Sudah 9 Tahun, Perampas Kamera Wartawan di Surabaya Belum Juga Dieksekusi

Sudah 9 Tahun, Perampas Kamera Wartawan di Surabaya Belum Juga Dieksekusi
Foto: Slamet Maulana alias Ade

TerasJatim.com, Surabaya – Kasus perampasan kamera wartawan di Surabaya pada Oktober 2012 silam, hingga kini belum kelar. Terdakwa juga belum menjalani hukumannya, meskipun Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya telah menjatuhkan pidana penjara selama 7 bulan.

Seperti diketahui, peristiwa itu dialami oleh Slamet Maulana, wartawan tabloid Panji Nasional (tempat bekerja dulu), saat meliput insiden tabrak lari yang terjadi di Jalan HR Muhammad, Surabaya. Pelaku (perampasan kamera) diketahui seorang wanita, bernama Irine Madalena, warga Simokerto, Kota Surabaya.

Saat dihubungi TerasJatim.com, Slamet Maulana, pria yang akrab disapa Ade ini mengatakan, bahwa kasus yang menimpanya itu hingga kini belum tuntas. Bahkan, ia tidak mengetahui apakah putusan tersebut sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht) atau belum.

“Ini seperti penegakan hukum terbentur dengan tembok administratif. Sembilan tahun kasus ini tidak selesai, apakah sudah inckracht atau belum,” ujarnya, melalui pesan WhatsApp, Jumat (27/08/21).

Sebelumnya, lanjut Ade, jaksa mengaku telah menerima surat pemberitahuan putusan Pengadilan Tinggi Jawa Timur pada 5 Januari 2018, tetapi terdakwa belum juga dieksekusi dengan alasan belum menerima relaas tersebut. “Padahal menurut Pengadilan Negeri Surabaya, baik jaksa maupun terdakwa sudah menerima relaas itu,” katanya.

Berdasar pengetahuannya, 14 hari sejak relaas itu diterima, harus sudah ditentukan apakah mengajukan memori kasasi (upaya keberatan atas putusan Pengadilan Tinggi ke Mahkamah Agung) atau tidak. Jika tidak, terdakwa harus menjalani hukuman yang sudah ditetapkan.

“Jika ada dalih memori kasasi yang dilakukan belakangan ini, patut dicurigai ada indikasi permainan. Faktanya, tidak ada Kasasi yang diajukan selama periode waktu pasca vonis pengadilan tinggi pada akhir November 2017,” sebut Ade.

“Putusan pengadilan tinggi itu, jika keterangan Pengadilan Negeri Surabaya bisa dipercaya, maka tidak ada kesempatan lagi Kasasi. Jika demikian segera saja dieksekusi. Jika tidak, maka akan menjadi insiden buruk bagi penegakan hukum di Indonesia,” sambungnya.

Pengadilan, kata dia, dengan tegas telah memutuskan pidana penjara tujuh bulan kepada terdakwa. Namun, ia menilai hukuman yang diberikan tersebut tidak maksimal. Lantaran ada denda Rp500 juta sebagaimana disebutkan dalam UU Nomor 40 Tahun 1999 Pasal 18 Ayat 1 tentang pers, tidak dijadikan pertimbangan oleh majelis hakim.

“Aparat masih ragu menerapkan denda Rp500 juta sebagaimana disebutkan pada UU Pokok Pers. Kami melihat, Kejari dan PN Surabaya saling lempar. Saya sebagai warga negara yang mencari keadilan, meminta para pakar bicara soal ini. Rakyat jangan dibodohi,” imbuh Ade, yang juga selaku Ketua Komunitas Jurnalis Jawa Timur (KJJT).

Dihubungi terpisah, Humas Pengadilan Negeri Surabaya, Martin Ginting SH, MH, tidak banyak memberi tanggapan atas hal tersebut, meski TerasJatim telah mengajukan beberapa pertanyaan. Pihaknya, hanya menyarankan untuk menghubungi Kejaksaan Negeri (Kejari) Surabaya. “Kalau eksekusi putusan jadi kewenangan kejaksaan mas. Coba ke kejaksaan saja nggeh,” ucap Ginting, Jumat sore.

