh dan turun dari kapal, beliau bersama orang-orang yang menyertainya, mereka merasa lapar sedangkan perbekalan mereka sudah habis.

Lalu Nabi Nuh memerintahkan pengikutnya untuk mengumpulkan sisa-sisa perbekalan mereka. Maka, secara serentak mereka mengumpulkan sisa-sisa perbekalannya; ada yang membawa dua genggam biji gandum, ada yang membawa biji adas, ada yang membawa biji kacang ful, ada yang membawa biji himmash (kacang putih), sehingga terkumpul 7 (tujuh) macam biji-bijian.

Peristiwa tersebut terjadi pada hari Asyura. Selanjutnya Nabi Nuh membaca basmalah pada biji-bijian yang sudah terkumpul itu, lalu beliau memasaknya, setelah matang mereka menyantapnya bersama-sama sehingga semuanya kenyang dengan lantaran berkah Nabi Nuh.

Sedangkan keterangan dalam kitab Badai’ al-Zuhur karya Shaikh Muhammad bin Ahmad bin Iyas al-Hanafy , halaman 64 disebutkan:

Imam Tsa’laby berkata, perahu Nabi Nuh mendarat sempurna di sebuah gunung tepat pada tanggal 10 muharam atau hari Asyuro, maka Nabi Nuh melakukan puasa pada hari itu dan memerintahkan kepada kaumnya yang ikut dalam perahunya untuk melakukan puasa pada hari asyuro sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah.

Dikisahkan pula bahwa seluruh hewan yang ikut dalam perahu Nabi Nuh juga melaksanakan puasa. Kemudian Nabi Nuh mengeluarkan sisa perbekalan selama terapung dalam kapal, memang tidak banyak sisa yang didapat.

Kemudian Nabi Nuh mengumpulkan sisa biji-bijian itu, ada tujuh macam jenis biji-bijian dan jumlahnya tidak banyak, kemudian disatukan dan dijadikan makanan. Selanjutnya biji-bijian yang dimakan pada hari itu, yakni 10 Muharram, menjadi kebiasaan Nabi Nuh dan disukai.

Mengacu dari keterangan tersebut, maka tradisi yang berkembang di tengah masyarakat berkaitan dengan membuat bubur Suro itu ada landasannya. Jadi tidak sembarangan melakukan atau mengada-ada. Kisah yang berkaitan dengan Nabi Nuh ini juga disebutkan dalam kitab Nihayatuz Zain 196. (Saiq/Red/TJ)

Subscribe

Terimakasih Telah Berlangganan Berita Teras Jatim