PTS, Pabrik Tuku Sarjana

PTS, Pabrik Tuku Sarjana

TerasJatim.com – Saya kadang berpikir, bahwa kebanyakan orang jaman sekarang maunya yang serba cepat, gak gelem rekoso dan nyari yang gampang-gampang saja. Merasa lapar, maunya cepet dengan makanan instan.

Begitu pula dalam dunia pendidikan. Kepingin mempunyai titel , maunya juga gak pake lama, boro-boro ikut kuliah dan mau bersusah-susah dari awal.

Saya tadi pagi (4/10) membaca sebuah berita yang buat saya tidak kaget dan malah tersenyum. Kementrian Ristek dan Dikti, merilis 243 perguruan tinggi swasta (PTS), yang disinyalir setengah mbujuk, lumayan nipu dan pol abal-abalnya.

Dari 243 PTS tersebut  diklasifikasikan, ada yang memang lembaga resmi yang berijin, tapi tidak mempunyai standar sebagai PTS. Mereka benar PTS, tapi banyak ditemukan kekurangan. Semisal infrastruktur dan rasio dosen dengan jumlah mahasiswanya yang gak ideal serta kualifikasi administratif  lainnya yang dianggap belum  sesuai standar menjadi  sebuah lembaga perguruan tinggi yang layak disebut sebagai sebuah PTS.

Ada lagi, sebuah lembaga perguruan tinggi yang selalu “promo”, bahwa lembaganya bekerja sama dengan sebuah universitas kenamaan luar negeri, tapi setelah dilakukan verifikasi dan telaah data, hasilnya ketahuan kalau “bohong”.

Sedang yang kebangeten mbujuk-nya dan yang masuk dalam kategori pol abal-abal-nya, mereka hanya modal stempel dan selembar ijazah bikinan tukang sablon. Tapi sudah nekat untuk bikin prosesi upacara wisuda sarjananya.

Sebetulnya kalau mau jujur, dari dulu saya sering mendengar kabar ini. Saya sering dibuat lumayan kaget dengan begitu mudahnya nama orang  yang beberapa diantaranya saya kenal dan ketahui. Dia tidak pernah di-“opspek” atau di-“mapram”, apalagi ikut kuliah, tiba-tiba suatu ketika di kartu namanya ada embel-embel gelar dengan begitu cepat dan berderet-deret.

Tanpa bermaksud untuk membandingkan dengan yang lain, saya saja yang saat kuliah aktif (termasuk bayar spp), selalu ikut kuliah dan ujian yang tidak pernah re-midi, aktifis kampus dan tidak bodoh-bodoh amat, butuh hampir 5 tahun untuk diwisuda sebagai SH. Itupun IP yang saya dapat cukup lumayan pas. Begitu juga saat saya kuliah ilmu komunikasi. Ribet, butuh perjuangan dan doa, usaha dan dana serta harus berani susah berdarah-darah.

Tapi sekarang, kita tentu mendengar banyaknya lembaga pendidikan tinggi yang berfungsi sebagai agen untuk mendapatkan ijazah instan. Tinggal pesan, kita tunggu sambil ongkang-ongkang di rumah, paling lama 3 bulan kita sudah sarjana. Kabarnya untuk ijazah S1 disegala jurusan (kecuali kedokteran), dipatok 15-30 juta. Untuk S2, cukup 50-70 juta. Harga sudah included  biaya makan dan wisuda di hotel bintang.

Disinyalir, gelar-gelar instan tersebut dibutuhkan selain untuk menaikkan gengsi dan strata sosial seseorang, ijazah-ijazah “karbitan” itu juga diperlukan untuk persyaratan administrasi kenaikan pangkat dan jabatan di pekerjaannya. Lucunya, diberitakan bahwa pengguna ijazah “sumir” ini, banyak dipergunakan oleh sebagian besar aparat di pemerintahan kita. Mengingat di dalam aturan birokrasi pemerintahan, ijazah adalah syarat mutlak bagi perkembangan karier dan kepangkatan seseorang. Jadi tidak heran jika Menristek Dikti sempat mengusulkan kepada kementrian PAN, untuk mengkaji dan mengevaluasi ijazah dan gelar para aparatur pemerintah termasuk di daerah.

Kalau hal ini nanti akan benar dilakukan dan dengan metode yang benar-benar transparan dan mengedepankan data obyektif, kita rakyat dan masyarakat sangat mengapresiasi. Sebab kita tentu tidak mau siapapun mereka yang duduk dan menjabat di jabatan publik, ternyata mempunyai ijazah yang diperolehnya dengan cara “lancung”.

Saya yakin kaum cerdik-cendekia, kaum intelektualis yang idealis, tentu sangat malu dengan kondisi seperti ini. Gelar yang mereka peroleh dengan sebuah perjuangan yang panjang, pada akhirnya tidaklah bermakna, jika di kelompok intelektualis materialis masih terus memanfaatkan kesempatan buruk ini. Tentu kita berharap dunia pendidikan sesegera mungkin dibenahi dan dikembalikan ke marwah yang sebenarnya. Agar kepentingan yang lebih besar untuk mengembalikan wibawa pendidikan perguruan tinggi segera pulih.

Paling tidak kita semua harus merenung, bahwa untuk menjadi pribadi dan karakter yang kuat, sejak dini dibutuhkan ajaran diri tentang bagaimana kebiasaan belajar yang rekoso, penuh perjuangan dan dengan sungguh-sungguh. Dari situlah kita akan menemukan sarjana yang berkualitas dan penuh integritas. Seharusnya kita selalu memberikan ruang dan mengedepankan mutu serta kualitas seseorang, bukan melihat dari selembar kertas. Bisa jadi selembar kertas yang bernama ijazah adalah prioritas, tapi kualitaslah yang akan menentukan kapasitas seseorang, apakah dia pantas.

Akhirnya, tetap semangat untuk dulur-dulur yang terus dengan tekun berusaha dan berjuang dalam mendapatkan ilmu kesarjanaannya secara jujur dan benar. Jangan terpengaruh dengan gonjang-ganjing ijazah abal-abal, apalagi tergoda dengan rayuan  PTS (Pabrik Tuku Sarjana) .

Salam Kaji Taufan

Subscribe

Terimakasih Telah Berlangganan Berita Teras Jatim