Dihubungi di waktu berbeda, Kepala Seksi Pidana Umum, Kejari Surabaya, Farriman Isandi Siregar, SH, MH, menngatakan, perkara atas nama terdakwa Irene Madalena sudah ada putusan banding Pengadilan Tinggi (PT) Surabaya dan Jaksa Penuntut Umum (JPU) sudah menerima relaas putusannya.

“Iya, sudah terima relaas putusannya, namun masih belum dieksekusi, karena setelah JPU koordinasi dan cek ke PN Surabaya, terdakwa/PH masih belum terima relaas putusan dari panitera. Sehingga JPU masih menunggu sikap terdakwa, apakah terdakwa terima atau kasasi atas putusan PT tersebut setelah menerima relaas putusan,” terang Fariman, via WhatsApp, tanpa menyebut kapan waktu menerima relaas putusan.

Jika dilihat dari kacamata praktisi hukum, tanggapan atas kasus tersebut hanya tinggal eksekusi saja. Hal itu seperti diutarakan oleh I Wayan Titib Sulaksana, Praktisi Hukum Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, setelah menyimak sejumlah ulasan yang diberikan TerasJatim.com.

Ia mengatakan, setelah Majelis Hakim PN Surabaya sudah memberi vonis kepada terdakwa atas pelanggaran UU Pers, menurutnya tidak ada masalah atas hal itu, selain tinggal eksekusi. Di samping itu, pihaknya menyarankan untuk melaporkan kembali dengan yang kasus berbeda.

“Ya dilaporkan lagi perampasan dan pengerusakan kamera. Untuk pelanggaran UU Nomor 40 tahun 2009 tentang pers sudah divonis 7 bulan, yo wis tinggal eksekusi putusan PT Jatim, yo enggak ada masalah,” tulisnya, melalui pesan WhatsApp yang diterima TerasJatim.com, Jumat malam.

Sementara itu, Danur Suprapto, SH, MH, seorang praktisi hukum di Pacitan menambahkan, kasus tersebut merupakan obstruction of jurnalism atau perbuatan yang secara tegas dapat dinyatakan menghalang-halangi kegiatan jurnalis. Tentunya ada pasal pidana dan denda, sebagaimana yang tertera pada UU Pers.

“Kalau kita masuk secara detail, bisa dikembangkan lebih dalam lagi atas tindakan pidananya yakni obstruction of jurnalism dan ditambah merusak barang bukti serta barang milik orang lain. Ini ada tambahan juncto pasal ancamannya, jadi tidak main main. Bahkan dalam perbuatan perdata juga kena yakni perbuatan melawan hukum (PMH), yang diatur dalam Pasal 1.365 Undang-Undang Hukum Perdata,” terang Danur, kepada TerasJatim.com.

Sedangkan terkait tidak segera dilakukannya eksekusi terhadap terdakwa, pihaknya meminta untuk tegas ketika putusan itu sudah inkracht. “Ya harus tegas ketika putusan sudah inkracht dan tidak ada upaya hukum berikutnya, maka sepatutnya segera dilakukan eksekusi,” katanya.

Disoal terkait vonis pidana penjara 7 bulan yang diberikan majelis hakim dan tidak dimaksimalkan dengan denda sebesar Rp500 juta, seperti yang disebutkan dalam UU Pers, pihaknya belum bisa memberi komentar banyak, sebelum mengetahui isi gugatan dan salinan putusan secara utuh. “Saya belum bisa komentar banyak soal itu, karena dalam persidangan tidak hanya merujuk satu UU pers saja, namun banyak,” tukasnya. (Git/Kta/Red/TJ)

Subscribe

Terimakasih Telah Berlangganan Berita Teras Jatim