Indeks Kualitas Lingkungan Hidup Turun 1,63 Poin, Pacitan Butuh Lokal Hero Keahlian Ikhlas

Indeks Kualitas Lingkungan Hidup Turun 1,63 Poin, Pacitan Butuh Lokal Hero Keahlian Ikhlas
Foto: TPA di Dadapan, Pringkuku, Pacitan, (Git/TJ)

TerasJatim.com, Pacitan – Secara umum tingkat pencemaran lingkungan di Kabupaten Pacitan Jatim, masih tergolong aman, meskipun nilai Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) di tahun 2021 turun hampir 2 poin dari tahun sebelumnya.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Pacitan, nilai IKLH pada tahun 2021 dengan target 73,31 hanya tercapai 71,68 (menggunakan rumus yang lama) atau turun 1,63 poin dibanding tahun 2020 lalu, yaitu 72,89.

“Kalau pencemaran kita tidak bisa bicara keseluruhan. Hanya spot by spot, misal di spot (titik) ini dalam kondisi pencemaran, di spot lain belum tentu. Tapi kalau secara umum sesuai indeks kualitas air dan udara, kita (Pacitan) masih kategori aman,” kata Yoni Kristanto, Kepala Bidang Penataan dan Penataan Lingkungan, DLH Pacitan, di ruang kerjanya, Kamis (03/02/2022).

Pemerintah pusat, lanjutnya, dalam menggambarkan kondisi suatu daerah yakni dengan IKLH, yang nilai-nilainya harus dipenuhi melalui uji laboratorium. “Jadi kita tidak bisa ngomong, misal sungai, udara, tercemar. Tidak bisa. Bisanya ya harus ada bukti uji laboratorium. IKLH (Pacitan) ini masih jauh lebih bagus dari pada IKLH nasional,” terangnya, tanpa menyebut nilai IKLH nasional.

Yoni menjelaskan, adapun faktor yang mempengaruhi penurunan nilai IKLH tersebut adalah penurunan Indeks Kualitas Air (IKA). Dilihat dari data angka, DLH Pacitan mencatat nilai IKA pada 2021 dengan target 50,5 hanya tercapai 47,5 atau turun 2,5 poin dibanding tahun 2020 lalu yang memasang taget 50, nilai yang dicapai juga 50.

Penurunan IKA ini, sambungnya, dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti tidak sedikit industri kecil maupun besar yang membuang limbahnya ke sungai. Kemudian sampah masuk ke area atau ke aliran sungai, dan terdampak bencana 2017 lalu yang sebagian lahan belum tertutup tanaman, sehingga rawan longsor yang sedimennya ke sungai.

“Di 2021 ini dari hasil uji laboratorium, ada kandungan fosfat sama coli (Escherichia coli atau E. coli). Jadi, di dalam air yang kita sampling untuk uji lab, itu ada kandungan fosfat sama coli. Itu ada di segmen tengah, kalau tidak salah di Tegalombo,” sebutnya.

“Cuma masalahnya kita tidak tahu pastinya. Bisa jadi kalau fosfat itu saat kita sampling, kondisi hulu terjadi erosi. Kemudian coli, saya yakin ini dari ulah kita sendiri, warga masyarakat, karena coli itu bakteri yang hidup di dalam saluran pencernaan makhluk hidup. Kemungkinannya, kalau tidak orang buang air besar sembarangan, ya dari limbah ternak,” sambung Yoni.

Meski nilai IKA turun, kata dia, namun untuk nilai Indeks Kualitas Udara (IKU) pada 2021 mengalami kenaikan 0,04 poin dibanding tahun sebelumnya. DLH Pacitan mencatat, nilai IKU pada 2020 dengan target 87,5 tercapai 91,85 dan di 2021 target 84,5 nilai yang dicapai 91,89. “Sedangkan untuk nilai Indeks Kualitas Tutupan Lahan (IKTL), pada 2020 dan 2021 dengan target yang sama 72,42, juga memperoleh nilai sama, yakni 75,80,” paparnya.

Namun demikian, DLH terus melakukan upaya dalam meningkatkan kualitas lingkungan hidup. Dari segmen IKA, pihaknya juga berupaya agar bagaimana air yang masuk ke badan air (sungai, danau, waduk, embung) sebisa mungkin sudah diolah, baik dengan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) untuk industri, dan Sistem Pengelolaan Air Limbah (SPAL) untuk rumah tangga.

“Kalau udara (IKU), Insya Allah sudah lebih safe (aman) dengan progam-progam konservasi (pelestarian). Kita tahu, semakin banyak kita tanam maka semakin kita kaya akan oksigen,” terangnya.

Di samping itu, pemkab setempat juga mendukung para kelompok masyarakat, organisasi maupun komunitas yang terus bergerak dalam hal memperbaiki kualitas lingkungan, mulai dari pengolahan sampah, pemberdayaan, bersih-bersih masal, reboisasi maupun lainnya. “Kita suport. Ini yang sebenarnya kita harapkan. Jadi, kalau masalah limbah, sampah, itu diserahkan sepenuhnya pada kita pemerintah, hancur kita. Sumber daya kita sehebat apapun, terbatas,” ungkapnya.

Dukungan tersebut, bukan hanya ucapan semata. Selain menumbuhkan agar bagaimana masyarakat itu bisa menjadi pionir (pelopor) di lingkungannya sendiri, pihaknya juga mengaitkan dengan perusahaan-perusahaan tentang Corporate Social Responsibility (CSR), agar bersinergi dengan masyarakat.

