Orang Tua Perlu Waspadai Predator Anak di Dunia Digital

Orang Tua Perlu Waspadai Predator Anak di Dunia Digital

TerasJatim.com, Lumajang – Masih hangat di telinga sejumlah warga Lumajang akan sosok nama Mastenk. Ya, dia adalah sosok fotografer yang cukup dikenal mumpuni dalam hal fotografi.

Namun di balik itu semua, ternyata Mastenk adalah sosok yang sangat keji terhadap anak perempuan, khususnya di bawah umur. Dia melakukan pelecehan seksual, berkedok fotografi bersama kedua temannya. Dalam kasus yang menyeret namanya serta kedua temanya tersebut, perilaku tak normal ini disebut pedofil.

Kehadiran para predator saat ini makin menjadi lebih lihai dikarenakan menggunakan teknologi. Adanya teknologi memberikan perubahan dan pergeseran psikologi anak-anak jaman “now”. Salah satu hal yang terpenting bagi mereka adalah mendapatkan ketenaran dan dikenal oleh banyak orang di media sosial. Hal tersebut biasanya diukur dari berapa banyak orang yang melihat (viewers) ataupun pengikut (followers) sebuah akun.

Menurut Ihshan Gumilar, yang merupakan ahli Neuropsikologi ternama di Indonesia, kesempatan yang dimiliki oleh si predator lah yg memuluskan hal seperti itu dapat dilakukan. “Banyak orang tua tidak memahami secara persis bagaimana teknologi mempengaruhi kondisi psikologis anak-anak mereka. Akan tetapi bagi para predator anak, mereka sangat lihai untuk melihat kondisi perubahan psikologis tersebut,” ujarnya.

Dia juga menuturkan, keadaan seperti ini dimanfaatkan oleh mereka (para predator anak) untuk melakukan beragam aksi dan tindakan yang dapat melecehkan anak secara seksual. Mereka menawarkan beragam iming-iming seperti jasa fotografi yang mencari seorang model untuk dipromosikan menjadi anak muda terkenal.

“Hal ini tentunya banyak dimakan mentah-mentah oleh para anak-anak muda yang sangat haus untuk segera melejit nama dan mukanya di dunia media sosial,” tandas Ihshan.

Diakui atau tidak, teknologi telah mengkarbit anak-anak Indonesia untuk mendapatkan segala sesuatunya secara instan. Hal itu berdampak pada anak-anak yang ingin mengambil jalan pintas agar cepat terkenal dan kaya tanpa memikirkan efek jangka panjangnya.

“Keadaan otak para pelaku kriminal tidak lah sama dengan orang yang bukan pelaku kriminal. Kebiasaaan buruk (kriminal) yang dilakukan terus-menerus oleh seseorang akan menyebabkan otak mereka membuat jaringan syaraf yang “spesial” di dalam otak. Yang mana dengan jaringan otak “spesial” itulah, para pelaku bisa kerap “kreatif” untuk memikirkan beragam jenis modus yang lebih canggih untuk memakan anak-anak sebagai korban mereka,” imbuh ihshan.

Oleh karena itu, orang tua harus lah memantau perkembangan psikologis dan perilaku anak-anak mereka. Terlebih ketika mereka mulai beranjak usia remaja yang sangat penuh dengan beragam godaan yang menggiurkan yang di dapatkan melalui smartphone mereka.

Membangun komunikasi yang hangat dan baik dengan anak (berapapun usia mereka) merupakan salah satu kunci utama untuk melindungi anak Indonesia dari beragam predator anak di dunia yang tak lagi mengenal negara.

Mereka bisa dengan mudah terhubung lewat internet. Jika anak terbiasa untuk bercerita kepada orang tua, maka hal baru yang mereka temukan melalui dunia maya akan mereka konsultasikan terlebih dahulu atau setidaknya berbagi kepada orang tuanya.

“Lindungi anak anda dari para predator yang kerap berlindung di balik kecanggihan teknologi. Teruslah belajar menjadi orang tua yang bijak di era digital,” tandasnya.

Sementara, terpisah Kapolres Lumajang AKBP Muhammad Arsal Sahban, mengatakan, pengungkapan kasus pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur ini, sebenarnya fenomena gunung es.

“Di bawah permukaan mungkin banyak kejadian serupa tapi korban cenderung enggan melaporkan. Dari kasus ini korban yang kami ketahui ada 40 lebih, tapi hanya 1 korban yang berani melaporkan,” tandas Arsal. (Luk/Kta/Red/TJ)

Subscribe

Terimakasih Telah Berlangganan Berita Teras Jatim