Kelangkaan Pupuk di Setiap Masa Tanam Padi, Petani Tak Ubahnya Jadi Sapi Perah
TerasJatim.com, Bojonegoro – Tiap kali masa tanam (MT) padi tiba, selalu saja mengalami persoalan yang sama. Kelangkaan pupuk atau paling tidak terjadi hilangnya pupuk dari peredaran.
Begitu terus dan nampaknya akan terus begitu, menjadi instrumen kegelisahan petani mata rantai ekonomi paling bawah.
Kali ini pun tak jauh berbeda. Di sejumlah tempat, misalnya Kecamatan Kedungadem, Kepohbaru, Sugihwaras, dan bisa jadi mungkin merata di seluruh Kabupaten Bojonegoro, yang para petaninya kini tengah menanam padi mengalami persoalan akan pupuk.
Ada saja problemnya. Mulai dari hilangnya pupuk SP dari peredaran hingga tersendatnya kebutuhan urea dan yang terus menjadi persoalan adalah meroketnya harga pupuk lantaran kelangkaan tersebut.
Mengamati pergerakan pupuk yang lagi diburu petani saat MT itu, maka tak keliru rasanya bila sejumlah pihak menduga bahwa kelangkaan dan/atau meroketnya harga pupuk itu merupakan ‘modus’ untuk sarana menangguk untung berlebih dari pihak-pihak yang mematikan nurani demi memenuhi pundi-pundi.
Ya memang, di banyak tempat para petani mengatakan: “Wis to, harga berapapun nggak masalah yang penting pupuk tersedia dengan lancar,” demikian ungkapan di warung-warung kopi akibat kesulitan pupuk yang dialaminya.
Pada persoalan pupuk, tak jarang petani diposisikan sebagai sapi perah semata. Tak lebih hanyalah pelengkap penderita dan bukan sebagai raja seperti rumus market yang menyebut pembeli adalah raja.
Bahkan yang terlanjur menjadi kebiasaan, tak sedikit pula petani harus menitipkan uang cash dulu ke kelompok tani atau kios pupuk resmi hanya sekadar untuk memperoleh pupuk yang mestinya sudah diplot untuknya.
Sehingga secara tidak langsung, para petani inilah yang ‘mbandhani‘ kios-kios resmi untuk menebus pupuk yang disubsidi pemerintah itu.
Celakanya, walaupun sudah titip uang cash, tak jarang mereka malah tidak kebagian pupuk yang telah didroping distributor.
Usut punya usut, ternyata diduga ada modus saling lempar pupuk antar kios menyeberang ke lokasi di luar area yang telah ditentukan sebelumnya.
Lebih celakanya lagi, banyak di antaranya yang menjual pupuk subsidi dengan harga non subsidi.
Sayang, meski telah menjadi rahasia umum, modus permainan culas pupuk subsidi ini sulit untuk diungkap dan diproses hukum. Sebab, mungkin karena pada posisi kepepet, para petani yang mestinya bisa melaporkan kecurangan itu ke pihak berwenang justru cenderung menutup-nutupinya.
“Wong cilik, sing penting oleh garem (pupuk, red) lak uwis, emboh teko ndi barange. Larang yowes, sing penting iso nggarem,” celetuk petani saat dipancing agar melaporkan mahalnya harga pupuk.
Alhasil, jika petani berperilaku demikian tentu akan menjadi bulan-bulanan para ‘pemain pupuk’ yang dapat dipastikan akan terus berlangsung setiap masa tanam tiba.
Petani akan terus menjadi sapi perah dan terus diperah setiap masa tanam tiba.
Harus ada tindakan kongkrit pemerintah untuk memutus dugaan praktik permainan kotor pupuk ini. Harus ada tim semacam saber pungli atau apalah namanya guna mengawasi dan menata ulang sistem distribusi dan peredaran pupuk subsidi dari hulu hingga hilir, dari produsen hingga ke tangan petani.
Jangan sakiti petani dengan menjadikan mereka sebagai sapi perah. Jangan jadikan petani hanya sebagai pelengkap penderita lantaran permainan culas pupuk bersubsidi demi kantong pribadi.
Ingat, makmurnya petani akan mampu menggerakkan roda ekonomi pelaku usaha lainnya. Semoga. (Moch Nurul Saiq/TerasJatim.com)