Akurasi Mendarat, Atlet Paralayang Pacitan Sabet Juara I di Sulteng

Akurasi Mendarat, Atlet Paralayang Pacitan Sabet Juara I di Sulteng

TerasJatim.com, Pacitan – Kesekian kalinya, Aisyah Indika Desta Rahmadany, atlet Paralayang asal Kabupaten Pacitan Jatim, kembali menyabet juara I. Kali ini, prestasi itu diraih pada Kejuaraan Paralayang Internasional Parigi Moutong Accuracy Indonesia Open Cat 2, di Sulawesi Tengah.

Kejuaraan yang digelar di Pantai Lolaro, Kecamatan Tinombo, Kabupaten Parigi Moutong, Provinsi Sulawesi Tengah, pada 4-7 Mei kemarin itu, Aisyah menjadi salah satu wakil dari Provinsi Jatim.

Dari 5 round atau babak yang diikuti, ia sukses mencatatkan nilai terendah dari kontingen asal provinsi lain. Ketepatan mendarat membuat Aisyah dinobatkan sebagai juara I, dengan perolehan nilai total 5.

Disusul atlet Paralayang Provinsi Jateng, Eka Nesti Wulandari, yang mengumpulkan nilai total 25. Sedangkan juara III, diraih oleh Rira Nurhakim, asal Sumatera Barat, dengan nilai total 27 atau hanya terpaut 2 angka dari juara II.

Pada kejuaraan bergensi itu, perempuan kelahiran kota 1001 gua ini mendapat 2 medali juara I, yakni kategori Wowan International Individual dan kategori woman nasional.

“Ini sebenarnya kejuaraan Internasional. Biasanya spesialisasi Dika (sapaan) ini di akurasi mendarat,” kata Ismono, Ketua Federasi Aero Sport Indonesia (FASI) Paralayang Kabupaten Pacitan, saat berbincang dengan TerasJatim.com, Senin (08/05/2023).

Perjalanan ke Sulteng yang diberangkatkan oleh Tim Jatim ini telah mengantarkan Aisyah pada hasil gemilang. “Alhamdulillah Dika ini bisa mendapat juara nasional dan internasional. Sudah 2 kali Dika menyandang (juara nasional), terakhir di Sulteng ini,” ujarnya.

Ismono merasa bangga atas prestasi yang dipersembahkan oleh atlet asal Desa Purwoasri, Kebonagung, mengingat perjalanan dari awal hingga sejauh ini tanpa campur tangan dari berbagai pihak.

“Sebagai Ketua FASI Paralayang Pacitan bangga sebenarnya, dengan kemandirian sendiri tanpa harus melibatkan pihak lain. Kita bisa mencetak atlet skala nasional bahkan skala internasional. Dan itu nanti dipersiapkan untuk PON (Pekan Olahraga Nasional),” ungkapnya.

Sekelumit Proses yang Tak Mudah dan Jam Terbang

Prestasi yang diraih Aisyah ini memang bukan pertama kali. Hampir di setiap kejuaraan yang pernah diikuti, tak sedikit hasil positif mampu diraihnya. Namun, hanya segelintir saja yang mengetahui perjalanan perempuan yang lahir di tahun 2001 ini.

Menurut Ismono, guna mengembangkan potensi diri bagi atlet paralayang ini, selain disekolahkan juga diikutkan kejuaraan di berbagai daerah di Indonesia, mengingat pentingnya pengalaman terbang bagi atlet itu sendiri.

“Jam terbang ini penting. Proses yang ditempuh panjang. Juga harus punya lisensi juga PL 1, PL 2. Awalnya kita sekolahkan di Malang, terus mengikuti kejuaraan Paragliding di berbagai daerah, dan sering menjuarai. Juara I, juara II,” terang Ismono, yang juga Kepala Desa Dadapan.

“Bahkan pernah juga juara nasional di Kalijati, Subang, Jabar, sehingga dari hal inilah Jatim tertarik mengambilnya, sebelum diambil oleh provinsi lain. Barangkali itu,” sambungnya.

Paralayang Pacitan memiliki potensi untuk dikembangkan, terlebih kaya akan tempat berlatih, atau tidak sulit menemukan tempat latihan. Namun, ungkap Ismono, pembinaan pada cabang olahraga ini masih terbatas karena beberapa sebab, salah satunya yakni alat.

“Sebetulnya di sini atlet (Paralayang) banyak. Lebih dari 10. Hanya saja kita masih keterbatasan alat. Parasut itu kan mahal dan ada expirednya,” jelasnya, sambil mengingat berapa batas kadaluarsa parasut.

“Harapan kita, pemerintah juga terlibat di dalamnya, karena (Paralayang) ini menjanjikan dan membawa nama baik Pacitan. Kalau mandiri berat, paling tidak 1 parasut Rp80 jutaan,” sambung dia.

FASI Paralayang Pacitan memiliki lebih dari 10 atlet yang laik untuk dikembangkan bakatnya. Beberapa di antaranya, bahkan pernah meraih prestasi yang juga membanggakan.

“Ada. Pernah atlet Paralayang asli Desa Dadapan sini, juara II Paragliding Porda, dan ada medalinya. Seorang perempuan juga,” kata Ismono.

Hanya saja, lanjut dia, semua kembali pada pembinaan bagi atlet itu sendiri. Mengingat olahraga yang memacu adrenalin ini butuh dana yang tidak sedikit, sehingga bisa disebut olahraga bergengsi.

“Karena ekonominya tidak begitu baik, sehingga untuk memprioritaskan membeli alat keberatan, sehingga sekarang alih profesi,” ungkapnya.

Sebenarnya, kata Ismono, tidak sedikit para atlet Paralayang di Pacitan memiliki potensi untuk dikembangkan, bahkan tak sedikit pula yang pernah ikut latihan ketika dibuka pendaftaran.

“Sebenarnya banyak anak-anak yang mau ikut pendaftaran, dan mau dididik Paragliding. Anak SMP, SMA. Hanya saja kalau sudah dilatih dan bisa terbang, ya kembali ke itu tadi (alat) dan transportasi,” bebernya.

Ismono menambahkan, setiap memberangkatkan atlet Paralayang untuk ikut kejuaraan di sejumlah daerah, tak sedikit yang harus merogoh saku sendiri.

“Kita mengikuti di Ponorogo, di Malang, NTB, itu kan biaya sendiri. Kita bisa membantu, tapi kan tidak selamanya,” tukas dia. (Git/Kta/Red/TJ)

Subscribe

Terimakasih Telah Berlangganan Berita Teras Jatim