Festival Air Pacitan, Sajikan Pengalaman Baru Hingga Tampilan Penari Asal Mexico

Festival Air Pacitan, Sajikan Pengalaman Baru Hingga Tampilan Penari Asal Mexico

TerasJatim.com, Pacitan – Festival Air Pacitan kembali digelar. Event kali ini, menyuguhkan pengalaman baru bagi penonton. Mereka tak hanya terlibat, namun juga turut merasakan degub paling debar.

Festival Air Pacitan 2025 tentang ritual resik kali (sungai), merupakan helatan yang ketiga diselenggarakan di Kali Bendung Sidoluhur, Desa Sukoharjo, Kabupaten Pacitan, Jatim.

Sungai, dalam denyut kehidupan pedesaan, bukan sekadar aliran air yang memberi kesuburan tanah dan menghidupi pertanian, bukan pula hanya penyedia kebutuhan rumah tangga atau jalur ekologi yang menghubungkan ragam makhluk. Ia adalah nadi alam, cermin kebudayaan, sekaligus simbol keberlangsungan hidup yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Pada dirinya, terpantul keterikatan manusia dengan alam: sungai dipahami bukan semata-mata lanskap geografis, melainkan ruang hidup yang harus dijaga, dimaknai, dan dirawat dengan penuh kesadaran.

Di Desa Sukoharjo, Pacitan, sungai hadir sebagai pusat kehidupan sekaligus ruang sakral. Masyarakat meneguhkan ikatan itu melalui ritual resik kali. Apa yang tampak sebagai kerja bakti membersihkan sungai, sejatinya adalah pernyataan ekologi—sebuah praktik kolektif yang mengingatkan bahwa sungai adalah sumber kehidupan, sekaligus ekosistem yang mesti dirawat demi keberlanjutan anak cucu.

Ritual resik kali, diketahui menjadi satu rangkaian kehidupan kultural masyarakat Sukoharjo, yaitu ritual tetek melek, suwukan pari, dan entas-entas. Semua lahir dari tradisi agraris yang syarat simbol dan makna, mengikat siklus pertanian dengan doa kesejahteraan, serta menghubungkan manusia dengan leluhur, dalam jalinan penghormatan yang lestari.

Bupati Pacitan, Indrata Nur Bayuaji, menyatakan rangkaian ritual tersebut menghadirkan gambaran tentang masyarakat di Desa Sukoharjo yang meniti harmoni antara manusia, alam, dan dimensi spiritual.

“Kegiatan yang diinisiasi bersama komunitas Song Meri ini bukan sekadar jejak budaya, tetapi juga strategi ekologis, yang di dalamnya terbuka ruang refleksi bahwa nilai-nilai kearifan lokal: menjaga lingkungan, merawat kehidupan sosial, sekaligus meneguhkan keberlanjutan peradaban desa,” kata Mas Aji, sapaan Bupati Pacitan, Rabu (24/09/2025).

Diketahui, festival tahun ini memiliki tiga bentuk kegiatan, di antaranya kirab gethek atau perahu kecil dari bambu. kegiatan ini merujuk pada arak-arak gethek, yang dimulai dari Balai Desa Sukoharjo menuju pinggiran sungai. Peserta dari kegiatan ini terdiri empat dusun, yakni Dusun Ngrejoso, Jarum, Prambon, dan Dusun Nitikan, yang masing-masing membawa gethek. Arak-arakan didahului dengan atraksi drumband anak-anak desa dan hadrah dari kelompok pelajar.

Kemudian, pertunjukan di darat atau di tepi sungai. Pertunjukan ini terdiri dari area pentas pada sisi kiri dan kanan sungai. Peserta penampil pada kegiatan pertunjukkan di darat adalah ibu-ibu gamelan kaca, siswa PAUD, pelajar Sekolah Alam Pacitan, guru-guru komunitas HIMPAUDI Kecamatan Kebonagung, Gejog Lesung Kriyan Pacitan, Gipya n Friend’s, Hadrah Senandung Kolbu. Namun sebelum acara pementasan, diawali ritual memetri doa bersama, tumpengan, dan pelepasan gethek ke sungai untuk memulai aktivitas resik kali.

Selanjutnya pertunjukan di sungai, yang menampilkan tiga penari yakni, Ayu Kusuma Wardhani (Solo), Rani Iswinedar (Pacitan), Yuliana Mar (Mexico). Didukung composer Joko Porong (Surabaya), Komunitas Mantra Gula Klapa (Hanom Satrio-Solo), Johan Adiyatma (Pacitan), Indrata Nur Bayuaji (Pacitan), Andi Alfian Mallarangeng (Jakarta), Pranoto Ahmad Raji, Kus Hervica, Misbahuddin, Song Meri (Pacitan), Jarot BD (Sutradara-Solo).

Menurut Mas Aji, ritual resik kali di Desa Sukoharjo merupakan titik temu antara praktik ekologis, simbolisme budaya, dan kesadaran masyarakat dalam menjaga harmoni antara manusia, alam, dan spiritualitas.

Ia mengemukakan, gagasan pada event ini adalah membalik peran penonton. Dalam event terdahulu, festival resik kali, penonton berada di darat (tepi sungai) atau jembatan, sementara pertunjukan arak-arakan gethek berada di sungai. Artinya, penonton menempati posisi yang aman dan stabil. Pada festival kali ini, posisi penonton dibalik, ia berada di atas gethek dan melihat pertunjukkan di sekelilig sungai. Dalam posisi ini, penonton ditempatkan di atas media yang bergerak, cair, dan tidak stabil.

“Gagasan ini menciptakan pengalaman tubuh yang berbeda. Penonton merasakan langsung dinamika air, arus, bahkan sedikit rasa cemas atau kegembiraan. Sehingga menghadirkan keterlibatan rasa secara fisik maupun psikologis,” ungkapnya.

“Juga, dalam kondisi ini penonton yang ada di atas gethek menjadi subyek yang ditonton oleh penonton lain di daratan. Penonton tidak lagi menjadi pasif, melainkan merasakan keterlibatan secara langsung atau ikut larut dalam peristiwa pertunjukan,” imbuhnya.

Sebagai informasi, pada event ini Bupati Pacitan bersama Andi Alfian Mallarangeng, membacakan puisi karya Presiden RI Ke-6 Susilo Bambang Yudoyono, secara bergantian, dengan judul ‘Hari Lalu Anak Pacitan’. Puisi ini menyiratkan metafora tentang anak sebagai idiom tradisi, masa lalu, dan generasi penerus masa datang. (Git/Kta/Red/TJ)

Subscribe

Terimakasih Telah Berlangganan Berita Teras Jatim