Gertakan Freeport

Gertakan Freeport

TerasJatim.com – Hampir 50 tahun sejak berdiri pada 1967 lalu, Freeport diasumsikan sebagai kekuatan besar sebuah korporasi yang menguras kekayaan alam Indonesia, utamanya di wilayah dataran tinggi Kabupaten Timika, Papua.

Publik yang sebagian memang kurang mengetahui ikhwal dan sejarah panjang tentang Freeport, menganggap bahwa perusahaan asing asal Amerika itu demikian kuat lantaran ditopang oleh sebuah kekuatan politik, tak terkecuali elit politik negara asing.

Cerita tentang Freeport kadang menggelitik siapapun untuk mendengar bagaimana kehebatannya dalam menjalankan operasional tambangnya selama itu.

Namun sayangnya, lebih dari empat dekade melalui dua kontrak karya (1967 dan 1991), pergantian enam presiden, dua undang-undang yang mengatur pertambangan dan puluhan peraturan pendukungnya, publik hanya mendengar cerita sepotong-sepotong, bahwa kontrak karya yang selama ini berjalan dianggap hanya merugikan negara.

Terlepas dari itu semua, beberapa hari terakhir, Freeport kembali jadi bahan pergunjingan nasional. Setelah kasus ‘Papa Minta Saham’, kini ada kisruh baru yang bisa dianggap serius.

Pangkal masalahnya, Freeport membutuhkan kepastian dan stabilitas untuk investasi jangka panjangnya di Tambangnya, Grasberg, Papua. Sedangkan pemerintah menginginkan kendali yang lebih kuat atas kekayaan sumber daya mineral yang terkandung di dalam bumi pertiwi.

Beberapa waktu lalu, pemerintah telah menyodorkan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) kepada Freeport sebagai pengganti Kontrak Karya (KK). Jika tak mau menerima IUPK, Freeport tak bisa mengekspor konsentrat tembaga. Dan ujungnya, kegiatan operasi dan produksi di Tambang Grasberg itu pasti terganggu.

Dalam hal ini, Freeport menolak keinginan pemerintah yang diatur dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Padahal, kesepakatan itu telah dibahas pada 2015 lalu.

Padahal sebelumnya antara pemerintah dan Freeport dikabarkan telah menyepakati, terkait perubahana Kontrak Kerja (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang telah diatur pemerintah dalam UU Nomor 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Ke empat atas Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.

Namun, belakangan Freeport menampik hal itu, pasca pemerintah melarang melakukan aktivitas ekspor mineral konsentrat pada Jumat (17/01/2017) kemarin, lantaran Freeport belum juga membangun pabrik pemurnian pertambangan atau smelter di tanah air.

Tak ingin dianggap masuk angin, pemerintah dikabarkan tengah memberikan dua pilihan alternatif bagi Freeport, yakni yang pertama, merubah KK menjadi IUPK dengan memberikan diveestasi 51 persen untuk negara secara bertahap setelah 10 tahun memasuki masa produksi. Jika menjadi pemegang IUPK, Freeport tentu harus segera melepas 51% sahamnya karena sudah puluhan tahun berproduksi. Ketentuan ini ada dalam Pasal 97 PP 1/2017.

Sementara pilihan kedua, tetap berstatus KK tanpa merubah menjadi IUPK dengan syarat membangun smelter dan tidak diizinkan mengekspor bahan konsentrat sebelum melakukan pemurnian di Indonesia terlebih dahulu.

Dengan kebijakan pemerintah itulah, Freeport dikabarkan ogah, dan mengancam akan mengambil jalur hukum melalui arbitrase internasional. Bisa jadi karena merasa kepentingannya mulai terancam, Freeport pun mulai pasang kuda-kuda dengan mengklaim akan menghentikan operasinya dan mengancam merumahkan ribuan karyawannya.

Tentu, sebagai orang yang tidak begitu paham tentang permasalahan Freeport yang seutuhnya, sebagai warga negara, kita terus mendorong pemerintah untuk mengambil kebijakan yang bukan hanya sekedar menguntungkan negara, tapi juga dapat menyejahterahkan rakyatnya. Kita berharap pemerintah tak takut dengan ancaman Freeport yang menjadikan isu merumahkan ribuan karyawannya menjadi tameng untuk menguntungkan dirinya.

Terhadap perkembangan situasi saat ini, diharapkan pemerintah sebagai pemegang amanah UUD 45 Pasal 33, tetap konsisten menjalankan fungsinya sebagai regulator, serta memastikan kegiatan usaha pertambangan di Indonesia tetap berjalan dengan baik, sehingga bangsa ini akan menjadi tuan di tanahnya sendiri seutuhnya.

Publik sekedar mendengar, jika selama ini Freeport hanya memberikan beberapa persen saja kepada negara. Terakhir pada tahun 2014 lalu, Freeport menyepakati untuk memberikan 30 persen sahamnya kepada Indonesia setelah tidak adanya titik-temu bagi kedua belah-pihak.

Padahal, sejak lama pemerintah telah mengusung skema divestasi kepada Freeport agar memberikan sahamnya sebesar 51 persen bagi negara. Namun kenyataannya hal tersebut tidak diindahkan oleh Freeport.

Selain itu, larangan pemerintah terkait aktivitas ekspor konsentrat tanpa melakukan pemurnian terlebih dahulu merupakan tindakan yang sangat merugikan negara. Faktanya, dari sekian banyak konsentrat yang dieskpor, negara hanya kebagian ampasnya. Dengan alasan itulah, pemerintah bersikukuh agar Freeport tetap mambangun smelter di Indonesia.

Beruntung, publik mendengar jika pemerintah akan tetap berpegang pada aturan yang sudah dikeluarkannya. Ini dilakukan agar Freeport dan pemerintah memiliki jalan tengah yang tidak melanggat peraturan perundang-undangan. Sebab jika mengacu pada UU, Freeport semestinya tidak lagi mendapatkan izin ekspor konsentrat sebelum dia menuntaskan kewajibannya membangun smelter di Indonesia.

Kini, publik menunggu hasil konkret yang akan diputuskan pemerintah terkait tentang kegaduhan baru dengan Freeport. Selama ujung dan hasilnya untuk kemakmuran rakyatnya, tentu publik Indonesia akan berdiri di belakang pemerintahnya.

Salam Kaji Taufan

Subscribe

Terimakasih Telah Berlangganan Berita Teras Jatim