“Perusahaan ini selalu kita tanya. CSR mu piye (bagaimana). Maksud kami ketika CSR itu masuk ke masyarakat, lokal hero (pahlawan lokal) ini juga bisa sinergis. Kemudian pengelolaan bank sampah, dan itu juga butuh lokal hero, karena ngurusi seperti itu kalau tidak keahlian-keahlian ikhlas, ya angel (sulit),” imbuhnya.

Jika dilihat dari kelompok masyarakat, organisasi maupun penggiat lingkungan, juga tidak sedikit telah memberikan kontribusi dalam menjaga, memberi edukasi maupun memperbaiki kualitas lingkungan.

Di Desa Wonosidi, Kecamatan Tulakan, Kabupaten Pacitan misalnya, sejumlah kelompok masyarakat yang menamakan dirinya Manggala Wonosidi, telah melakukan kegiatan mengolah sampah berbasis ekonomi sirkular sejak 2019 lalu. Salah satunya mengolah sampah plastik menjadi bahan bakar minyak (BBM) setara solar, minyak tanah dan premium.

Dikutip dari TerasJatim.com dengan judul “Atasi Persoalan Sampah Plastik, Desa Wonosidi Pacitan Ubah Plastik Jadi BBM Setara Premium” dijelaskan bahwa dalam pengolahan sampah plastik menjadi BBM tersebut cukup sederhana. Bahkan, telah dilalukan uji laboratorium.

“10 kilogram plastik yang bagus, itu akan keluar yang setara solar 5,5 liter, untuk minyak tanah 1,5 liter dan setara premium sekitar 2 liter. Untuk premium setelah uji laboratorium di UNIBRA, kadar oktannya 88,” kata Yuli Triyatman, Ketua Umum Manggala Wonosid, dikutip dari TerasJatim.com, Kamis (04/03/21).

Namun, menurut Webri Veliana, Ketua Umum Greenwave NGO, perkembangan pelaksanaan pengelolaan sampah berbasis ekonomi sirkular di Desa Wonosidi tersebut sejauh ini belum mencapai apa yang ditargetkan, yaitu pemilahan sampah dari rumah oleh setiap rumah tangga, serta daur ulang sampah yang intensif skala desa.

“Kami akui tidak mudah mengubah kebiasaan yang telah dimiliki oleh masyarakat sejak puluhan tahun. Terlebih di masa pandemi ini masyarakat dalam kondisi “survival” (bertahan hidup), mereka lebih fokus pada peningkatan ekonomi dibandingkan hal-hal lain, termasuk pengelolaan sampah,” ungkap Webri, melalui pesan WhatsApp yang diterima TerasJatim.com, Jumat (04/02/22) sore.

Meski demikian, Manggala Wonosidi bersama Greenwave NGO terus konsisten berkegiatan dalam mendorong masyarakat untuk terus melaksanakan pengelolaan sampah secara baik dan benar. “Mengingat kebiasaan lama masyarakat ini sudah ada sejak puluhan tahun lalu. Idealnya upaya kami akan baru terasa setelah 3-5 tahun. Dengan adanya pandemi ini, mungkin akan lebih lama,” urainya.

Webri menambahkan, kegiatan pengelolaan sampah berbasis ekonomi sirkular di Wonosidi (dengan memakai metode Greenwave), secara resmi sudah diagendakan oleh Pemerintah Kabupaten Pacitan berkolaborasi dengan Greenwave NGO, untuk direplikasi di desa-desa lain di Pacitan pada tahun 2021-2031. “Ini sudah masuk agenda Smart City Pacitan,” imbuhnya.

Sementara itu, upaya dalam memperbaiki kualitas lingkungan hidup dari sisi komunitas penggiat lingkungan, juga memiliki peran yang tidak kalah penting dalam hal itu. Salah satunya seperti yang dilakukan oleh Komunitas Gugah Reresik Pacitan (Guritan).

Upaya yang dilakukan oleh komunitas itu diantaranya melalui kegiatan world cleanup day, workshop, seminar, pelatihan (baik mengadakan sendiri maupun undangan dari pihak lain) dan sebagainya. “Peran kami dari komunitas, baru sebatas edukasi. Memberikan contoh dari perilaku kami dalam kehidupan sehari-hari, sehingga dapat menjadi inspirasi,” kata Anita Bidaryati, Ketua Guritan, sekaligus mengawasi Trash Hero dan Seasoldier Pacitan, Jumat (04/02/22).

Selain itu, pihaknya juga berusaha menyebarkan informasi terkait edukasi maupun kegiatan di bidang yang dinaunginya, baik melalui media sosial atau dengan kegiatan langsung yang melibatkan banyak orang. “Kami juga berkolaborasi dengan banyak pihak. Kalau pendampingan dari Guritan, pernah kami lakukan di Bank Sampah Poko, Pringkuku. Itu sampai tahun 2019. Setelah itu belum lagi, karena kesibukan foundernya,” ungkapnya.

Ke depan, ia berharap upaya pengendalian sampah ini harus lebih masif lagi. Di sisi lain, Anita juga menyarankan bahwa Pacitan sudah saatnya memikirkan tentang konsep zero waste cities (kota tanpa sampah), serta mendukung tumbuhnya inisiatif pengelolaan sampah.

“Saran ke depan, Pacitan sudah harus mikirin konsep zero waste city. Serta mendukung tumbuhnya inisiatif pengelolaan sampah di wilayah Pacitan. Karena yang sudah terjadi, bank sampah di Pacitan ini sebagian besar top down, yang akhirnya mandek karena kurangnya pendampingan. TPS3R juga banyak yang tidak aktif, ini harus segera diputus siklusnya karena bertahun-tahun masih begitu saja,” pungkas Anita. (Git/Kta/Red/TJ)

Subscribe

Terimakasih Telah Berlangganan Berita Teras Jatim