Pemimpin yang “Lumayan”

Pemimpin yang “Lumayan”

TerasJatim.com – Saat membaca berita di Tempo.co tentang Ahok, saya kok jadi berpikir dan sedikit merenung. Sepertinya ada beberapa kalimat  yang patut untuk kita catat bersama.

Kutipannya seperti ini, “Menurut Ahok, sapaan akrab Basuki, merujuk kepada hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting, masyarakat Jakarta cukup puas dengan kinerjanya. “Tapi ya saya kira saya kerja sajalah,” katanya. Ahok punya prinsip jika pejabat jujur dan bekerja dengan baik pasti akan dipilih banyak orang. “Contohnya Nabi Muhammad. Kalau kamu sidik, fathanah, amanah, dan tabligh pasti masyarakat pilih,” katanya di Hotel Millenium, Tanah Abang, pada Kamis, 15 Oktober 2015.

Tentu kita berharap, jika yang dikatakan pak Ahok itu tulus dan bukan sekedar pencitraan untuk popularitas semata, alangkah hebatnya pak Ahok ini. Tanpa memandang unsur suku, agama, ras dan antar golongan, pernyataan ini patut untuk diapresiasi. Kiranya semua pemimpin di negeri ini seharusnya punya pemikiran yang sama  seperti itu.

Bukan rahasia lagi, dan kita tentu memahami bagaimana lika-liku ketika seseorang mempunyai niatan untuk menjadi seorang pemimpin di wilayahnya. Biasanya, yang paling didekati untuk “mesra-mesraan” pertama kalinya, adalah partai politik. Sebab secara realitas politik, undang-undang memang memberi ruang  kepada partai politik untuk menentukan sekaligus mengajukan nama calon pemimpin yang direkomendasikan untuk menjadi calon pemimpin di sebuah daerah. Dan setelah restu didapat, barulah sang calon mendekati calon pemilihnya.

Saya tidak tahu apakah ini sebuah logika yang benar atau malah sebaliknya. Tapi nyatanya realitas dalam kehidupan berpolitik kita masih seperti itu. Suka tidak suka, itulah yang kita alami sekarang. Memang, masih dibuka ruang dan kesempatan kepada siapapun jika ingin maju sebagai kepala daerah lewat jalur independen atau non parpol.

Hari ini saya hanya ingin menulis tentang panutan berpolitiknya pak Ahok, yang mengacu pada sifat dan kebiasaan Nabil  Muhammad SAW. Yaitu Shiddiq, Fathanah, Amanah dan Tabligh.

Saat ngaji dulu, kebiasaan santri langgar selalu diajarkan sifat-sifat nabi dengan cara tetembangan. Jadi, paling tidak sedikit banyak saya masih ingat dan paham tentang sifat-sifat nabi kita.

Rasul mempunyai sifat Shiddiq.  Shiddiq artinya benar.  Bukan hanya perkataannya yang benar, tapi juga perbuatannya juga benar. Artinya antara perbuatan seyogyanya juga sejalan dengan ucapannya. Yang kedua adalah Fathanah yang berarti  cerdas. Hal ini sudah dibuktikan saat Muhammad menjalankan tugas ke-Nabian dan ke-Rasul-annya. Nabi harus mampu mempresentasikan dasar-dasar keyakinannya secara logis dan sesuai dengan Al-Quran yang diterimanya. Itu semua membutuhkan sebuah kecerdasan. Selanjutnya adalah Amanah, yang berarti benar-benar bisa dipercaya. Dan Tabligh yang  artinya menyampaikan sebuah kebenaran. Mengatakan secara benar akan perkara hak dan batil, tanpa takut akan sebuah intervensi dan konsekwensi politiknya.

Tentu, tanpa mengurangi rasa hormat kepada para pemimpin di negeri ini, sifat nabi sangatlah jauh dan berbanding terbalik jika dibandingkan dengan manusia yang ada di jaman sekarang. Sebagai unsur dari rakyat, rasanya kita  terlalu besar harapan jika kita meng-idam-kan pemimpin yang ideal seperti halnya nabi. Paling tidak, kita butuh pemimpin yang kategorinya masuk pada level “lumayan”. Pengertian lumayan, seharusnya diartikan sebagai lumayan kebaikannya dalam memimpin, bukan lumayan “iso mimpin”.

Seyogyanya, kita menjadikan pemimpin yang mempunyai kualitas nomer satu, mempunyai kapasitas dan kredibilitas mumpuni sebagai seorang pemimpin. Tapi karena begitu banyaknya sebuah pertarungan kepentingan yang berada di sekitar lingkaran pemimpin yang sedang berkuasa, harapan itu kadang dirasa masih terlalu ideal. Paling tidak, kita harus bisa berpikir realistis tentang ukuran sebuah kepemimpinan.

Ketika kualitas super sudah agak sulit didapat dan menjadikan sebuah barang langka di jaman sekarang, paling tidak kita mempunyai pemimpin yang lumayan. Lumayan bersikap Shiddiq atau benar. lumayan Fathanah dan gak mau “disetir” siapapun (apalagi pengusungnya), lumayan Amanah bisa dipercaya dan gak bikin was-was yang dipimpin, serta yang terakhir,  paling tidak lumayan Tabligh dan gak mbujukan rakyatnya.

Buat kita, siapapun pemimpinnya yang terpenting adalah bagaimana dia memimpin, bagaimana dia berkeringat, yang ujungnya adalah untuk ketentraman dan kemakmuran rakyatnya. Terlepas bagaimana kualitas, kapasitas dan kredibilitasnya.

Rakyat butuh makmur, rakyat ingin tentram. Walaupun pemimpinnya masih sebatas “LUMAYAN”.

Salam Kaji Taufan

Subscribe

Terimakasih Telah Berlangganan Berita Teras Jatim