Emak-Emak di Gresik Protes Soal Pengurusan SIM, Ini Kata Dirlantas Polda Jatim

Emak-Emak di Gresik Protes Soal Pengurusan SIM, Ini Kata Dirlantas Polda Jatim

TerasJatim.com, Bojonegoro – Menanggapi protes seorang ibu bernama Marita, terkait pengurusan SIM di Satpas Satlantas Polres Gresik, Dirlantas Polda Jatim, Kombes Pol M. Taslim, angkat bicara.

BACA JUGA: https://www.terasjatim.com/anak-tak-lulus-tes-sim-hingga-13-kali-emak-emak-di-gresik-wadul-ke-kapolri/

Taslim mengatakan, terkait viralnya video keluhan tersebut, pihaknya akan menindaklanjutinya dan segera membentuk tim bersama Itwasda dan Bid Propam guna melakukan pendalaman.

“Saya Dirlantas Polda Jatim tentunya ikut bertanggungjawab, meskipun pelayanan itu di Polres Gresik. Saya menyatakan permohonan maaf atas kegaduhan ini,” ungkapnya saat di Bojonegoro, Rabu (02/08/2023).

Taslim menjelaskan, pada prinsipnya Polri tidak alergi dengan kritik yang sifatnya membangun. Namun demikian, sambung dia, kritik yang disampaikan dari elemen masyarakat atau siapapun harus yang konstruktif.

“Jika ada nuansa tidak sesuai dengan fakta, hal itu menjadi persoalan yang menimbulkan opini yang negatif,” ujarnya.

“Kasihan teman-teman karena polisi ini kan seluruh Indonesia. Kasihan juga pimpinan yang sudah berupaya keras membangun citra positif, membangun tingkat kepercayaan masyarakat kepada Polri yang secara perlahan sudah mulai terangkat kembali,” jelasnya.

Sementara itu, saat ditanya terkait dengan intruksi Kapolri dalam pembuatan SIM, Taslim menegaskan, bahwa Surat Ijin Mengemudi (SIM) itu lebih kepada lisensi.

“Jadi harus diketahui oleh masyarakat luas, SIM itu bukan sekedar izin seperti orang membeli tiket pesawat sehingga mendapatkan izin dari pesawat atau sekedar ijin lewat. Tetapi SIM ini lebih kepada SIM lisensi,” sebutnya.

Oleh karena itu, sambungnya, untuk mendapatkan lisensi harus ada syarat yang dipenuhi. “Syarat yang dimaksud adalah kompetensi, yang mana ada ada tiga elemen di dalam kompentensi tersebut. Jadi di dalam kompentensi itu ada pengetahuan atau knowledge, ada keterampilan atau skill, dan ada attitude sikap moral,” imbuhnya.

Dia juga menjelaskan, bahwa pengetahuan yang dimaksud ini terbagi menjadi 2, yaitu pengetahuan terkait dengan aturan berlalu lintas yang baik dan benar di jalan, dan pengetahuan bagaimana tata cara mengemudi.

“Saya berikan contoh, ketika anda ingin berbelok ke arah kanan, maka yang pertama anda harus lakukan adalah memberikan isyarat melalui lampu sein atau riting bahwa anda akan berbelok ke kanan. Kedua mengurangi kecepatan, ketiga menempatkan kendaraan pada posisinya, dan keempat memastikan dari kiri kanan depan aman dengan menggunakan spion kiri spion kanan depan belakang,” urainya.

“Ujian praktek adalah untuk mengecek gerak reflek pengemudi itu baik atau tidak baik. Sebenarnya di angka 8 itu kalau kecepatannya tinggi maka pasti akan gagal, kalau kecepatannya terlalu rendah maka pengemudi akan jatuh,” sambungnya.

“Bagaimana keterampilan tangan dan kaki menggunakan rem itu itu sangat dibutuhkan dalam kita berhasil memenuhi ujian itu. Ini yang perlu kita cek, karena itu hal nanti akan ditemui di lapangan, seperti itu kemudian ditambah lagi dengan sikap moral,” terangnya.

Lebih jauh disampaikan Taslim, sikap moral adalah bentukan dari keluarga, lembaga pendidikan, lembaga agama, dan lingkungan sosial. “Kita sebenarnya tidak terlalu banyak bisa berdaya untuk menentukan sikap seseorang. Ditambah lagi adalah dengan cek kesehatan, seperti kesehatan mata. Kalau teman-teman penyandang disabilitas yang tidak membutuhkan warna (buta warna) misalnya,” ungkapnya.

Ia pun menyebut, jika pengemudi buta warna tidak bisa membedakan warna merah, kuning dan hijau, maka akan sangat berbahaya saat di jalan.

“Apakah tidak mungkin diakomodir teman-teman penyandang disabilitas, sangat mungkin kalau seandainya rambu-rambu lalu lintasnya lebih ramah dengan teman-teman penyandang disabilitas mungkin kuning angka 1, hijau angka 2, merah angka 3, seperti itu kira-kira,” bebernya.

Dia juga menegaskan, proses ujian SIM sebenarnya tidak dalam rangka mempersulit masyarakat, namun lebih kepada wujud menciptakan keamanan, keselamatan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas bagi warga pengguna jalan.

“Kalau orang Jawa bilang “tego loroh ne ora tegoh matine” adalah bentuk rasa sayang kepada anak. Kami peduli jangan sampai banyak orang meninggal kecelakaan akibat karena tidak layak mengemudi,” harapnya.

Taslim juga menyebut, jika di Jatim setiap harinya terdapat 13-15 orang meninggal akibat kecelakaan lalu lintas, dan usia produktif antara 16-60 tahun.

“Jadi kalau bapaknya baru satu kali, masih ada peluang lulus, dan untuk anaknya itu saya sayangkan kepada anggota di lapangan dan tidak sensitif. Harusnya ini berkali-kali gagal harusnya dipanggil dan diberikan konseling atau diberikan pelatihan, kemudian ujian ke depan bisa lulus,” pungkasnya. (Kta/Red/TJ)

Subscribe

Terimakasih Telah Berlangganan Berita Teras Jatim