Harta Tahta Wanita Plus Narkoba

Harta Tahta Wanita Plus Narkoba

TerasJatim.com – Rasanya tidak berlebihan jika banyak orang menyebut bahwa Indonesia sedang memasuki fase “darurat narkoba”. Bisa jadi itulah dua kata yang tepat untuk menggambarkan bagaimana perkembangan narkoba di tanah air saat ini.

Betapa tidak, kini hampir seluruh lapisan masyarakat sudah dicemari oleh kabar penyalahgunaan narkoba. Narkoba, dianggap sudah menyebar dan berada di lingkungan kelas sosial manapun, baik di tingkat pejabat pusat dan daerah, aparat penegak hukum, terlebih masyarakat sipil dan rakyat akar rumput.

Penangkapan Bupati Ogan Ili Sumsel,  Ahmad Wazir Nofiandi yang menghebohkan publik awal pekan lalu, sebenarnya hanyalah cerita yang biasa terjadi.

Publik meyakini, narkoba sudah mengalir jauh ke setiap lorong termasuk ruang dan bilik pemangku kekuasaan. Kasus penangkapan oknum pejabat dan aparat yang terjadi selama ini, merupakan puncak dari gunung es atas kasus narkoba itu sendiri.

Bahkan, Badan Narkotika Nasional (BNN) menduga, bahwa elemen vital masyarakat termasuk pejabat dan aparat di luaran yang masih belum tertangkap, lebih banyak lagi. Kabarnya mereka  yang sudah terkontaminasi dan gandrung memakai narkoba, masih seabrek.

Malahan, institusi pimpinan Komjen Buwas tersebut memberikan signal kuat, bahwa setelah menangkap Bupati Ogan Ilir (OI), Ahmad Wazir Nofiandi Mawardi, BNN juga mengincar sejumlah nama pejabat daerah lain yang kerap menggunakan narkoba.

Saya berkeyakinan, publik akan mendukung upaya BNN untuk menghajar siapa saja yang bermain-main dengan penyalahgunaan narkoba, seperti halnya publik yang terus mendukung upaya KPK dalam  memberantas korupsi.

Bisa jadi, musuh utama rakyat sekarang bukan hanya sekedar korupsi dan terorisme semata, namun narkoba kini merupakan musuh besar yang harus diperangi bersama oleh bangsa ini. Kerusakan yang ditimbulkan oleh dampak buruk narkoba, kini sudah sangat dipahami oleh masyarakat.

Saya jadi teringat kata yang sempat disuarakan oleh mantan Deputi Perdana Menteri Malaysia, Anwar Ibrahim, dalam sebuah kuliah umumnya beberapa tahun lalu. Saat itu Datuk Anwar mengakui adanya fenomena tentang masalah godaan harta, tahta dan wanita, yang kemudian ditambahi dengan narkoba di lingkungan para pemilik kekuasaan, termasuk di Malaysia sendiri.

Ajaran dan filosofi Jawa tentang harta, tahta dan wanita, jauh hari terus didengungkan sebagian besar kakek buyut kita, agar kita menjaga tiga ‘TA’ menjadi sebuah anugerah terindah di bumi. Apabila kita tidak kuat menahannya, maka abugerah tadi akan berubah menjadi sebuah aib dan bencana.

Dalam ajaran tiga ‘TA’ tersebut, seharusnya setiap orang terlebih pejabat dan pemimpin di muka bumi ini memahami arti perbedaan antara anugerah dan musibah.

Banyak yang beranggapan, sebagian dari oknum pejabat kita masih doyan mengumbar syahwat harta, tahta dan wanita. Sementara, narkoba biasanya datang menyusul, ketika mereka sudah berada dalam pusaran tiga ‘TA’ tadi.

Ketika tiga ‘TA’ yang tidak disikapi sebagai sebuah anugerah, keinginan selanjutnya adalah mencoba ingin mencicipi “surga”. Konon kabarnya, narkoba bisa membawa penggunanya berhalusinasi untuk terbang melayang-layang ke “surga”. Narkoba, bagi mereka dijadikan sarana untuk merasakan nikmatnya “surga sesat”.

Dahulu, penyalagunaan narkoba umum dilakukan bagi mereka yang berada di dunia artis dan selebritis. Dengan alasan stamina dan inspirasi, para artis top hampir dipastikan mengenal berbagai macam jenis narkoba.

Namun sejalan dengan wolak-walike jaman, pejabat kita sekarang justru lebih lagi dalam bergaya hidup. Kadang tingkah polah mereka melebihi artis dan para pesinetron.

Dengan alasan sosialisasi dan lobi-lobi, tak jarang mereka mulai menggemari dunia malam yang  gemerlap. Dari situlah pusaran harta, tahta dan wanita bermain. Sebab dari dugem di dunia malam lah, yang kemudian mereka mulai dekat dan mengenal narkoba.

Ironis memang, pejabat yang setiap harinya digaji dengan uang rakyat, dipandang sebagai seorang imam dan pemimpin, bukannya menjadi teladan dan panutan yang baik bagi rakyat yang dipimpinnya. Justru mereka malah menjerumuskan dirinya sendiri termasuk martabat dan harga dirinya, ke dalam lembah hitam tiga ‘TA’ plus narkoba.

Namun sayangnya, hal tersebut terus terjadi dan terulang kembali tanpa yang lain mau bercermin diri.

Bisa jadi hal ini berkembang karena budaya lemahnya hukum dalam mengadili seorang tokoh dan pejabat.

Konon, jika terjadi kasus kejahatan termasuk narkoba yang dilakukan penguasa, aparat hukum termasuk pengadilan yang digelar hanyalah sekadar formalitas semu belaka.

Harusnya, para pejabat ini dikenakan sanksi yang lebih berat lagi mengingat kapasitasnya sebagai aparat dan pamongnya masyarakat.

Salam Kaji Taufan

Subscribe

Terimakasih Telah Berlangganan Berita Teras Jatim