Elegannya Money Politik Pada Pemilu Era Digitalisasi, Menuju Kehancuran Bangsa

Elegannya Money Politik Pada Pemilu Era Digitalisasi, Menuju Kehancuran Bangsa

TerasJatim.com, Lamongan – Money Politik atau sering disebut dengan politik uang, merupakan wujud dari pemberian atau janji untuk menyuap atau mempengaruhi pola pikir seseorang agar tidak menjalankan hak pilihnya sesuai dengan keinginanya.

Hal ini sering terjadi ketika mendekati kontestasi demokrasi. Di mana setiap calon kepala daerah atau anggota legislatif mengumbar janji manis kepada masyarakat, serta memberikan salam tempel, sehingga masyarakat yang menerima suap tersebut dipengaruhi hak suaranya untuk mencoblos salah satu calon tersebut saat waktu pencoblosan di tempat pemungutan suara (TPS).

Praktik ini bukan hanya sekedar suap yang berbentuk uang, namun ada juga pemberian barang, seperti halnya sembako serta barang-barang yang lain.

Praktik-praktik semacam itu tentunya menyalahi undang-undang yang sudah diberlakukan oleh negara, yang mana Pasal 73 ayat 3 Undang-Undang No. 3 tahun 1999 berbunyi: “Barang siapa pada waktu diselenggarakannya pemilihan umum menurut undang-undang ini dengan pemberian atau janji menyuap atau mempengaruhi seseorang, baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu, dipidana dengan pidana hukuman penjara paling lama tiga tahun. Pidana itu dikenakan juga kepada pemilih yang menerima suap berupa pemberian atau janji berbuat sesuatu”.

Praktik ini akhirnya memunculkan para pemimpin yang hanya peduli kepentingan pribadi dan golongan, bukan masyarakat yang memilihnya. Pemimpin yang dipilih dengan proses tersebut akan merasa berkewajiban mencari keuntungan dari jabatannya, salah satunya untuk mengembalikan modal yang keluar dalam kampanye.

Akhirnya, setelah menjabat, dia akan melakukan berbagai kecurangan, menerima suap, gratifikasi atau korupsi lainnya dengan berbagai macam bentuk. Tidak heran jika politik uang disebut sebagai “mother of corruption” atau induknya korupsi.

Di era digitalisasi saat ini, harusnya semua pihak ikut berpartisipasi dalam proses pengawasan pemilu. Tidak hanya penyelenggara saja, bahkan semua unsur di kalangan masyarakat juga harus terlibat seperti, warga masyarakat, LSM, media masa, pemantau pemilu, hingga kalangan mahasiswa.

Mereka juga diperbolehkan ikut melakukan pengawasan, mulai dari tahapan pesta demokrasi hingga teknis di lapangan, sehingga proses pelaksanaan pemilu diharapkan bisa terselenggara dengan jujur dan adil.

*Moh. Mahrus (Kontributor Tv One wilayah kerja Lamongan)

Subscribe

Terimakasih Telah Berlangganan Berita Teras Jatim